PART 8

2307 Kata
“Sayang?” Rafa melepaskan ciumannya. “Hm?” “Kalau aku ngajak kamu nikah.... kamu mau, gak?” bisik Rafa tepat di telinga Sasa, tanpa melepaskan pelukannya pada gadis itu. “Dari kemarin-kemarin kayanya kamu bilangnya gitu terus. Gak usah bercanda, deh.” Sasa memejamkan matanya. Berusaha acuh tak acuh. “Kalau aku serius?” “Apa sih? Gak usah bercanda, deh.“ Rafa menghela nafas pelan. Ia menatap wajah Sasa yang masih memejamkan mata. “Lusa temenin aku di Bali, seminggu aja.” “Aku kan kerja---“ “Cuma seminggu, please," mohon Rafa. “Oke.” Pembicaraan mereka berakhir. Sasa yang sudah mengantuk, dan Rafa yang tidak ingin mengatakan apapun lagi, untuk saat ini. 'Aku serius soal ajakan nikah itu, Sa.' ____ Tok! Tok! Tok! Lamunan Sasa mengenai pembicaraannya dengan Rafa semalam, langsung buyar saat pintu ruangannya diketuk dari luar. Saat ini Sasa tengah berada di butiknya, sebagai syarat pada Rafa sebelum menemani pria itu ke Bali besok. "Masuk!” Wajah bingung Sasa langsung berubah ketika melihat siapa tamu yang datang menemuinya. "Syela?" Iya, tamu yang mendatangi Sasa ini adalah Syela. Sahabat Sasa ketika di Berlin, serta seseorang yang saat ini berstatus tunangan dari kekasih Sasa. "Ngapain ke sini? Tumben banget," sambut Sasa dengan senyum tipis. Syela tersenyum riang. Gadis itu memilih duduk di kursi seberang Sasa. Jadi mereka hanya dipisahkan oleh meja. "Enggak, kok. Tapi kamu pasti masih inget kan sama permintaan aku?" tanya Syela antusias. Kening Sasa mengernyit bingung. Apa permintaan Syela? Melihat wajah kebingungan Sasa, Syela jadi cemberut. "Sasa... Itu loh yang aku minta kamu buat desain gaun pernikahan aku sama kak Rafa. Kan kak Rafa juga udah ketemu kamu mau bahas itu waktu di Mall," rengek Syela dengan bibir mengerucut. Sasa mengerjap, tangannya yang tengah memegang pensil itu semakin mengerat. Senyum paksa coba ia keluarkan di depan Syela, berharap gadis itu tidak sadar akan gelagatnya yang aneh. "O-oh, iya. Kenapa emang? Bukannya masih lama?" tanya Sasa kembali menunduk dan melanjutkan gambarannya. Goresan-goresan pensil di atas sketsa gambaran Sasa, terdengar jelas terdengar karena keheningan dari kedua gadis itu. "Papanya kak Rafa mau pernikahan aku sama Kak Rafa dipercepat," seru Syela senang. Tak menyadari pergerakan tangan Sasa yang langsung berhenti. "Nanti kamu, Nanda sama temen-temen kamu jadi bridesmaid aku ya? Iihh jadi gak sabar," gumam Syela dengan tatapan menerawang, membayangkan ketika hari pernikahannya dan Rafa telah tiba. "O-oh, memangnya lo mau gaun yang kaya gimana?" tanya Sasa mengalihkan. Tidak mau ikut membayangkan hari pernikahan Rafa dan Syela dalam kepalanya. "Mmm, aku maunya yang mewah. Soalnya hari itu spesial banget." Syela masih terlihat sangat antusias, membuat Sasa kesal. Tidak! Ia tidak akan membiarkan Rafa menikah dengan Syela. Tidak akan pernah. Seminggu lagi seharusnya adalah anniversary hubungan Rafa dan Sasa yang ke enam tahun. Padahal, dulu Sasa pikir di hari spesial itu Rafa akan melamarnya pada kedua orang tuanya--Tama dan Mafyra--tapi rupanya mereka malah disuguhi masalah yang sangat berat. Syela sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan untuk melihat gambaran Sasa. Matanya tampak berbinar. "Itu gaunnya cantik banget!!" pekik Syela semangat. "E-emm. Cuma iseng doang gue gambar ini," kilah Sasa membalik kertas itu agar tidak dilihat Syela lagi. "Buat gaun pernikahan impian kamu, ya? Ih aku juga mau yang kaya gitu. Gimana kalo desain gaun pernikahan aku dibuat kaya gitu aja, Sa?" cerocos Syela panjang lebar. 'Gaun pernikahan impian, ya? Sejak dulu, gue udah ada bayang-bayang gaun indah buat pernikahan gue sama Rafa,' batin Sasa dengan wajah datar. Tapi matanya menyorot tanpa arti pada Syela yang terlihat berceloteh semangat. "Syela!" Celotehan Syela langsung berhenti ketika Sasa memanggilnya. Gadis itu menoleh dengan mengangkat kedua alisnya bertanya. "Kenapa?" "Lo sama Rafa sedeket apa?" tanya Sasa agak ragu. "Hm? Kak Rafa sama aku tuh udah kenal dari kecil. Tapi karena aku pindah ke Berlin, kita gak pernah komunikasi. Terus 4 tahun lalu kita ketemu lagi deh, dan sepakat kalo kita bakal nikah setelah pendidikan kita berdua selesai," jelas Syela panjang lebar. "Kalian berdua yang sepakat?" tanya Sasa memastikan. "Iya! Makanya pernikahan kita sekarang dipercepat," balas Syela dengan wajah lugunya. Sasa menunduk sejenak, sebelum kembali menatap Syela yang entah sejak kapan sudah mengambil kertas sketsa miliknya dan melihat gambaran desain gaun yang dibuat Sasa. "Gimana kalo misalnya.... selama ini Rafa suka cewek lain?" Tatapan Syela yang berbinar langsung beralih pada Sasa. Senyum semangat gadis itu memudar, tergantikan dengan wajah bingungnya. "Gak mungkin. Kak Rafa tuh gak suka deket cewek-cewek. Dia deketnya sama aku aja. Kak Rafa kan tipe yang gak nyaman ngomong sama cewe lain," bantah Syela dengan menggeleng-gelengkan kepalanya yakin. Sasa mengangguk mengerti. Gadis itu mengambil ponselnya untuk menghilangkan sedikit kejenuhan. "Ck, tapi kak Rafa hari ini mau ke Bali. Mana katanya dua minggu lagi, ih! Aku mau ikut tapi katanya jangan, karena kak Rafa ke sana mau kerja, nanti aku gak ada yang jagain. Kak Rafa emang berlebihan banget khawatirin aku," oceh Syela cemberut. "Dua Minggu?" beo Sasa dengan kening mengerut. Tidak peduli akan ocehan halu Syela. "Iya! Paling juga dia udah berangkat tadi pagi. Nyebelin banget kak Rafa, padahal aku mau nganter dia ke Bandara." Sasa hanya diam dengan senyum tipis di wajahnya. Lebih tepatnya lagi jika ia hanya tersenyum paksa. Tangan Sasa mengambil alih kertas sketsa miliknya yang diambil Syela tadi. Kemudian menatap hasil gambarannya yang belum selesai. Sejujurnya, ada perasaan was-was dalam diri Sasa. Bagaimana jika nanti Syela tau tentang hubungannya dengan Rafa? Syela pasti akan sangat kecewa padanya. "Sasa? Kenapa ngelamun?" Lamunan Sasa langsung terhenti begitu Syela melambaikan tangannya di depan wajah Sasa, untuk mengecek apakah gadis itu melamun atau tidak. Sasa hanya tersenyum kikuk menanggapi. “Kita ke caffe depan butik kamu, yuk! Kita bahas gaun aku di sana aja nanti. Aku udah ngajak Bunda Dela juga soalnya," tukas Syela semangat. "Bundanya Rafa?" gumam Sasa tanpa didengar Syela. Saat ini Syela telah berdiri dari duduknya, dan diikuti Sasa yang hanya akan membawa tas selempangnya dan juga tas khusus yang berisikan sketsa desainnya. Selain karena tak enak menolak, Sasa juga ingin bertemu dengan Bunda Rafa. Meskipun ia tidak bisa leluasa bertanya atau berbicara dengan wanita itu karena adanya Syela di tengah-tengah mereka nanti. "Nanda gak diajak?" tanya Syela ketika mereka melewati ruangan Nanda. "Dia nggak masuk hari ini," balas Sasa tanpa menghentikan langkahnya. Syela mengangguk mengerti. Begitu mereka telah memasuki caffe dan mendapatkan tempat duduk juga, Syela langsung menelfon Bundanya Rafa. "Lo udah deket banget sama keluarga Rafa ya, Syel?" tanya Sasa setelah Syela memutuskan sambungan telepon, bersamaan dengan seorang waiters yang datang menghampiri mereka. "Iya, Bunda sama Papanya kak Rafa tuh baik banget sama aku. Makanya mereka setuju kalau kak Rafa nikah sama aku," jelas Syela riang. Sasa melemparkan senyum tipis pada waiters dan menyebutkan pesanannya dan juga Syela. Tak lupa juga Syela menyebutkan pesanan untuk Bundanya Rafa yang sudah di jalan. "Lo tau gak kalo Rafa pernah punya pacar?" tanya Sasa lagi. "Tau. Papa kak Rafa udah ngasih tau aku, kak Rafa juga. Tapi kata Papa Neal, kalo kak Rafa tuh udah lama putus sama pacarnya," jawab Syela. "Jadi dulu kalau libur semester, lo pulang ke Indo?" Lagi-lagi Syela mengangguk. "Iya, aku dijemput kak Rafa." Sasa mengangguk mengerti. Rupanya hubungan Syela dengan keluarga Rafa bukan hanya sekedar saling mengenal dekat. Tapi gadis itu sudah dianggap seperti anak sendiri. Meskipun Rafa hanya mencintai Sasa, tapi tak urung jika Syela juga spesial. Syela adalah sahabat kecil Rafa, dan Rafa juga menyayangi Syela layaknya adik. Hanya saja, kasih sayang Rafa berubah setelah perjodohan mereka dilakukan. "Oh ya, Sa. Kamu kan udah kenal sama kak Rafa waktu masih SMA, kan? Kak Rafa tuh gimana, sih?" tanya Syela antusias. "Dia baik, cuek, dingin, gak tersentuh. Itu aja yang aku tau," jawab Sasa seadanya. Hal itu membuat wajah Syela berubah murung. "Yah, emang susah deh ngenalin sifat kak Rafa lebih jauh. Cuma yang deket banget aja, atau yang kak Rafa anggap spesial, kaya aku. Pasti kak Rafa sikapnya beda kalau sama orang spesial. Sama aku dia kadang bawel kalau khawatir tau. Tapu kalau cuma dianggep temen dia pasti kaya gitu yang kamu bilang tadi," ucap Syela lesu. Sasa berusaha menahan diri untuk tidak bicara blak-blakan akan sikap Syela yang terlalu percaya diri. "Jadi lo harus nyari tau sendiri kalau gitu. Jangan tanya watak tunangan lo ke gue yang gak kenal deket sama dia, kan." balas Sasa tersenyum tipis. 'Setelah pacaran aja, gue belum tau banyak tentang Rafa, Syel,' batin Sasa murung. "Oh iya, Syela. Gue mau nanya, Bunda Rafa---" "Syela!" Percakapan Sasa dan Syela langsung terhenti ketika Dela memanggil nama calon menantunya dari belakang tubuh Sasa. Karena posisi Sasa memang membelakangi pintu. "Bunda!" riang Syela berdiri menyambut Dela dan memberikan pelukan. Sasa hanya menggigit bibir bawahnya pelan sebelum ikut berdiri. Sekedar menyapa saja. Tak lupa memberikan senyum tipis begitu matanya dan mata Dela bersibobrok. Gadis itu meraih tangan Dela untuk ia Salim. "Siang... Tante," sapa Sasa pelan. Senyum lebar di wajah Dela sedikit surut. Meskipun kedua bibirnya tetap tertarik, tapi tidak selebar sebelumnya. Wanita paruh baya itu mengelus kepala Sasa ketika gadis itu mencium tangannya. "Siang," balas Dela lembut. Syela segera menarik tangan Dela untuk duduk di sampingnya. Begitu pun Sasa yang kembali pada tempatnya. Bertepatan dengan itu, dua orang waiters datang membawakan pesanan mereka. "Jadi? Kenapa ngajakin Bunda ke sini?" tanya Dela memecahkan kecanggungan yang tiba-tiba saja melanda. Kecuali Syela yang merasa biasa-biasa saja. "Jadi, Bun. Kenalin, ini Sasa. Sasa Zamora. Dia yang bakal ngedesain gaun pernikahan aku sama kak Rafa. Bunda pasti kenal dia, kan?" seru Syela antusias. Dela tersenyum kikuk. "Iya." "Sasa ini saudari kembarnya istri kak Zergio, Bun. Temen kak Rafa itu. Sasa juga temenan sama kak Rafa waktu SMA. Iya kan, Sa?" Sasa mengerjap kemudian melirik Syela. "I-iya," jawabnya linglung. "Nah, selain itu desain baju Sasa emang bagus-bagus, Bun. Lagipula Sasa sahabatnya Syela, jadi lebih bagus kalau Sasa yang desain baju aku, kan?" tanya Syela meminta persetujuan kedua perempuan itu. "Sahabat?" beo Dela dengan kedua alis yang terangkat naik. "Iya, Tante. Saya sama Syela temenan waktu kuliah di Berlin," sahut Sasa cepat. "Gak usah formal banget, Sa. Bunda baik, kok." Dela dan Sasa hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Syela. Gadis itu begitu antusias menjelaskan tentang kemahiran Sasa mendesain gaun, dan memberitahu Dela jika sekarang sahabatnya itu telah memegang sepenuhnya butik orang tuanya. Saat ini Tama dan Mafyra menetap di Berlin. Saudari tiri Sasa dan Ghea, anak dari Tama dengan wanita lain yang dulu menjebaknya, juga tinggal di Berlin. Karena Relia, ibu kandung Natya masuk rumah sakit jiwa. Ia frustasi karena Tama dan Mafyra kembali bersama. Natya mau tak mau harus diasuh Tama. Karena perempuan itu tetaplah anak kandung Tama. Hanya saja, Tama tidak membiarkan Natya tinggal bersama Sasa dan Mafyra. Jadi Natya hanya dipantau dari jauh oleh Tama. Lagipula, Natya juga menikmati kebebasannya dengan menghambur-hamburkan uang yang di transfer oleh Papanya itu. "Bunda, Sasa, aku ke toilet bentar, ya? Kebelet," izin Syela sembari berdiri dari duduknya. Sasa mengangguk dengan pembawaannya yang tenang, seperti biasa. Sedangkan Dela tersenyum teduh. Wanita berhati lembut itu selalu memandang Syela penuh kasih sayang. Begitu Syela pergi, Sasa memilih fokus dengan gambar-gambarnya. Berbeda dengan Dela yang kini memusatkan seluruh atensinya pada Sasa. "Bunda tau.... hubungan kamu dengan Rafa." Kepala Sasa yang sedari tadi menunduk, akhirnya ia angkat. Gadis cantik berwajah tegas itu balas menatap mata Dela tak kalah serius. "Bunda gak masalah. Tapi kamu tau sendiri keadaan keluarga kami sekarang, Sasa." Kening Sasa mengernyit sejenak. Ia cukup kaget dengan perkataan Dela yang tidak langsung menentang hubungannya dengan Rafa. Gadis itu bergerak sedikit memperbaiki posisinya. Tangannya mencengkram pelan pahanya di bawah meja. "Memangnya kamu bisa nunggu Rafa? Semuanya terasa mustahil. Akan sulit bagi Rafa keluar dari lingkup perjodohan ini." Dela berbicara dengan tenang dan penuh aura keibuan. Masih sama seperti dulu, ketika ia berbicara pada Sasa yang saat itu dikenalnya sebagai kekasih dari putranya. "Dengan kalian menjalin hubungan, bukannya semuanya akan semakin rumit?" Sasa menunduk dengan tangan saling meremas di bawah meja. Gadis itu menggigit bibir bawahnya cukup kuat, sebelum tangannya bergerak merogoh ponsel di tasnya dan menyodorkannya ke atas meja. "Kenapa Rafa gak bisa nolak? Padahal jelas-jelas dia gak suka sama perjodohan itu." Untuk pertama kalinya Sasa membalas ucapan Dela dengan dagu terangkat. Gadis itu menyodorkan ponselnya dan memperlihatkan sebuah foto botol obat yang ia temukan di dalam laci nakas kamar apartemen Rafa. "Aku nemuin obat itu di kamar Rafa. Aku tanya ke dokter psikolog, dan dokter bilang, obat itu obat penenang," ucap Sasa mencoba tenang. Lihatlah mata Bunda Dela yang kini terlihat berkaca-kaca. Tidak, tidak bukan hanya Dela, karena mata Sasa juga pun seperti itu. Mereka berdua menatap lama kotak obat penenang milik Rafa dengan mata yang siap menumpahkan air mata. "Gimana bisa aku ninggalin Rafa, saat dia justru bergantung dengan obat-obatan kaya gini?" Dela menunduk dengan air mata yang bercucuran. Hal itu menarik perhatian Sasa yang kini menggenggam tangan Dela. "Rafa butuh Sasa, Bunda." Kepala Dela langsung terangkat begitu Sasa memanggilnya dengan sebutan 'Bunda'. Panggilan yang sejak dulu disematkan Sasa ketika masih duduk di bangku SMA. Sasa beranjak untuk duduk di samping Dela yang kini menatapnya dengan hati teriris. "Maafin Bunda, Sa," ucap Dela memeluk Sasa yang dengan senang hati membalasnya. Kedua wanita berbeda usia itu saling memeluk erat. Bahkan beberapa orang yang melihat, akan berpikir jika mereka berdua adalah sepasang ibu dan anak kandung. "Bunda gak masalah sama hubungan kalian," gumam Dela sembari mengelus kepala Sasa yang tenggelam di dadanya. "Tapi jalan kalian akan lebih sulit ke depannya. Bunda takut kamu gak sanggup di saat Rafa udah benar-benar bergantung sama kamu, nak." Tangisan Dela semakin kencang. Bersyukurlah mereka memilih tempat yang agak jauh dari keramaian. "Bunda ngomong apa--" "Kalau ke depannya kamu gak sanggup, lebih baik berhenti dari sekarang." Sasa terdiam. Bersamaan dengan pelukannya juga yang merenggang. "Kamu tau kenapa pernikahan Rafa dan Syela dipercepat?" tanya Dela teduh. Sasa menggelengkan kepalanya. Ia memang tidak tahu. Bahkan cukup terkejut saat Syela tiba-tiba datang di butik dan mengatakan bahwa pernikahannya dan Rafa dipercepat. "Pernikahan Rafa dan Syela dipercepat, karena Neal mulai curiga kalau Rafa balik lagi ke kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN