____
Bryan
| Lo di mana, woy! Ke sini lah. Di resto baru deket kantor lu. Pada ngumpul semua, nih!
____
Rafa menatap tanpa emosi isi pesan dari salah satu sahabatnya. Saat ini ia berada di perusahaan milik keluarganya. Perusahaan yang telah ia ambil alih setahun yang lalu.
Belum juga Rafa membalas pesan Bryan, sahabatnya itu malah menelponnya. Yang mau tak mau harus Rafa angkat.
“Lo di mana woy! Ayo ke sini! Kita semua ada di sini!"
Rafa mengernyit heran. “Ngapain?”
“Ck. Lupa, lo? Waktu di pesta reuni. Kita kan diundang langsung sama si Vino, mantan ketos dulu. Buat peresmian resto baru dia. Ke sini aja, langsung ke lantai dua!”
Rafa menahan nafas sejenak. Ia langsung teringat ucapan Vino beberapa hari lalu. Ck, sekaligus merayakan hubungannya dengan Sasa, katanya? Yang benar saja!
“Hm.” Rafa langsung memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu jawaban dari Bryan.
Ia meremas ponselnya kuat. Jantungnya berdegup dengan begitu kencang.
Tanpa memikirkan banyak hal lagi, ia langsung beranjak pergi dari sana. Tak lupa meminta Dion--sekretaris sekaligus sahabatnya—untuk membatalkan semua jadwalnya siang itu.
Tak cukup beberapa menit, mobil Rafa telah terparkir di parkiran Restoran. Rafa tentu tahu tempat itu, karena restoran ini merupakan resto baru. Dan ya, Bryan juga sempat share location padanya. Sejujurnya, ia nekat hadir karena ingin memastikan sesuatu.
Langkah kaki Rafa memasuki Restoran dan melihat sekitaran yang masih terbilang sepi.
Entah Rafa harus lega atau malah menyesali keputusannya untuk datang ke sana. Karena saat kakinya melangkah ke tempat yang Bryan katakan tadi, ia melihat Sasa yang duduk bersampingan dengan Vino. Bukan itu saja, semua orang ada di sana, termasuk tunangannya, Syela.
Tadinya Rafa ingin langsung pergi diam-diam. Tapi keberadaannya malah disadari oleh Azka.
"Eh, Raf? Sini!"
Mau tak mau Rafa mengurungkan niatnya barusan. Tergantikan dengan kakinya yang sontak melangkah duduk di kursi yang sengaja dibiarkan kosong. Tepat di samping Syela.
“Eh, kak Rafa udah dateng!” seru Syela bahagia. “Aku diundang juga sama temen kakak ini." Ia menunjuk Vino yang tampak tersenyum tipis.
“Thanks udah dateng, Raf,” ucap Vino bersahabat.
Rafa tak menjawab, ia hanya mengangguk. Namun matanya langsung berpusat pada Sasa yang duduk berhadapan dengannya, juga tengah menatapnya. Tatapan Rafa menajam kala melihat Sasa berseringai tipis.
“Kok telat? Pasti lo lupa undangan si Vino, kan?” Rafa langsung menoleh ketika Fano tiba-tiba bertanya.
Semua teman-temannya memang hadir di sana. Tapi rupanya mereka tidak membawa anak-anak—bagi Zergio, dan Fano yang telah memiliki anak.
Rafa tak menjawab sedikit pun. Hingga tiba-tiba saja ia merasakan sentuhan di pahanya yang ada di bawah meja. Rafa langsung menatap si pelaku, Sasa. Ia yakin gadis itu pelakunya, terbukti dari tatapan matanya yang seolah sengaja menantang. Tidak ada yang menyadari, karena memang kegiatan di bawah meja itu tertutupi taplak meja.
Meja yang mereka tempati memang berbentuk lonjong memanjang, jadi jarak yang memisahkan Rafa dan Sasa tidak begitu jauh. Karena itulah kakinya masih mampu mencapai Rafa.
Dengan tak sopan, Sasa mengelus-elus betis Rafa dengan kakinya. Tersenyum dalam diam ketika Rafa sedikit bergerak untuk menyamankan duduknya.
Begitu Sasa akan menarik kakinya, sebuah tangan tiba-tiba mencekalnya. Si pemilik tangan itu mengelus kaki Sasa hingga ke betis, membuat gadis itu menelan salivanya susah payah. Terlebih ketika mendapati tatapan Rafa yang menatapnya penuh arti.
"Ekhem!"
Sasa langsung menarik kakinya begitu Rafa melepaskannya. Azka baru saja berdehem dengan mata yang masih fokus pada ponselnya.
Tidak ada yang sadar akan aksi Rafa dan Sasa karena masing-masing sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Sasa mengulum bibirnya menahan senyum, kemudian kembali mengenakan high heels nya.
Merasa sudah cukup menggoda pria di depannya itu. Karena tadi memang ia melepaskan alas kakinya untuk menggoda Rafa.
Gadis itu tiba-tiba mendekatkan wajahnya pada Azka yang duduk di sampingnya, dan berbisik pelan di telinga lelaki itu.
"Temen lo beneran udah move on dari gue?"
Azka menoleh, pria itu mengangkat sebelah alisnya bingung. Kemudian berganti menatap Rafa yang ternyata tidak mengalihkan pandangannya dari Sasa. Senyum tertahan merekah di
wajahnya. Pria itu mengode Vino yang juga duduk di sisi Sasa yang lain.
Vino tentu mendengar pembicaraan kedua orang itu. Ia akhirnya ikut mendekat untuk menimbrung. "Kenapa gak nyari tau langsung?"
Mendengar sahutan Vino, Sasa seketika menoleh, membuat wajahnya dan Vino berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Dan itu semua tak luput dari mata orang-orang yang menyaksikan mereka.
"Jangan bilang... pacar kamu yang hampir enam tahun itu, dia si pemilik Resto ini ya, Sa? Siapa tadi namanya, ah kak Vino, kan?”
Vino, Azka dan Sasa serempak menoleh pada Syela yang baru saja bertanya dengan tatapan menyelidik. Hal itu mengundang senyum lebar di wajah Vino. Dengan lancang, ia merangkul pundak Sasa yang sama sekali tidak menolak.
"Iya!" jawab Vino santai.
"Woah! Kirain bakal prenzon terus kalian," sahut Fano dengan nada mencibir.
Tentu sudah menjadi rahasia umum untuk mereka jika dulu Sasa bersahabat sejak SMA dengan Vino. Bahkan Vino merupakan cinta pertama gadis itu. Dan menjadi sosok yang selalu berhasil membuat Rafa cemburu. Karena sebelum ia mendapatkan hati Sasa, sosok Vino pernah bersemayam di hati gadisnya itu.
"Diam-diam menghanyutkan, ya?" celetuk Bryan tersenyum manis.
Berbeda dengan para perempuan yang ada di sana. Mereka mati-matian menahan tawa yang ingin menyembur keluar.
Nanda melirik bingung pada Vino dan Sasa bergantian. "Emang iya ya, Sa? Bukannya nama cowok lo itu Ra---"
"Ya ampun! Lo gak pernah ketemu cowok Sasa, kan? Kenalin, cowoknya Sasa, Vino!" Azka menyerobot ucapan Nanda. Meskipun Nanda bukan teman SMA mereka, tapi gadis itu mudah berbaur hingga dengan mudah akrab dengan teman-teman Sasa.
Vino ikut tersenyum. “Iya, gue..... pacar Sasa!” Dengan menatap ke arah Rafa.
Nanda mengernyit tak mengerti. Tapi saat Azka mengodenya melalui mata yang melirik-lirik Rafa, Nanda seolah baru tersadar. Oh, sepertinya mereka merencanakan sesuatu, pikirnya.
Nanda tersenyum paksa ke arah Syela yang memperlihatkan wajah bingung. Kemudian beralih menatap Sasa yang terlihat sangat tenang.
"A-ahaha... Iya, iya bener. Pacarnya Sasa tuh si Vino ini," ucap Nanda dengan kikuk.
"Loh? Bukannya---"
"Sayang!" Semua orang langsung menoleh ke arah Zergio yang baru saja menyela ucapan istirnya. Pria itu menatap istrinya setelah berbisik entah mengatakan apa.
Tapi diam-diam Alexa dan Vela saling mengode. Berhubung mereka duduk berdampingan, mereka saling menatap dengan tawa yang ditahan. Tau jika Ghea—saudari kembar Sasa yang sangat polos itu—baru saja akan mengatakan dengan blak-blakan jika kekasih Sasa selama ini adalah Rafa, yang merupakan tunangan dari Syela.
Sasa duduk tegap dan berdehem pelan. “Mmm, gue ke toilet dulu bentar," pamitnya pada teman-temannya yang langsung mengiyakan.
Gadis cantik itu segera ke Toilet karena memang ia ingin buang air kecil. Ia juga ingin berlama-lama di sana karena merasa tidak kuat melihat Rafa yang duduk berdampingan dengan Syela.
Menghela nafas pelan, Sasa memerhatikan penampilannya di cermin toilet. Kemudian berniat keluar dan kembali bergabung dengan teman-temannya karena telah selesai berurusan di toilet itu.
Baru saja ia membuka pintu, tubuhnya langsung didorong masuk kembali oleh seseorang, dan pintu toiletnya kembali ditutup.
Sasa terkejut dan hampir berteriak, jika saja seseorang yang baru mendorongnya itu tidak membekap mulutnya.
Sasa mendengus ketika melihat ternyata Vino lah yang mendorongnya. Wajahnya berubah flat, kemudian tangannya bersidekap di depan d**a.
"Kenapa?" tanya Sasa datar.
Vino menggedikkan bahunya acuh tak acuh. Kemudian berjalan santai melewati Sasa dan bercermin di sana. Melihat tingkah Vino, Sasa jadi heran dan menebak jika pria itu pasti merencanakan sesuatu.
"Ngapain--- Akh!" Sasa memekik saat Vino tiba-tiba mendorongnya ke tembok. Mengurung Sasa di sana dengan kedua tangannya yang menyampir di sisi kanan dan kiri tubuh gadis itu.
Sasa menatap tajam mata Vino yang tiba-tiba saja beraksi gila, pikirnya. “Gue gak suka kaya gini ya, Vin!”
Vino hanya menatap dalam mata Sasa yang semakin melototkan matanya saat Vino malah mendekatkan wajahnya, hingga jika dilihat mereka seperti akan berciuman.
"Lo---"
Brak!
Sasa sedikit terlonjak saat mendengar suara pintu toilet dibuka agak kasar. Masih dengan posisi yang sama, ekor matanya melirik pintu tanpa menolehkan kepala.
Di sana, ia melihat Rafa tengah memandang posisi mereka dengan tanpa ekspresi. Tubuh Sasa langsung terdiam membeku hingga ia tidak menolak saat Vino semakin mendekatkan wajahnya.
Matanya mengerjap ketika melihat seringaian terbit di wajah Vino.
Seketika kewarasan Sasa kembali. Wajahnya terlihat sedikit kesal, dan dengan santainya ia menyikut perut Vino kencang.
“AKH! ANJING!” umpat Vino keras.
Sasa menjauh. Ia melirik Vino sinis. “Itu balasan karena Lo udah berani nyentuh gue sejauh itu. Cuma Rafa yang boleh,” ketusnya.
Vino tak marah. Ia malah terkekeh kecil. "Udah dapet jawabannya?"
“Maksud lo?”
Vino berdecak. “Jangan pura-pura bego, deh. Lo pasti liat waktu tadi Rafa dobrak ini pintu kamar mandi.”
Sasa terkekeh. “Dia gak peduli, right?”
Vino yang kini menyenderkan bokongnya pada wastafel, malah tertawa. "Gak peduli.... atau cemburu?"
Sasa berbalik. Menatap Vino dalam diam. Tapi laki-laki itu semakin melebarkan tawanya. Ia kemudian menggiring Sasa keluar dengan tangannya yang merangkul pundak gadis itu.
Sasa berjalan santai masih dengan dirangkul Vino. Tapi kali ini, tangan Vino merambat turun dan merangkul pinggul Sasa.
"Lo tau? Si Rafa menurut gue tipe cowok kek Gio." Sasa menatap Vino dengan sebelah alis terangkat naik, dan Vino menyadari itu. Maka dari itu ia melanjutkan ucapannya. "Tipe cowok posesif lah. Dengan respon Rafa yang kaya tadi pas gue bilang mau nyusul lo ke toilet, udah terlihat jelas kalau Rafa gak rela ada cowok yang deketin lo.”
“Weish! Habis ngapain aja lu berdua di toilet?” Azka menyambut dengan nada meledek, begitu melihat kedatangan Vino dan Sasa.
“Minta jatah,” jawab Vino ketika ia dan Sasa telah duduk ke tempat semula. Refleks Sasa mencubit paha Vino hingga laki-laki itu meringis nyeri. Ia kemudian melirik Azka, bergantian dengan Vino.
"Apa yang kalian rencanain?" bisik Sasa pada Azka dan Vino.
"Lo tanya tentang perasaan Rafa, kan?" Sasa menatap tajam mata Azka yang malah berkilat menggodanya. Pria itu mengangkat pandangannya untuk memerhatikan Rafa yang malah menatap ke arah lain.
“Hm. Kita Cuma mau bantu lo doang,” celetuk Vino pelan.
Ketika Rafa menoleh, Vino langsung menunduk untuk berbisik di telinga Sasa. "Coba liat reaksi cowok lo itu!”
Cup!
Mata Sasa membulat ketika Vino tiba-tiba mengecup pipinya. Gadis itu menatap Vino penuh peringatan, tapi pria itu malah semakin merapatkan tubuh mereka. Membuat Sasa mendengus kesal.
Saat membuang muka ke arah lain dan matanya langsung bertubrukan dengan Rafa yang ternyata juga tengah menatapnya. Gadis itu menelan salivanya susah payah.
Mata Sasa menangkap perubahan di sorot mata Rafa. Itu sorot mata yang sama saat dulu Rafa akan ke Oxford. Tatapan yang mengartikan jika laki-laki itu begitu takut. Takut ditinggalkan oleh Sasa.
‘Tapi saat ini emang Rafa yang ninggalin gue, kan?’
Nafas Sasa menderu. Ia merasa tak nyaman. Meskipun hubungannya dengan Rafa dulu belum terjalin lama sebelum LDR, tapi Sasa tetap tau bagaimana laki-laki kaku itu.
Sasa kemudian kembali melirik Rafa yang kini tidak menatapnya lagi. Hal itu membuat Sasa berdehem pelan untuk menarik perhatian Rafa. Dan yeah, ia berhasil karena Rafa kembali menoleh padanya, dan mengabaikan Syela yang berceloteh panjang lebar sambil merangkul lengannya.
Mata Rafa dan Sasa bertemu. Rafa yang tetap tenang, dan Sasa yang matanya berkilat kebahagiaan. Tapi tidak lama, karena langsung dihentikan oleh suara Fano yang menyeru.
“Ayo makan! Dari tadi ini makanan udah disajiin!”
Sasa berdehem pelan. Menetralkan ekspresinya. Jangan sampai ada yang sadar akan perubahannya itu tadi. Mereka mulai makan makanan masing-masing sambil sesekali mengobrol.
Sasa? Tentu ia sesekali menanggapi, terlebih Syela selalu mengajaknya berbicara.
Tiba-tiba saja ponsel Sasa yang ada di atas meja berdenting. Si empunya ponsel tampak mengernyit sejenak, sebelum mengambil ponselnya. Sedangkan Syela kembali merecoki
Rafa di sampingnya yang hanya diam mendengar celotehannya.
Sasa mengernyit semakin dalam. Nomor tidak dikenal mengiriminya pesan.
___
+628**********
| Ke Apartemen gue malam ini, sandinya 111103'
___
Sasa langung mendongakkan kepalanya dan bertepatan Rafa juga meliriknya. Pria itu tetap tenang dengan ekspresi datar, membuat Sasa sulit menebak apa yang pria itu pikirkan sekarang.
‘Syela, sandi Apartemen Rafa make tanggal lahir gue, dan dia ngajak gue ke Apartnya. Padahal lo lagi di sampingnya sekarang. Gue gak tau harus seneng apa sedih. Seneng karena Rafa masih cinta sama gue, atau harus sedih karena cowok yang lo suka gak ada rasa sama lo.’
***
Sasa berdiri menatap pintu unit apartemen milik Rafa. Ya, gadis itu langsung ke sana sepulangnya ia dari restoran milik Vino. Membiarkan Nanda kembali sendirian ke butik miliknya.
Ah ya, Sasa mempunyai butik yang dibangunkan oleh Ayahnya setelah ia menyelesaikan pendidikannya. Tama—ayah Sasa—dan Mafyra—ibu Sasa menyerahkan sepenuhnya jalannya butik itu pada Sasa dan Nanda.
Sasa berjalan mendekat dan mulai mengetikkan setiap angka yang merupakan sandi dari apartemen itu. Di mana sandinya merupakan tanggal lahirnya sendiri. Jadi jika begini, Sasa tidak salah selalu memercayai Rafa, kan? Bahwa Rafa tidak mungkin mengkhianatinya.
Senyuman Sasa langsung melebar saat pintu Apartemen terbuka, dan menyenangkannya lagi adalah Sasa langsung disambut dengan aroma khas Rafa yang seolah memenuhi Apartemen ini.
Sasa tentu tau jika Rafa belum pulang. Jadi ia hanya sendirian di Apartemen itu. Karena itulah Sasa langsung menuju dapur setelah meletakkan Sling bag nya ke kursi sofa.
Tapi ketika mengecek isi dapur sekaligus isi kulkas Rafa, ternyata bahan maupun alat dapur Rafa tidak begitu lengkap. Menandakan jika laki-laki itu jarang sarapan atau makan di Apartemen.
Sepertinya mereka harus belanja.
Hm.... belanja bersama tidak masalah, bukan?
Karena merasa gerah dengan pakaiannya yang sebenarnya merupakan pakaian formal, Sasa berniat pulang. Tapi mengingat ini Apartemen kekasihnya, jadi Sasa ingin meminjam pakaian milik Rafa. Jangan protes! Rafa tetaplah kekasih Sasa, pikir gadis itu.
Sekarang sudah pukul 6 lewat, dan Sasa tidak tau kapan Rafa pulang. Jadi karena tidak ingin membuang waktu, kakinya melangkah cepat mencari kamar Rafa.
Apartemen Rafa ini terdiri dari dua lantai, meskipun tidak sebesar rumah bertingkat, tapi unit apartemen ini termasuk mewah. Karena milik Sasa sendiri tidak berlantai dua seperti ini.
Sasa akhirnya naik ke lantai duanya, dan hanya ada satu pintu di sana. Bisa Sasa tebak jika itu adalah pintu kamar pemilik Apartemen ini. Katakanlah Sasa tidak sopan karena lancang, tapi Sasa pikir, Rafa tidak akan marah. Ia hanya ingin mencari tau.
Perlahan Sasa membuka pintu kamar di lantai dua itu dan langsung masuk ke dalamnya. Ia langsung memindai seluruh isi kamar yang luas itu.
Sedetik kemudian, matanya membulat dengan mulut terbuka.
"I-ini...." Sasa memegang dadanya yang tiba-tiba saja berdegup kencang. Matanya memanas, siap mengeluarkan air matanya.
"s**t! Lo ngapain di sini?!"
Sasa terkejut saat mendengar suara bentakan dari Rafa yang sepertinya baru pulang. Tapi gadis itu tidak sedikit pun menoleh. Sasa hanya mengerjapkan matanya, mencoba menghalau air matanya yang nakal ingin keluar.
"Ini maksudnya apa, Raf?" lirih Sasa tanpa berbalik untuk menatap Rafa yang ia yakini telah dirundung emosi.
"Gue nyuruh lo ke Apart gue, bukan berarti gue bebasin lo masuk ke kamar gue."
Sasa terkekeh pelan, sebelum berbalik menghadap Rafa. Memperlihatkan matanya yang memerah, dan itu berhasil membuat tatapan dingin Rafa sedikit melunak.
"Terus? Gue ada ijinin lo buat masang--"
"Keluar!" Rafa menyela perkataan Sasa. "Sebelum gue kunci," tambah Rafa melanjutkan.
Sasa mengernyit. "Lo mau ngunci kam--"
"Ngunci kita berdua di kamar ini!"
Sasa langsung memalingkan wajahnya yang tiba-tiba saja memerah malu.
'Ck! Gue kenapa sih?' gerutu Sasa dalam hati.
Rafa berjalan mendekati Sasa yang masih belum sadar. Dengan cepat, tangan pria itu langsung melingkar di pinggang Sasa. Menarik tubuh gadis itu hingga tubuh depan mereka merapat tanpa jarak.
Karena perbedaan tinggi, Sasa harus mendongak sedangkan Rafa menunduk.
Sasa mengerjap dengan menelan salivanya susah payah. Posisi mereka cukup intim, terlebih d**a Sasa menempel rapat pada tubuh Rafa.
"L-lo--"
"Lo udah ngerti?”
Sasa mengernyit tak paham akan ucapan Rafa. Laki-laki itu tampak menatap matanya dalam.
“Lo udah ngerti sama perasaan gue, Sa?”
Pertanyaan itu terdengar tak berarti bagi orang lain. Tapi tidak dengan Sasa yang sontak merasa tidak pernah menyesal telah mempercayai Rafa dengan begitu besarnya.
Senyum kemenangan langsung terpatri di wajah Sasa. Dengan berani, ia melingkarkan tangannya ke leher Rafa. Menatap pria itu dengan kerlingan mata.
"Cium gue!”