Di dalam ruang ganti, Tasya terus memasang wajah murungnya. Tubuh langsingnya kini terbalut oleh gaun berwarna putih. Sungguh, Tasya sendiri mengakui kalau dia hari ini sangat cantik. Tapi sayangnya, dia tidak suka momen seperti ini.
Seperti yang sudah direncanakan tentang pernikahan Tasya dan Indra. Hari ini adalah jadwal foto prewedding mereka. Tentunya masih dalam mode paksaan orang tua, untuk Tasya. Berbeda dengan Indra yang hanya menurut saja. Misi lelaki itu masih sama, ingin terlihat baik di depan Hanung dan Vidya. Salah satunya adalah dengan cara memperlakukan putri mereka layaknya seorang Cinderella. Meski itu hanya berlaku ketika di depan umum saja.
Sudah dari pagi Tasya di sini bersama beberapa orang yang membantunya. Terutama Vidya dan Luna juga ada di sana. Hari minggu, sebenarnya Tasya ingin jalan-jalan sendiri tapi rencananya gagal.
"Argh... Jadi pengen kerja gue kalau ditekan buat cepat-cepat menikah gini." erang Tasya seraya membentuk tangannya menjadi sebuah kepalan seolah akan memukul apa saja yang ada di sekitar.
Dugh!
"Aw..." ringis Tasya pelan.
Gadis itu sengaja membenturkan dahinya sendiri ke meja tempat meletakkan semua peralatan merias. Tapi dia tetap saja mengaduh saat merasa sakit.
"Non, kata Bu Ndoro..."
"Iya-iya gue ke sana." sahut Tasya kesal, padahal asisten rumah tangganya belum menyelesaikan kata-katanya.
Inem melongo mendengar sahutan Tasya. Dia jadi garuk-garuk kepala sendiri, padahal tidak merasa gatal.
"Non Tasya titisan cenayang ya?" dengan lancangnya, Inem bertanya demikian.
Tatapan Tasya sudah tidak santai melihat Inem yang langsung menundukkan kepala. Bisa Tasya dengar kalau pembantunya itu bergumam menyalahkan diri sendiri. Perlahan-lahan sambil menyilangkan kedua tangannya di depan d**a, Tasya mendekati Inem.
"Mbak Inem mau bilang kalau pemotretannya mau dimulai lagi ‘kan?" Tasya malah bertanya, takut-takut kalau pemikirannya malah yang salah.
"Bu-bukan, Non. Mbak Inem mau bilang kalau Non Tasya harus ganti pakaian. Bu Ndoro bilang, akan istirahat sebentar. Mau makan siang dulu di luar." jelas Inem setelah mengumpulkan beberapa keberaniannya, meski dia juga masih tetap tidak berani menatap wajah Tasya.
Darah Tasya yang sempat mendidih, kini sedikit berkurang. Dia menghela nafas, entah harus bersyukur atau tidak. Kepala Tasya melihat ke bawah, ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Memang sudah waktunya makan siang.
Memikirkan makan siang di luar bersama Indra dan Luna, tidak membuat Tasya senang. Pasalnya, pasti dia harus diminta berpura-pura perhatian pada Indra. Tiba-tiba saja gadis itu dilanda rasa mual. Membayangkan dia harus baik-baik pada Indra saja, sudah membuatnya enek.
Tanpa menghiraukan Inem lagi, Tasya segera mengambil pakaiannya dan ke ruang ganti. Dia akan berusaha membuka gaun itu sendiri tanpa bantuan siapa pun. Inem segera membereskan perlengkapan Tasya yang lainnya.
Di dalam ruang ganti, bibir Tasya tak bisa berhenti mengomel. Tak habis pikir, kenapa dunia bisa sesempit ini baginya.
"Padahal gue mau sesi foto ini cepat beres, biar gue bisa lanjutin niat gue buat jalan-jalan." dumelnya.
Wajah gadis itu sama sekali tidak menebarkan senyuman sedari pagi, selain di depan kamera. Itu pun terpaksa dan banyak adegan yang diulang-ulang karena kata sang fotografer, ekspresi wajahnya kurang memuaskan untuk sebuah foto prewedding yang katanya identik dengan momen bahagia.
"Rasa-rasanya, pengen banget gue punya kekuatan menembus tembok atau menghilang. Biar kalau gue terdesak begini tuh enggak tertekan." sambil merapikan kancing kemejanya, bibir Tasya masih belum berhenti mengoceh ria bagai burung beo.
Satu minggu ini kehidupannya tidak bisa bebas. Setelah acara pergi ke pernikahan Helen satu minggu lalu, Tasya dan Indra terus disibukkan oleh persiapan pernikahan. Tentunya mereka hanya berpartisipasi pada persiapan inti saja. Seperti fitting baju pengantin, ke toko perhiasan, memilih tema pernikahan, dan sekarang foto prewedding. Tasya tidak tahu, besok dia akan disibukkan apa lagi.
***
Ternyata, makan siangnya bukan hanya bersama Indra dan Luna saja. Tapi juga bersama para lelaki tua yang juga menantikan pernikahan putra putri mereka. Siapa lagi kalau bukan Hanung dan Farhan. Sebenarnya bukan hanya keluarga inti saja, semua orang yang membantu proses foto prewedding juga diajak makan. Hanya saja bedanya, mereka tidak ikut makan di dalam private room.
Kali ini, mereka sedang makan di restoran Jawa. Walaupun sehari-hari makan masakan Jawa, tapi tidak membuat mereka bosan. Di meja sudah tersedia banyak sekali makanan. Indra merasa kasihan kepada para makanan itu kalau misalkan nanti tidak habis.
Di ruangan tersebut, hanya Tasya dan Indra yang merasa tidak nyaman. Ya, meski pun Indra menerima perjodohan ini. Tapi tetap saja di hatinya kepada Tasya tidak ada yang spesial.
Dari tempatnya duduk, bisa Indra ketahui kalau gadis itu badmood dari pagi. Indra hanya tertawa sinis saja dalam hati. Dia tidak akan berhenti usaha untuk memisahkan Tasya dari Virgo bagaimanapun caranya.
"Makan yang banyak, Sya. Setelah ini masih ada pemotretan lagi loh." Luna menaruh sedikit gudeg dan nasi ke piring Tasya tanpa seizin gadis itu terlebih dahulu.
Secepat kilat, Vidya menggenggam tangan kiri Tasya, menenangkan putrinya agar tidak emosi. Sedari dulu, antara Vidya dan Hanung sangat hafal kalau Tasya tidak suka dengan perlakuan seperti itu.
"Ya, Tante." hanya ini jawaban Tasya, tapi dia tidak berniat memakan apa yang dimasukkan Luna ke dalam piringnya.
Karena sudah badmood dan semakin dibuat kesal, bukannya lanjut makan malah yang ada Tasya menyudahi acara makannya. Dia mengelap mulutnya menggunakan serbet yang disediakan. Luna sedikit tersinggung akan hal itu. Tapi sebisa mungkin, wanita paruh baya itu mengalah.
***
Di lain tempat, seorang lelaki berkulit putih dan berambut klimis belah pinggir, sedang menatap ke arah luar jendela kamarnya. Pandangannya tak lepas akan hiruk pikuk keramaian kota.
"What's wrong?" tanya seorang lelaki lainnya yang dilihat dari segi usia, bisa dikatakan lebih tua.
Lelaki dengan garis rahang hingga membentuk wajah tampannya itu menoleh, kedua tangannya masih menyilang di depan d**a. Alisnya terangkat sebelah, tak berselang lama dia tersenyum hingga membentuk lesung pipi di bagian kiri. Itulah istimewanya dia, meski memiliki rahang yang kokoh, namun saat tersenyum selalu memiliki lesung pipi.
"Nothing." gelengnya mantap.
"Let's have breakfast, Alison." ajak lelaki yang lebih tua tadi seraya meraih punggung lelaki tampan yang ternyata bernama Alison.
Tak dapat menolak lagi, Alison menurut dan berjalan menuju meja makan. Dilihatnya jam dinding, sudah pukul delapan lewat sepuluh menit ternyata. Kedua lelaki tadi duduk di kursi yang tersedia dan kebetulan kursinya hanya ada dua saja.
Alison memegang pisau dan garpunya. Di depannya sekarang sudah ada roti gandum, diberi irisan alpukat dan paling atas ada telur mata sapi setengah matang yang ditaburi lada hitam bubuk dan garam.
"Any news?" Alison melihat lelaki yang juga menikmati makanan di depannya.
Pertanyaan Alison membuat lelaki tadi menghentikan tangannya yang ingin memasuki roti ke dalam mulut.
"Mark..." rengek Alison saat pertanyaannya tak kunjung dijawab.
"Nothing, for now." Mark menggelengkan kepalanya beberapa kali lalu lanjut makan.
"I miss my father, i want to see them." desah Alison, nafsu makannya hilang seketika.
Melihat itu, membuat Mark menjadi merasa bersalah. Tapi memang dia sedang tidak menutupi apa-apa dari Alison. Lagi pula, kalau pun ada pasti Mark sudah langsung mengabari Alison tanpa diminta terlebih dahulu.
"You are strong, Alison. I'm here." Mark juga kurang paham bagaimana caranya menghibur anak tuannya, hanya ini cara yang terlintas dalam benaknya.
Mark sudah menjaga Alison sedari lama. Bukan hanya satu atau dua tahun saja, tapi sudah dari Alison kecil. Selain sebagai teman, Mark juga sudah seperti om bagi Alison. Bahkan bisa dibilang, Alison lebih dekat dengan Mark ketimbang kedua orang tuanya sendiri.
***
"Kurang dekat!" seru sang fotografer dari tempatnya berdiri.
Kali ini, mereka tidak melakukan pemotretan di ruangan seperti tadi. Melainkan di tempat terbuka, lebih tepatnya di pantai. Karena Yogyakarta memiliki banyak sekali pantai atau wisata air, jadi tidak membuat mereka kebingungan mencari tempat. Terlebih jaraknya juga tidak terlalu jauh.
Dalam hati, Tasya kesal karena sang fotografer mengatakan bahwa dia masih kurang dekat dengan Indra. Padahal bagi Tasya, ini jarak sudah yang paling dekat.
"Gue capek, mending turutin aja." bisik Indra di depan wajah Tasya.
Demi apa pun yang ada, Tasya kaget saat Indra menarik pinggangnya agar lebih dekat. Dan yang paling penting, Tasya merasa tubuh mereka menempel dan tidak ada jarak lagi. Wajah mereka sangat dekat, hingga nafas keduanya bisa saling terasa satu sama lain.
"Ya, bagus!" lagi, suara sang fotografer kembali terdengar.
Tentunya, Luna dan Vidya masih ikut bersama mereka. Hanya Hanung dan Farhan yang tidak ikut.
"Gue sesek anjir..." bisik Tasya pelan agar tidak ada yang curiga.
"Bentar doang..." balas Indra tak kalah pelannya.
"Oke... Selesai!"
Setelah sang fotografer mengatakan selesai, segera Indra melepaskan tangannya dari pinggang Tasya. Hal ini membuat Tasya sedikit tersungkur karena kurangnya persiapan.
"Ini lagi ngeselin banget sih hidupnya." Gerutu Tasya dalam hati.
Ketika kesadaran Tasya kembali, cepat-cepat gadis itu menyusul Vidya dan Inem yang ada di sisi pantai sedang menikmati es kelapa muda. Tangan Tasya menerima kacamata hitam pemberian Inem. Meski sekarang sudah sore, tapi tidak ada salahnya melindungi mata dari sinar matahari langsung. Tasya juga ikut duduk dan menikmati es kelapa, agar pikirannya bisa dingin setelah kepanasan sedari pagi.
"Oh iya, Mama nanti masih ada acara sama Tante Vidya. Kamu anterin Tasya pulang ya, dia pasti capek." Luna sudah menyela sebelum Indra mengatakan sesuatu.
Luna terkikik melihat ekspresi Indra. Dia tahu kalau anak lelakinya pasti juga lelah, tapi ini juga salah satu cara agar mereka bisa lebih dekat.
"Mama pergi dulu ya sana Tante Luna. Kamu hati-hati ya sayang, sampai rumah nanti langsung mandi pakai air hangat." Vidya mengusap kepala Tasya sebentar lalu mengecup keningnya.
"Mama mau ke mana sih?" heran Tasya, soalnya mamanya itu paling bisa untuk membuat dirinya semakin dekat dengan Indra.
"Kami mau ke tempat cetak undangan, kebetulan yang punya percetakannya itu teman Mama. Jadi bisa ketemu kapan saja." Vidya harap, jawabannya sudah memuaskan bagi Tasya.
Tanpa menghiraukan yang lain-lain lagi, Vidya dan Luna langsung pergi. Lagi pula, sang fotografer juga sudah pamit dari beberapa menit lalu. Dia bilang akan memilih foto yang bagus di studionya nanti. Kini hanya tersisa Tasya, Indra, Inem, dan Della saja.
"Mbak Della, kita antar Tasya dulu ya."
"Mbak naik ojek saja, biar lebih cepat sampai rumahnya Mas. Supaya nanti kalau Mas Indra sampai rumah, tidak usah repot-repot lagi." pamit Della secara sopan.
Tak berselang lama, Inem juga pamit dan lebih memilih naik ojek. Padahal tujuan mereka ke rumah yang sama. Bukan hal aneh, kalau seperti ini terjadi di antara sepasang kekasih yang dijodohkan.
Melihat di sana yang tersisa hanya Indra, itu membuat Tasya mendengus kesal. Rasa marahnya sudah benar-benar hampir meledak kalau sampai ada yang mengganggu mood-nya lagi. Dia berjalan lebih dulu menuju mobil Indra. Beberapa hari bersama Indra, membuat gadis itu hafal dengan sendirinya mobil milik sang calon suami.
Begitu pula dengan Indra, tubuhnya juga sudah berkoar-koar meminta diistirahatkan. Cepat-cepat dia menyusul Tasya dan kini keduanya sudah sama-sama ada di dalam mobil.
Kendaraan roda empat itu sudah melaju, meninggalkan tempat parkir di area pantai. Tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Tasya kini sibuk memandangi foto Virgo yang terpampang jelas di layar ponselnya.
"Lo seharunya tidak bertindak seperti itu tadi ke nyokap gue, Sya. Bagaimanapun juga, setidak sukanya lo ke dia, dia itu tetap nyokap gue. Enggak rela gue lihat nyokap gue kecewa karena lo." Indra membuka obrolan di antara mereka.
Bibir Tasya tidak menyahut, kepalanya sudah hampir pecah dan dia tidak ingin menambah kekesalan dalam diri sendiri. Maka dari itu, Tasya memilih diam seolah tidak mendengar apa-apa.
"Sya... Gue lagi ngomong sama lo." Indra sengaja menambah volume suaranya.
Mata Tasya terpejam, sebisa mungkin gadis itu menyaring semua amarahnya agar tidak membeludak semuanya.
"Gue capek." hanya ini yang keluar dari bibir tipis Tasya.
"Gue cuma mau denger jawaban iya atau ucapan minta maaf dari lo." tuntut Indra tak mau kalah.
"LO BISA DIEM ENGGAK SIH, NDRA!" amarah Tasya tak dapat dibendung, dia membentak Indra di dalam mobil saat itu juga.
Mobil berhenti, di depan ada lampu merah. d**a Tasya sampai kembang kempis usai membentak Indra. Sekuat-kuatnya Tasya menahan emosi, dia juga bisa lepas kendali saat orang di sampingnya tidak bisa diam.
"Gue enggak masalah kalau lo memperlakukan gue seenak lo. Tapi gue enggak terima kalau lo melukai hati Mama gue." tindas Indra tak ingin terkalahkan oleh Tasya.
Gadis itu tak ingin lagi menggubris Indra. Tasya lebih memilih memejamkan mata agar emosinya tidak meledak lagi. Acara menonton foto tampan Virgo hancur karena ocehan Indra. Pada akhirnya, Tasya memilih memejamkan matanya meski tidak tidur.
***
Next...