13. Dua Kepribadian

2038 Kata
Bulan puasa kali ini, Tasya lebih banyak libur. Siapa lagi pengganggunya kalau bukan Indra Mahardika. Wanita itu sampai muak jika hari berganti malam. Membuatnya ingin tertelan oleh bumi lalu keesokan harinya muncul kembali ke permukaan. Namun apalah daya, itu sesuatu hal yang mustahil terjadi kecuali Tasya memiliki ilmu hitam. Di hari terakhir puasa ini, Tasya meminta secara paksa dan kasar pada Indra kalau mereka harus menginap di kediaman Kusuma. Tasya menolak besar-besaran kalau Indra memaksanya menginap di rumah Fahran. Tidak ada percakapan bagi kedua insan yang sama-sama dilanda emosi. Tadi pagi mereka berdebat cukup lama hanya karena memperebutkan di mana mereka akan menginap dan menghabiskan malam takbir. Hingga pada akhirnya, Indra mengalah dan menuruti Tasya seperti apa yang istrinya itu mau. Benar, Indra mengalah kali ini. Dia menuruti mau Tasya yang ingin merayakan lebaran di rumah Hanung terlebih dahulu. Sebisa mungkin, Indra meredam amarahnya agar nanti saat sampai di rumah mertua, wajahnya tidak terlihat semrawut. "Beli apa buat Papa sama Mama?" lagi dan lagi, Indra mengalah. Lelaki berkulit hitam manis itu memilih bertanya pada Tasya apa yang akan dibawa ke rumah mertua. Tidak mungkin mereka datang hanya membawa badan saja, setidaknya harus ada jinjingan tangan walau sekedar keripik pisang satu bungkus kecil harga seribu rupiah. "Terserah..." jawab Tasya ogah-ogahan. "Ya kan aku enggak tahu apa yang disuka sama orang tua kamu, Sya." desah Indra seraya mencoba membujuk istrinya. Ekor mata Tasya melirik tajam ke arah Indra. Telinganya geli mendengar Indra merubah kata-katanya menjadi aku-kamu kepadanya. Bukan cuma hari ini saja, tapi sudah dari tiga hari yang lalu Indra meninggalkan lo-gue saat bicara kepada Tasya. "Beli eggroll saja di toko kue perempatan mau ke rumah, sama beli bakpia pathok. Mama suka eggroll, Papa suka bakpia." jelas Tasya yang tidak seperti tadi lagi nada bicaranya. Setelah dijelaskan, Indra mengangguk paham. Dia akan menuruti apa kata Tasya, membeli bakpia pathok sama eggroll. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka, keduanya saling diam. Kepala Tasya fokus melihat ke arah luar dari jendela. Nafasnya pun teratur, pikirannya dipenuhi oleh masa depan yang baginya belum jelas akan bagaimana. Padahal kalau Tasya bisa menerima dari awal, masa depannya sudah jelas akan tetap menjadi istrinya Indra. Meskipun belum ada yang tahu, sampai kapan mereka bertahan. Mobil menepi di depan bangunan yang bertuliskan Pusat Oleh-Oleh Bakpia Pathok Jogja. Indra turun sendiri, karena saat melirik ke arah Tasya, sepertinya sang istri enggan turun dari mobil. Karena tidak tahu Hanung suka rasa apa, akhirnya Indra membeli rasa original yang berisi kacang hijau dan mix varian rasa. Jarak ke rumah kedua orang tua Tasya tidak jauh lagi. Indra pun sudah mampir di toko kue perempatan, membeli eggroll seperti yang dikatakan Tasya. Dua kali turun mobil pun, Tasya tetap diam dan tidak beranjak dari duduknya. Tiga menit berlalu, mobil yang dikendarai Indra sudah sampai di kediaman Kusuma. Beberapa bodyguard membukakan pintu mobil untuk putra-putri majikan mereka. "Di dalam mobil ada THR buat para pekerja, tolong diambil dan dibagikan ya. Kalau dihitung-hitung sih, sepertinya sudah pas." ucap Indra memberi tahu salah satu bodyguard yang tadi membukakan pintu mobil untuknya. Sementara Indra masih memantau para pekerja di kediaman Kusuma mengambil bingkisan tunjangan hari raya di bagasi, Tasya sendiri sudah memasuki rumah dan bertemu dengan Vidya. Kedua wanita beda usia itu saling temu kangen, padahal belum lama ini mereka bertemu. Suasana hati Tasya berubah baik saat bertemu dengan mamanya. Vidya langsung membawa Tasya ke ruang keluarga dan mengobrol apa saja yang ingin dia obrolkan. Setelah Tasya menikah, terlebih anaknya itu harus ikut dengan Indra, membuat Vidya jadi sedikit kesepian. Apalagi kalau Hanung bekerja sampai tengah malam atau ada pekerjaan mendadak, Vidya semakin merasa kesepian. "Anak Papa kapan sampai?" sambut Hanung hangat saat mendengar suara putrinya ada di rumah. "Barusan kok, Pa. Ini baru duduk sama Mama." sahut Tasya seraya melemparkan senyum manis kepada sang papa. Pelukan hangat kembali didapat oleh Tasya, kali ini dari Hanung. Mereka pun memilih duduk di ruang keluarga bersama-sama. "Mana Indra?" heran Hanung karena tidak melihat menantunya. "Oh... Masih di depan, lagi bagiin THR ke semua pegawai Papa yang ada di rumah." sahut Tasya ogah-ogahan karena Hanung malah menanyakan Indra. Baru juga selesai Tasya mengatakan bahwa Indra masih sibuk di depan membagikan THR untuk orang-orang yang bekerja di rumah, kini Indra sudah ada di antara mereka sedang menyapa hangat. "Papa sehat?" tanya Indra sopan dan begitu bersahabat dengan sang papa mertua. "Alhamdulillah sehat... Ayo kita duduk, ngobrol-ngobrol bareng." Hanung langsung mengajak Indra duduk bersama mereka usai lelaki itu menyalami Vidya. "Mama seneng banget karena kalian ke rumah. Mama itu kesepian setelah Tasya menikah dan tinggal berdua sama kamu, Ndra." ujar Vidya mengutarakan isi hatinya. Suasana hati Tasya sudah sedikit memburuk lagi setelah kedatangan Indra. Padahal tadi saat bertemu Vidya dan Hanung, Tasya hanya merasa senang dan serasa tidak memiliki beban. "Apa Mama mau kita berdua pindah ke sini?" tawar Indra berbasa-basi agar dilihat sebagai menantu yang baik oleh Vidya dan Hanung. Bola mata Tasya melotot mendengar apa yang barusan diucapkan oleh bibir tebal Indra. Meski Tasya kesal harus hidup berdua dengan Indra, tapi dia juga tidak mau kalau tinggal bersama orang tua meski itu pun orang tuanya sendiri. "Mau drama apa lagi nih orang, belum cukup bikin gue tersiksa apa ya?" Desah hati Tasya. "Tidak perlu, kalian kan masih pengantin baru. Masih anget-angetnya, kalian saja enggan memakai jasa pembantu supaya bisa leluasa mesra-mesraan di rumah. Masa Mama malah minta kalian pindah ke sini sih." kekeh Vidya sambil menggoda menantunya yang juga terlihat malu-malu. Indra tertawa pelan, padahal dia tidak ada pikiran seperti itu tadi. Yang Indra lakukan hanyalah sebatas perhatian basa-basi belaka. Dia tidak ada niatan untuk pindah ke rumah Hanung atau Farhan. Indra hanya ingin tinggal di rumahnya sendiri setelah menikah dan belajar untuk menjadi kepala keluarga secara bebas tanpa adanya campur tangan lagi. Cukup pasangan dan pernikahannya yang ada campur tangan dari orang tua. Urusan rumah tangga, Indra tidak mau melibatkan para tetua yang akan menjadikan keadaan semakin runyam. "Kalian nikmati saja waktu berdua. Lagian kalian ditawari buat honeymoon, enggak mau." sambung Hanung. Kali ini Indra lagi-lagi terkekeh akan ucapan Hanung. Bukannya dia tidak mau, tapi kalau pergi honeymoon pun tidak akan ada kisah romantis di antara dirinya dan Tasya. Jadi bagi Indra, untuk apa pergi kalau tidak bisa mengumpulkan memori cantik. Hanya membuang-buang tenaga, waktu dan uang saja baginya. "Nantilah Pa, kalau kita mau honeymoon, pasti pergi kok." angguk Indra. Melihat putrinya hanya diam saja, hal itu membuat Hanung kembali fokus kepada Tasya. Anak perempuannya ternyata sedang membaca majalah, entah memang membaca atau hanya pura-pura saja. "Bagaimana, apa belum ada kabar baik dari Tasya?" tanya Hanung lagi-lagi berbasa-basi. Tasya malas sekali jika dihadapkan dengan pertanyaan seperti ini. Dirinya bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti apa arti dari pertanyaan yang dilontarkan oleh sang papa. "Lagi usaha Pa, doakan saja." Indra tidak menyangka jika Tasya akan menjawab demikian. Dia pikir Tasya akan menjawab hal lain. Meskipun perempuan itu menjawab acuh tak acuh dan sambil menikmati majalah yang baru diantar oleh kurir kemarin pagi. "Papa dan Mama selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian. Apalagi mengenai cucu, siapa lagi harapan Papa sama Mama kalau bukan kamu." angguk Hanung mengerti. "Bagaimana kalau kalian cek kesuburan? ‘Kan nanti akan dipandu sama dokternya harus bagaimana supaya bisa lebih cepat mendapatkan momongan." Vidya ikut bicara. Tasya menutup majalahnya, dia meletakkan majalah itu ke atas meja secara kasar. Pandangan mata Tasya kali ini memandang ke arah kedua orang tuanya diiringi senyuman tak mengenakkan. "Semoga saja aku nanti bisa mempertahankan calon cucu kalian kalau memang benar aku hamil." ujar Tasya tegas. Kedua orang tua Tasya dan Indra sedikit kaget akan perkataan Tasya kali ini. Apa maksud dari Tasya, apa wanita itu ada rencana lain yang lebih licik lagi. "Maksud kamu apa, Sya?" tanya sang Mama. "Ya kan namanya hamil muda itu rentan, Ma. Doakan saja nanti kehamilanku baik-baik saja kalau memang aku dinyatakan hamil beberapa bulan lagi." sahut Tasya tanpa ada manis-manisnya. Indra menatap tak suka akan jawaban dari Tasya. Dia tahu, pasti istrinya itu merencanakan hal licik jika memang dia nanti benar-benar dinyatakan hamil. "Sya..." Vidya menepuk bahu Tasya. Tepukan tangan Vidya barusan membuat Tasya kaget. Dia melihat ke semua yang ada di ruang keluarga, tapi mereka malah sedang melihatnya dengan tatapan aneh. "Apa, Ma?" Tasya memilih bertanya karena memang kurang paham. "Kamu melamun dari tadi?" Hanung ikut bertanya. Tasya malah tidak mengerti, dia kembali menatap ketiga orang di sana untuk memastikan apa yang terjadi. "Melamun?" lagi-lagi Tasya bertanya karena blank. "Iya, kamu diam saja diajak bicara." Indra pun ikut menjawab karena bingung juga ada apa dengan Tasya. "Oh... Memangnya tadi kalian bilang apa?" cengir Tasya hingga memperlihatkan gigi putihnya. "Mama tadi bilang, Bagaimana kalau kalian cek kesuburan? Kan nanti akan dipandu sama dokternya harus bagaimana supaya bisa lebih cepat mendapatkan momongan." Vidya mengulangi pertanyaan dan usulnya tadi. Otak Tasya bekerja, dia tadi mendengar apa yang ditanyakan sang mama. Tapi tadi perasaan dia melemparkan majalah ke meja secara kasar. Namun saat Tasya melihat ke arah pahanya, majalah itu masih ada di sana. Berarti dari Tasya melempar majalah ke meja sampai dengan dia melihat Indra menatap tak suka ke arahnya itu semua hanyalah ilusinya belaka. Jawabannya tadi tidak benar-benar diucapkan dari bibirnya. "Sya, kamu sakit? Kok ngelamun terus." kedua kalinya Vidya menyadarkan Tasya. "Ah... Aku enggak ngelamun kok, Ma." sahut Tasya cepat. "Bagaimana?" Vidya kembali memastikan. Tasya menatap Indra yang duduk di seberangnya. Lelaki itu kebetulan juga melihat ke arahnya. "Aku ikut Indra saja deh, Ma. Dia maunya bagaimana." cengir Tasya. Indra merasa ada yang aneh dengan Tasya barusan. Tidak biasanya dia berkata seperti itu. "Gimana, Ndra?" kali ini ganti Hanung yang bertanya pada menantunya. "Enggak usah lah, Ma. Biar saja kami menikmati waktu berdua dulu sampai Allah kasih kepercayaan buat memberikan keturunan." Indra harap ini pilihan dan jawaban yang tepat. Karena lelaki itu juga yakin sebenarnya Tasya enggan melakukan pemeriksaan seperti itu. Raut wajah Vidya tampak kecewa dengan jawaban Indra. Tapi mau bagaimana lagi, yang menjalani bukan dirinya. Jadi Vidya juga tidak bisa memaksa. "Ya sudah deh, padahal kan Mama pengen banget gendong cucu secepatnya." desah Vidya. "Sudahlah Ma, ini kan keputusan mereka. Kita hargai dong, benar apa kata Indra tadi." Hanung mencoba menghibur istrinya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. "Pa, Ma, aku capek. Aku mau istirahat ya." pamit Tasya lalu menuju kamarnya di lantai dua. Tak berselang lama, Indra pun turut pamit dan menyusul istrinya yang sudah lebih dulu ke kamar. Dengan kedua matanya, Indra melihat Tasya berbaring di atas ranjang dengan posisi membelakangi pintu. Indra membuka sepatunya dan perlahan-lahan dia ikut naik ke ranjang. Tidak ada penolakan dari Tasya saat Indra memeluk perempuan itu dari belakang, padahal Indra tahu bahwa Tasya belum tidur. Istrinya itu hanya diam saja dengan mata terpejam. Bahkan saat Indra semakin mengeratkan pelukannya pun, Tasya tidak berontak seperti biasa. "Sya, kamu kenapa? Kamu sakit?" karena tidak menolak saat dipeluk, hal itu membuat Indra merasa sangat heran. "Gue capek." sahut Tasya lirih. Indra mengangkat tubuhnya, dia melihat wajah Tasya sebentar dari belakang. Istrinya tetap saja memejamkan mata tanpa ada minat melihatnya meski hanya satu detik. "Ya sudah, tidur gih." ujar Indra lembut. Sengaja, Indra mendekatkan kepalanya ke arah pipi kanan Tasya. Dia kecup pipi istrinya cukup lama namun Tasya tetap diam. "Ndra, nyiumnya jangan lama-lama. Gue enggak bisa tidur." Tasya kembali bersuara karena Indra tak kunjung menyudahi sesi mencium pipi Tasya. "Eum... Tidur yang nyenyak istrinya Mas Indra. Aku kelonin deh, biar makin nyaman." Indra mengalah, dia lalu menarik selimut dan menutupi tubuh istrinya yang hanya terbalut dress. Mendengar dirinya dipanggil istrinya Mas Indra oleh lelaki yang sekarang berbaring di sebelahnya, membuat tubuh Tasya merinding disko. Dia tidak biasa dipanggil Indra seperti itu, dan barusan adalah pertama kalinya. Seperti yang dibilang Indra tadi, lelaki itu terus berbaring di sebelah Tasya sambil memeluk istrinya dari belakang. Tangannya melingkar manis di perut ramping Tasya. "Coba kalau kamu tuh nurut begini dari awal, aku enggak akan pernah kasar sama kamu. Kalau kalem, nurut dan manis gini kan cantik jadinya." Batin Indra memuji Tasya untuk sejenak. "By the way, ini cewek kayak punya dua kepribadian hari ini. Tadi pagi-pagi ngomel-ngomel kayak mau perang dunia ketiga sama gue. Sekarang dia manis banget kayak kelinci." Kekeh Indra dalam hatinya. Tak lama kemudian, Indra mendengar suara dengkuran halus dari Tasya. Lelaki itu pun ikut memejamkan mata, berharap bisa menyusul Tasya ke alam mimpi. *** Next...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN