Part 1 Awal Mula

1960 Kata
Aku melangkah ke ruang tamu di rumah mbak Rara, sepupu jauhku, beberapa hari setelah menggelar acara resepsi pernikahan Mbak Rara dan Mas Indra. Aku membawa satu buah teko berisi teh manis hangat dan beberapa cangkir kosong untuk disajikan kepada tamu-tamu yang sedang bercengkerama di ruang tamu. Ada beberapa orang. Sebagian besar lelaki tampan! Haa.. senangnya…, siapa tahu, salah satunya adalah jodohku kan? "Loh... Ran, kok cuma teh aja. Kopi dan cemilannya mana?" Tegur Pakde Prasodjo. "Iyaaa pakde... ini mau ke dapur lagi bawa kopi sama gorengan." Jawabku. Di ruang tamu itu masih ramai, ada pakde dan Dion, Abi, dua kakakku, adikku, keluarga Mbak Rara dari Lampung, keluarga Mas Indra, dan teman-teman pengantin yang masih asik mengobrol. Ada seorang lelaki yang menarik mataku untuk melihatnya. Lelaki itu sungguh tampan. Seperti magnet, membuat para perempuan jones ngiler melihatnya. Berkulit putih, tinggi, hidung mancung, mata yang proporsional dengan komposisi wajahnya. Mungkin teman Mas Indra, karena tampak asik mengobrol dengannya dan sangat menikmati suasana. Sebenarnya aku kurang suka dengan cowok metrosexual. Mereka bahkan lebih merawat diri mereka dibanding kami, kaum hawa. Hiii... aku bergidik ngeri membayangkan hal ini. Bisa-bisa gaji habis hanya untuk biaya perawatan. Mending berkebun deh daripada ke salon. Aku lebih suka pada lelaki yang sungguh manly. Berkulit sawo matang, bukan yang putih karena perawatan salon. Yaa seperti seorang lelaki yang tampak kuyu, merenung diam saja yang duduk di sebelah lelaki putih tampan tadi. Dia... nah, dia itu yang kusebut laki-laki. Kulitnya agak kecoklatan karena efek sering avonturir sepertinya. Badanya kekar, tapi proporsional. Tidak tampak seperti cowok yang suka berdandan atau nyalon. Otot biseps tercetak jelas di tangannya tapi tidak berlebihan. Terlihat dari kemeja biru dongkernya yang digulung sampai siku. Tapi, kenapa wajahnya tampak sungguh sedih ya? Sementara teman-temannya tampak tertawa bahagia, dia hanya tersenyum masam. Padahal wajahnya juga ganteng, tak kalah dibandingkan dengan lelaki putih tadi. Yaah, seimbanglah dengan Mas Indra, yang sudah jadi saudara iparku sekarang. Bedanya Mas Indra berkulit kuning, dan dia orangnya ceria. Dekat dengannya, pasti akan ada tawa. Kalau lelaki tadi, kenapa tampak murung dan muram? Dunia di sekitarnya terasa ikut muram. "Eeh dek, kok malah melamun aja sih? Mana kopinya? Ditungguin dari tadi juga? Udah lapar ini." Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Mas Iqbal, kakak keduaku, protes karena kopi dan cemilan yang tak kunjung datang. "Iyaa... iyaa siaaap, kopi dan gorengan segera datang!" Jawabku, segera kembali ke dapur dan membawa lagi satu teko yang berisi kopi panas. Hanya saja sekarang ada cemilan, macam-macam gorengan. Bude Prasodjo dan beberapa saudara lainnya masih ubrek di dapur, asik memasak dan bercanda, menggoda Mbak Rara yang makin tampak ayu setelah menikah. Sementara Mbak Rara hanya tersipu malu. “Nah.. tinggal satu gadis lagi nih yang masih belum menikah. Kamu kapan nduk menikahnya?” Tiba-tiba Bude Prasodjo bertanya padaku. Aku yang sedang asyik menuang air panas ke teko yang berisi kopi bubuk, jadi kaget. Keselek bakwan jagung deh. Mbak Rara buru-buru memberi gelas berisi air putih. “Ya Allah bude…, Rania kan masih kecil. Baru kerja juga setahunan. Ntar dulu deh. Cari duit dulu buat nyenengin abi sama umi, biar bisa jalan-jalan.” “Halah… alasanmu kuwi (itu) loh nduk, dari dulu ndak ganti. Bilang aja belum ada calonnya.” Eeh… malah umi yang menyahut. “Makanya, tuh sekarang saat yang tepat buat cari calon suami loh Ran. Di depan tuh cowok cakep semua, temannya Mas Indra. Siapa tahu ada salah satu jodohmu.” Kata Mbak Rara lembut. Duuuh.., dari dulu ya aku ingiiiiin banget punya kakak perempuan seperti Mbak Rara yang baik, penyabar dan keibuan begini. Sayangnya, kedua kakakku dan adikku semua laki-laki! Hanya aku dan umi yang paling cantik di rumah. “Ooh pantas aja dari tadi Rania disuruh bolak-balik ke ruang tamu ternyata ada maksudnya toh?” Jawabku sambil bersungut kesal. Eeh tapi gak papa ding, jika salah satunya adalah calon jodohku. Calon imamku. Mengingat hal itu, aku jadi bersemangat untuk membawa kopi dan cemilan ke ruang tamu. Saat menyuguhkan kopi, mataku tak sengaja bersiribok dengan mata lelaki tampan itu. Buseeet, nih cowok putih banget gitu ya. Aku yang perempuan aja berkulit kuning, jarang luluran apalagi nyalon. Yaelaah mendingan ditabung duitnya untuk lanjut kuliah. "Naah, Ran, ini ada yang mau kenalan. Temenku, namanya Nino. Dari tadi bisik-bisik aja pingin kenalan sama kamu." Suara Mas Indra. Aku tersenyum manis, menyorongkan tanganku untuk menyambut uluran tangannya. Terdengar suara deheman keras. Abi dan Mas Alif, kakak tertuaku, melihat ke arah kami dengan tatapan mata tajam. Pandangan mata mereka tepat ke arah tangan kami yang bersalaman. Hanya Mas Iqbal dan Yusuf, adik lelakiku, yang tampak santai. Hehe... oke oke... aku tahu arti tatapan mata itu. Segera kutarik tanganku lagi sebelum aku disidang Abi nanti malam. Lagipula kupikir yang mau kenalan si cowok manly tadi, bukan yang putih ini. Salah target dong aku. "Rania..., masuk, bantu bude masak di dapur!" Titah Abi-ku dengan suara berat. Kulihat si lelaki tadi, namanya Nino, tampak sedikit kaget dengan reaksi Abi. Mereka tak tahu, Abi dan ketiga saudara lelakiku sungguh sangat protektif padaku. Tidak pernah ada teman laki-laki yang berani datang ke rumah, bahkan untuk belajar kelompok. Semuanya takut. Sebagai satu-satunya anak perempuan dari empat bersaudara, kadang terasa sungguh menyenangkan. Seringkali diperlakukan seperti seorang Tuan Putri. Seperti saat ini. Dikelilingi empat bodyguard (termasuk Abi) belum lagi Dion yang kadang kala ikut terpengaruh, ikutan jadi bodyguard deh. Hanya saja, jadi gak ada teman curhat. Sedihnya tuh di situ. Kalau aku lagi galau, misal lagi suka sama cowok, hanya Umi tempatku bercerita. Tapi tetap saja beda kan cerita ke seorang ibu dan ke sahabat kalau tentang cowok yang lagi ditaksir. Umiku perempuan hebat. Bisa menempatkan dirinya sebagai seorang ibu dan seorang sahabat. Kalau aku curhat ke saudara lelakiku, yang ada keesokan hari, cowok yang kutaksir pasti kabur. Karena diancam mereka. Sering kejadian seperti itu. Syukurlah saat aku melanjutkan kuliah di Bandung, di salah satu institut teknologi paling terkenal di Indonesia, Abi dan Umi menaruh kepercayaan penuh padaku. Sebagai anak kos, mereka tentu khawatir dengan pergaulanku karena tidak ada yang mengawasi. Hingga akhirnya, Mas Alif setuju melanjutkan program S-2 di kampus yang sama denganku. Jadi...., tetap saja ada satu bodyguard yang memantauku terus menerus. Selain melanjutkan S-2, Mas Alif juga sering ke kantor cabang perusahaannya bekerja. Mas Alif itu, orangnya pendiam, sama seperti Abi. Tidak banyak bicara, irit sekali bicaranya, hanya seperlunya saja. Kata teman kampusku yang tergila-gila padanya, aura Mas Alif sungguh mengintimidasi! Kaum adam langsung keder melihatnya, sedangkan kaum hawa malah klepek-klepek karena sikap cool-nya si Mas Alif. Padahal sungguh Mas Alif baik loh. Hanya memang kaku kalau dengan orang yang baru kenal. Tapi dengan kami, ketiga adiknya, Mas Alif bersikap beda. Hangat, bisa bercanda walau jarang dan sangat melindungi. Sangking melindunginya, bahkan sampai mengintiliku (mengikuti) ke mana-mana kalau tidak ada tugas. Huuuft... susah memang, punya Mas protektif seperti dia. Aku ingat, dulu pernah pakai jilbab yang pendek karena mau kerja kelompok di kontrakan kami. Aku dan tiga orang temanku, semuanya tentu perempuan, mengontrak rumah biar lebih hemat. Walaupun kami tidak satu fakultas, tapi kami tetap saling mambantu. Waktu itu karena teman kerja kelompokku semua perempuan, aku hanya memakai jilbab pendek, kaos tangan panjang dan celana training saja. Toh di rumah ini, pikirku. Tapi, karena hari Sabtu, Mas Alif datang menjengukku - mengecek lebih tepatnya- lebih pagi. Seusai parkir motornya, mengucapkan salam, Mas Alif tampak kaget karena ada beberapa anak perempuan yang dia belum kenal. Lebih kaget lagi melihat penampilanku. Tentu saja aku langsung dimarahi. Di teras pula. Mas Alif gak pernah mau masuk rumah kontrakanku. Kecuali kalau datang bersama Mas Iqbal, Yusuf, abi atau umi. "Dek... sini!" Suaranya yang berat dan sedikit serak - kata teman-temanku - seksi abisss, memanggilku. Mmm nada suaranya seperti kalau mau marah deh. "Apa-apaan kamu pakai baju seperti itu?" Tegur Mas Alif masih dengan nada halus, mungkin karena malu dilihat teman-temanku. "Laaah emang kenapa mas? Gak ada yang salah kan sama pakaianku?" Aku bingung tentunya, sambil melihat ke diriku sendiri dari ujung kakiku ke atas. Gak ada yang salah kok. "Ganti jilbabmu dengan yang lebih panjang, yang bisa menutupi sampai di bawah d**a. Pakai rok panjang juga, jangan cuma pakai celana seperti itu." "Kan yang kerja kelompok cewek semua, Mas! Gak papa toh." Sahutku kesal, mulai deh si Mas Alif. "Iyaa, tapi kalau ada teman laki-laki yang datang tiba-tiba gimana? Pokoknya ganti, yang sopan kalau berpakaian! Mas akan tunggu sampai kamu ganti pakaianmu. Gak akan pulang sebelum kamu nurut." Ancamnya. Terpaksa deh aku ganti pakaian sesuai perintah Mas Alif. Sambil bersungut, aku kembali menemui Mas Alif. "Udah ganti nih Mas!" Dia melihatku sebentar. Tersenyum senang, tanpa bicara atau memuji apa kek. "Ya wis, mas pulang dulu. Eeh ini mas tadi mampir pasar beliin kamu buah sama cemilan bisa buat teman belajar kelompok. Tapi bubur ayam mas cuma beli dua porsi. Sebenarnya satu mau buat mas, tapi buat temanmu saja deh. Nanti mas beli lagi." Aku menerima pemberiannya. Eem... buah-buahan banyak macam, dan bubur ayam. Lumayan banget buat pengganjal perut di pagi hari. "Makasih mas." Dia hanya mengangguk, dan mencium pucuk kepalaku setelah aku mencium punggung tangannya. "Mas pulang dulu. Belajar yang bener!" Titahnya. Aku mengangguk dan melambaikan tangan pada Mas Alif. "Assalamualaikum." "Waalaikumusalam." Saat masuk rumah, seperti dugaanku, semua temanku tidak berkedip melihat Mas Alif. "Aaah... Ran, itu tadi kakakmu? Cakeeepp bangeeet. Cool pisan. Mana so sweet banget, bawaian makanan dan cemilan pula. Masih single gak? Kalau iya, aku mau dong jadi kakak iparmu." Respon mereka sama dengan teman SMU ku kalau bertemu Mas Alif. Dan aku hanya tertawa saja melihat kelakuan mereka. Aah kenapa aku jadi teringat masa lalu? Ini kan di rumah bude, aku harus membantu bude kan? Daripada penasaran sama cowok manly tadi kayanya lebih baik aku tanya ke Mbak Rara aja deh. "Mbak Rara, itu cowok-cowok cakep yang di depan temannya Mas Indra semua ya?" Kulihat Mbak Rara mengangguk. "Tapi yang pakai kemeja putih itu udah taken ya, Ran! Jangan diganggu." Jawab Mbak Rara. "Diih siapa juga yang mau gangguin? Aku lebih suka ama yang pakai kemeja biru dongker mbak. Ganteeeng banget. Manly banget gitu. Cowok banget deh, gak kaya cowok yang duduknya sebelah Mas Indra pas. Kalau yang ini, duuuh... aku langsung jatuh cinta. Tapi kok kaya lagi sedih gitu ya mbak? Yang lain ketawa-ketiwi, dia doang yang diam aja. Apa lagi sakit gigi kali ya?" Aku bertanya panjang lebar pada Mbak Rara tentang si cowok manly yang aku suka. Tanpa kusadar wajah Mbak Rara memucat mendengar ceritaku. "Eeh... Mbak Rara kenapa?" Tanyaku saat kulihat Mbak Rara memegang kepalanya. "Pusing ya mbak? Aku panggil Mas Indra dulu ya. Bude, Umi, tolong tungguin Mbak Rara ya..." Aku berlari ke ruang tamu, berniat memanggil Mas Indra yang sedang asyik ngobrol dengan teman-temannya. "Mas Indra, itu.. itu.. anu.. Mbak Rara..." "Haa Rara kenapa Ran? Yang jelas dong ngomongnya?" Tegur pakde Prasodjo. "Mbak Rara mau pingsan kayanya deh mas, mukanya pucat banget gitu." Kataku setelah berhasil menormalkan suara. Tapi kenapa yang panik kok Mas Indra dan si cowok manly itu? Keduanya keliatan banget paniknya. Barengan berdiri malah, hanya saja kulihat si cowok putih tadi memegang lengan cowok manly tadi dan berkata pelan, "Sabar bro... udah ada Indra, suaminya. Biar Rara sama Indra aja ya. Kita duduk manis di sini." Si cowok manly itu pun duduk lagi tapi tetap tampak gelisah. Matanya tampak semakin sedih saat melihat Mas Indra yang menggendong Mbak Rara ke kamarnya. Mata cowok manly itu, tak lepas dari melihat Mbak Rara. Segera setelah Mbak Rara dan Mas Indra masuk kamar, dia berdiri, pamit pulang ke pakde dan Dion. Tapi hanya Dion yang mengantarkannya keluar rumah. Sebentar sebentar... sepertinya ada yang tak kupahami di sini. Hubungan mereka bertiga ini bagaimana sih? Kenapa pas Mbak Rara sakit, yang panik malah dua orang? Sebenarnya cowok manly tadi, apanya Mbak Rara? Kenapa dia malah tampak lebih panik dibanding Mas Indra? Aku kok jadi bingung gini. | | | Jakarta, 4 Mei 2019
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN