6. Once in a Lifetime

1029 Kata
Pada akhirnya Sean masukkan juga barang keramatnya kepada Rahi. Mereka mendesah bersamaan setelah kompak menahan napas akibat pelepasan. Status Sean yang bukan lagi bujang pun dengan Rahi yang sudah tak lagi lajang, itu yang dimaksud dengan pelepasan. Cincin melingkar di jari Rahi setelah melewati perjuangan kegugupan yang tiba-tiba menyerang sampai dua-duanya tahan napas, hal itu spontan. Lalu yang dimaksud barang keramat adalah cincin nikah peninggalan ayahnya Sean dulu dengan sang ibu yang masih tersimpan apik, benda itu diberikan kepada Sean dan akan jadi barang turun temurun. Sudah tahu asal muasal barang itu disebut keramat, bukan? Yang otaknya lari ke mana-mana terus tersesat dirating dewasa, ngaku! Makanya, kalau main jangan kejauhan. “Alhamdulillah.” Adalah respons dari kedua belah pihak keluarga. Hari itu juga Sean sukses mengikat Rahi. Tinggal dilegalkan saja di depan penghulu. “Jadi fixnya kapan nih nikah?” tanya Jaehyun. “Sehari setelah kelulusan Rahi,” jawab Sean. Rahi mendesah lagi. Dia pasrah. Tatapannya jatuh di cicin yang samaan dengan Sean. “Nanti kalo nikah cincinnya beda lagi, kan?” tanya Irina. “Harus dong!” imbuhnya bahkan sebelum ada yang jawab. Sean mengangguk. Ketahuilah, dia mampu untuk memberikan pernikahan mewah versinya kepada calon istri, tapi setelah dipikir-pikir karena menikahnya juga dengan Rahi, sepertinya pernikahan jenis itu tidak cocok. Selama ini Sean sudah menabung untuk modal nikahnya. Tapi jodoh siapa yang tahu sampai cara menghadirkannya saja begini? “Setelah Ujian Nasional, saya akan ajak Rahi beli cincin.” Irina mengangguk. “Meskipun nikahnya kekeluargaan dan gak mewah, tapi anak saya ini mahal. Jangan kasih cincin yang abal-abal, gaun pengantin juga yang elegan. Karena menikah sekali seumur hidup, tolong mahar dan mas kawinnya ditingkatkan.” Ingin rasanya Sean mengumpat. Kenapa terlalu banyak orang yang membebankan di muka bumi? Tahu jika Sean ini dari kalangan minoritas, tapi kemauan pihak keluarga Rahi setara dengan menengah ke atas. Ya, walaupun Sean mampu karena rajin menabung khusus untuk nikahannya. Tapi kan … “Terus sekarang kamu kerja di mana, Yan, setelah saya pecat?” tanya Samudra. Sejak tadi ibunya Sean hanya menyimak. “Belum dapet.” “Gimana, sih?! Mau kasih makan anak istri pake apa? Daun? Nanti biaya lahiran Rahi gimana?” Irina mulai panik. Padahal Rahi yang salah, tapi malah Sean yang disalahkan. Di sini dia adalah korban. Sayang sekali pihak Sean tidak terlalu kuat untuk melawan pihak Rahi yang subur makmur ini. “Saya lagi nyari. Jadi jangan khawatir.” “Rahi itu anak gadis saya satu-satunya. Itu juga udah kamu rusak.” Kemudian Irina melirik Samudra. “Pa, gimana dong? Beneran mau nikahin Rahi sama Sean? Mami gak tega nih lepasin Rahi ke cowok pengangguran.” Lama-lama Rahi pening. Dia sampai malas makan sejak kejadian minggu lalu di mana kebohongannya membawa petaka. Makanya, sejam yang lalu dia main dengan Misa dan memaksakan diri untuk makan di luar, karena makan di rumah tidak bisa membangkitkan gairah laparnya. Orang tuanya selalu membahas soal nikah dan bertanya tentang: Sean gak ngehubungin kamu? Sean bener gak sih mau tanggung jawab? Apa perlu kita susul ke kampungnya lagi? Ra, Sean kasih kabar apa soal nikah? Ugh. Mual Rahi jika ingat dengan itu. Tanpa sadar dia bergidik dan membekap mulutnya yang langsung mengundang perhatian. “Sayang!” Irina mendekat, dia mengusap punggung Rahi. Tragedi klasik dan pasaran. Tapi menegangkan jika berada di posisi salah satunya. Ibunya Sean melirik Sean tajam, lalu menatap Rahi cemas. Jadi sungguhan anak sekolah itu hamil? Terus Sean bohong?  Begitulah pemikirannya. Rahi berdeham. “Aku gak pa-pa, bukan mual yang macem-macek kok. Tadi cuma refleks aja pas inget sesuatu.” Jaehyun melihat maminya. Irina yang menangis hebat. “Tuh, kan, sekarang aja udah mulai ngidam.” Irina terisak. Ya Tuhan! Bisa nangis darah Rahi kalau terus-terusan seperti ini. Kok malah semakin menjadi? “Apa sih, Mi. Rahi gak hamil.” “Kamu jangan diem aja, Yan!” gertak ibunda Sean tercinta. Sean gelagapan. Dia bingung sendiri. Ini pasti Rahi sengaja, terus bohong dan ngedrama lagi. Cih! Benci banget kalo sudah kayak gini. “Jef, bawa adek kamu ke kamar!” titah  Samudra. Mungkin Rahi perlu istirahat. Jefri langsung melaksanakan. Dia memapah Rahi yang ogah-ogahan. *** “Jadi, gimana ceritanya kalian main sejauh itu?” “Apaan?!” sewot Rahi. Beneran pening dia jadinya. Jefri duduk di sisi ranjang Rahi setibanya di kamar yang dituju. “Jangan pura-pura polos. Cepet kasih tau Abang kronologisnya!” “Apa sih, Bang? Gak jelas banget.” Rahi membaringkan tubuhnya. Capek, dia mau bobok. Tapi Jefri menuntut penjelasan. “Oke lah, karena Abang udah dewasa dan kamu otw jadi mama muda, kita frontal-frontalan aja ngomongnya.” Rahi diam. Gak ngerti dan gak mau ngerti lebih tepatnya. Jefri putuskan untuk bertanya secara terang-terangan setelah sebelumnya dia keluarkan napas pelan. “Awalnya gimana bisa sampe bikin anak sama Om Sean? Terus kalian ngelakuinnya di mana? Kok bisa sampe sejauh itu? Om Sean mainnya kasar gak? Pasti getol banget, ya, sampe langsung jadi gitu? Dan yang paling penting … enak, gak?” “BANG JEFRI!” jerit Rahi naik pitam. Dia melemparkan bantal mengenai bahu Jefri, lalu didorongnya tubuh itu. “Keluar sana! Pergi!” “Elah … santai, Ra.” Rahi terus mendorong kakaknya sampai tiba di pintu. “Sana pergi, aku mau tidur!” “Jawabannya?” Susah payah Rahi keluarkan Jefri dari kamarnya. Gila saja itu abang satu nanyanya gak kira-kira. Meski sering bikin adegan dewasa diceritanya, tapi kan Rahi masih awam. Melakukan perdana saja belum. Maka langsung saja Rahi banting dan kunci pintunya. Kesal dia lama-lama. *** “Kamu duduk yang bener dong, Yan. Itu b****g ada pakunya apa emang lagi bisul? Dari tadi gak mau diem,” komentar  Samudra. Eh, iya kah? Sean tidak sadar. “Kayaknya gusar banget. Panikin Rahi, ya?” tanya ibunya. Sean diam. Nggak ngerti dia juga, cuma tiba-tiba gelisah saja. Jadi kepikiran, masa sih Rahi beneran hamil? Anaknya gitu? Tapi kapan? Waktu Rahi memacam-macaminya, kah? Apa Sean pernah khilaf? Duh. “Nggak panggil dokter aja, Pak?” Sean bertanya kepada Samudra. “Udah kok, ini lagi nunggu,” jawabnya. “Jef, gimana Rahi?” celetuk Irina begitu putra sulungnya tiba di antara mereka. Jefri duduk dan mengedikkan kedua bahunya. “Sejak hamil dia jadi galak, gak ngerti deh. Sekarang sih katanya mau tidur.” Samudra melirik Sean. “Susul sana! Barangkali perlu ayah dari janinnya buat nenangin. Dulu waktu Irina hamil juga kayak gitu.” Sean meremas tangannya. Serius, nih? Sean berani sumpah dia gak pernah mengapa-apakan Rahi. Kalau memang Rahi beneran isi, bisa jadi kalau pelakunya bukan Sean, kan? Oke. Tenang dulu. Sekarang temui saja dulu bocah tengil itu. Kali ini, semakin hari Sean makin gedek aja sama Rahi. Kalau kayak gini, Sean jadi ragu bisa setia atau bahkan membahagiakan Rahi selama menjadi istrinya. Sean juga ragu … kalau yang namanya nikah hanya sekali seumur hidup. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN