Prologue
Kim Taeri terbangun di tempat asing namun aku mengetahui jelas di mana itu. Suites room mewah dengan aksen klasik Eropa dipadu desain interior minimalis—yang tentu tidak dalam arti sebenarnya. Tubuhnya pilu, seakan remuk diterjang dan dihantam oleh kenikmatan. Diseret ke neraka dengan segala pujaan yang pernah dia cicipi namun terasa berbeda kali ini. Begitu haus dan minta dahaga dipuaskan dengan sentuhan.
Dia baru saja kembali mencicipi dosa yang membuat ketagihan. Melakukan sebuah kesalahan besar yang dia sadari sepenuhnya ketika ketika mengangguk dan meraih rengkuhan kelam. Sendirian tengah malam di tengah hiruk-pikuk kumpulan manusia berpesta mencari pelampiasan terhadap kesepian, penat ataupun memang kegemaran. Meneguk berali-kali minuman yang cukup membuat isi kepala bermain-main. Dentuman musik yang membuat tenggelam dalam suasana—sebuah kegirangan tak menentu atau kesepian yang dinikmati dari sudut meja bartender.
Taeri patah hati terhadap dirinya sendiri. Menyadari bagaimana hidupnya jauh dari semua yang dia inginkan. Geram sekaligus iri pada sekeliling yang dapat menggapai segalanya dengan sempurna. Sementara dirinya hanya payah yang tersingkirkann dari seleksi hidup. Belum memiliki apa-apa dan terjebak pada rutinitas membosankan, terkekang, tanpa memiliki segala yang dia inginkan. Taeri itu ambisius dan perfeksionis, bias ditebak sekacau apa dia saat ini. Begitu membenci dirinya sendiri. Terlebih orientasi gadis itu adalah dirinya sendiri dan tentu mengacu pada satu hal yang kerap membuat dia merasa puas—uang.
Malam itu entah sebuah keuntungan atau petaka karena bertemu Jeon Jungoo yang pada saat itu terlalu abu-abu untuknya, tanpa gambaran apapun. Tidak mengenal atau mengingat bagaimana hebatnya pria yang bias dibilang dilahirkan untuk sebuah kekuasaan.
Pria itu berdiri di depannya tiba-tiba. Memandang dengan tatapan yang sulit diartikan. Mungkin rasa penasaran dan bingung adalah salah satu yang bisa Taeri tebak atau tangkap dari raut tersebut. Jungoo mengatakan bahwa dia itu tipikal pria yang sangat menghargai dirinya sendiri, saat itu Taeri tidak mengerti apa maksud kalimat itu keluar dari bibir tipis kemerah-mudaan tersebut. Tapi detik berikutnya Taeri mendapatkan kejelasan hanya dengan beberapa kalimat yang mungkin masih cukup abu-abu. Jungoo bilang dia suka menghadiahi dirinya sendiri.
Sebuah permintaann maaf keluar sebelum mengatakan lebih jelas yang memang terdengar begitu kurang ajar namun entah bagaimana Jungoo membalutnya jadi terdengar cukup sopan. Musngkin muslihat yang dimiliki sejak lahir pada orang-orang yang berada di atas, memanipulasi.
Alih-alih bertanya atau memberikan penawaran, Jungoo mengatakan akan memberikan yang setimpal. Tak yakin betul sejauh mana cakupan setimpal tersebut karena setiap orang memiliki tolak ukur berbeda, harusnya Taeri menolak. Tapi respon sebaliknya yang Taeri berikan. Entah karena wajah tampan, sikap atau memang pesona seperti serangga yang menarik perhatian dan kemudian membunuh dengan racunnya. Tapi jelas sosok Jungoo yang kelewat tampan itu jauh dari kata serangga. Terlalu memukau,
Setiap orang memiliki cara untuk menghargai diri sendiri. Beberapa menertawakan dan mencemooh tentang orang yang menjajakan tubuh, padahal itu bukanlah urusan mereka. Tak mengubah apapun. Mungkin cara mereka menghargai diri sendiri memang dengan sebuah uang ataupun kepuasan. Apapun itu—menilai dan memutuskan bahwa itu salah sampai menghakimi adalah hal terburuk yang pernah ada.
Taeri tahu itu salah, tapi dia tak menyesal.
Kenikmatan dia dapatkan penuh. Melupakan segala kegagalan dalam hidupnya. Menjadi ratu semalam di atas kasur, dipuja-puja layaknya dewi. Jauh berbeda dari bayagan bagaimana orang yang menjajakan tubuh tugasnya hanya mengangkang ataupun memberi kenikmatan pada si Tuan sampai rasa terhadap harga dirinya terinjak. b***k pelampiasan. Jungoo membuat berbeda. Rasanya setiap sentuhan dan tatapan yang diberikan membuat Taeri merasa dibutuhkan—entah secara seksual atau yang lain.
"Kau sudah bangun rupanya?" Suara itu menyadarkan Taeri dari lamunannya.
Gadis itu mendongak dan menemukan Jungoo berdiri depan cermin mengancingi jasnya—sangat tampan. Taeri menerka-nerka bahwa Jungoo ini pasti kaya, sekalipun dia benar-benar tidak tahu bahwa kata 'kaya' saja masih kurang menggambarkan pria itu. "Ehm," jawab Taeri sekenanya. Wajahnya memerah mengingat apa yang mereka lakukan semalam. Terlalu mengebu dan menggila. Apalagi kenyataan bahwa mereka sama-sama tidak mengenal.
"Kau akan pergi?" Tanya Taeri dengan alis menukik menyadari bahwa pria itu benar-benar bersiap pergi dari sana.
Setelah mengancingi kemeja di lengan, Jungoo berbalik. Rambutnya begitu rapi, berbeda dengan semalam yang teracak ditambah beberapa remasan seraya hentakan kencang. Jungoo mengangguk. "Ya. Aku sibuk."
Tak dapat menjawab apa-apa. Butuh beberapa lama karena benar-benar tidak tahu harus menjawab seperti apa. Ia masih awam dengan one night stand seperti ini. Tapi setidaknya dia harus menyelamatkan diri dari jeratan tagihan. "Sebelum kau pergi, hotel ini—kau sudah membayarkannya kan? Eh, tentu saja karena harus membayar di muka kan." Taeri segera menggeleng-geleng. Pikirannya jadi buyar menyadari betapa Jungoo begitu mempengaruhinya. "Maksudku—uang yang kau janjikan. Ah kau tak menjanjikannya. Tapi kau mengatakan 'sesuatu setimpal' itu uang kan?"
Taeri merutuki diri mengapa baru membahas itu sekarang, bukan di awal. Tapi jika diingat mungkin memang tujuan Taeri bukanlah uang, dia butuh pengalihan dengan cara yang ekstrim. Acakan Jungoo adalah tergila yang pernah ada. Lebih dari mengalihkan semua perasaan menjeratt tentang kebencian terhadap dirin sendiri.
Jungoo tersenyum. "Tenan saja. Semua beres. Ah, untuk bayaran—aku akan memberi yang setimpal. Kirimkan saja rekeningmu pada nomor telepon asitenku. Aku meletakannya di meja." Tunjuk Jungoo pada meja nakas samping Taeri.
Jungoo perlahan mendekat. Memandang Taeri dalam diam sehingga membuat gadis itu salah tingkah. Terlebih ketika Jungoo menunduk dan tiba-tiba mencium bibir dan pucuk kepala Taeri. Sangat mengejutkan mengingat apa yang mereka lakukan didasari oleh nafsu. Bahkan mereka sama-sama tak mengenal. Setahu Taeri adegan seperti ini tak akan pernah mendapatkan ciuman semanis itu.
"Jangan langsung pulang. Buat dirimu nyaman dulu di sini. Aku sudah memesan makanan untukmu. Kau juga hanya perlu menelpon pelayan jika mau sesuatu. Katakan saja atas nama Jeon Jungoo."
Begitu manis membuat berdebar. Tapi itu tidak teralu dominan dengan nama yang dia baru saja ia dengar. Taerdengar tak asing. Pun Taeri hanya mengangguk saja memilih tak untuk memperpanjang pembicaraan ata hubungan itu.
"Kau—siapa namamu?" Tanya Jungoo.
"Kim Taeri."
Jungoo terdiam sesaat dan mengangguk. Sebelum pergi meninggalkan ruangan, ibu jarinya mengusap bibir Taeri dan berbisik seduktif di telinga gadis itu.
"Terima kasih untuk semalam. Kau nikmat sekali, noona."
Wow, b******n sekali.
[]