Langkah kaki kupercepat, beruntung tidak terlalu banyak tamu yang diundang karena ada peraturan untuk melakukan pembatasan sosial, sehingga hotel ini tidak terlalu ramai.
Matahari belum berada di pucuk kepala, tapi silaunya sudah menusuk mata. Dengan satu telapak tangan, aku melindungi mataku agar tetap bisa terbuka sempurna.
"Hey! Aku nggak salah, kamu Aruna, kan?" Suara yang sama dengan pria yang tadi ada dalam lift.
Aku mendongak, tapi pandanganku berkabut oleh air mata. Aku gagal mengenali orang di hadapanku.
Lebih baik kutundukkan kembali saja kepala ini. Ah sial, air mataku malah terjatuh karena menunduk.
"Kamu baik-baik saja?" tanya pria di hadapanku sambil mencoba memegang bahuku namun segera kutolak dan aku langsung memundurkan badanku.
"Jangan cegah aku!" tolakku padanya.
"Kamu kenapa? Kamu benar kan, pengantinnya Andra?"
Aku pening dengan pria yang ada di hadapanku ini. Yang jelas, tidak ada waktu aku harus segera pergi.
Satu, dua, tiga.
Lari ...!
"Hey, hey, hey!" Suaranya kudengar terus memanggilku. Namun aku terus membelah lautan manusia yang sedang berjalan di trotoar.
Dada ini sudah kembang kempis, aku terengah-engah! Aku tidak tau ini dimana, tinggal bertahun-tahun di Bandung tak lantas membuatku selalu hapal gang-gang sempit yang ada.
Haaah, aku sudah tak tahu lagi. Seandainya pria itu menemukanku, lebih baik aku berlutut agar dia tak membawaku kembali ke tempat terkutuk yang kusebut pelaminan itu. Aku tak sudi harus bersanding dengan pengkhianat yang bermulut manis di depanku.
Benar-benar, jantungku serasa dicabut dari tempatnya jika mengingat siapa orang yang telah menghamili teh Riska tadi.
"Akhirnya ketemu!"
Suara itu? Gawat. Sepertinya aku memang harus berlutut.
"Tuan! Aku mohon, Tuan. Aku tidak mau kembali ke hotel itu. Aku tidak mau menikah dengan pengkhianat. Aku mohon jangan beritahu siapapun keberadaanku." Aku mengucapkan kalimat itu dengan kecepatan tinggi. Mataku tertutup saat aku berlutut, tanganku tertangkup seperti orang yang sedang benar-benar memohon.
Tidak ada jawaban.
Aku membuka sebelah mataku dengan sedikit memicing. Kulihat pria tampan, berkulit putih, tatapan mata yang tajam, hidungnya sangat mancung tertutup masker hitam, kemudian pahatan rahang yang tegas di balik lintasan tali masker. Wajah lelaki yang sepertinya sangat sempurna. Ditambah pakaian beskap ala-ala pager bagus adat Sunda, dengan kedua tangan yang tertanam di pinggang, membuatnya terlihat sangat tampan dan gagah. Ya Tuhan, apakah dia pria buket bunga ini adalah seorang Pangeran?
Aduh, aku baru saja kabur dari pengantin priaku, apa-apaan otakku sekarang malah memuji pria lain.
Kulihat pria tampan itu mengembuskan napasnya, sepertinya ia juga kelelahan karena mengejarku.
"Siapa yang pengkhianat? Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya pria itu sambil menurunkan maskernya. "Nih, pakai masker!" Pria itu mengulurkan tangannya saat memberikan sebuah masker berwarna biru muda. “Masa pandemi begini, kau harus hati-hati! Beruntung tak ada yang menangkapmu!”
Aku meneguk saliva. Iya, aku lupa saat keluar dari hotel tak menggunakan masker. "T-terima kasih," ucapku padanya. Tentunya sambil menahan sejuta rasa malu.
Puk
Aku merasakan sebuah tepukan di pundak. Tepat saat aku hendak berbalik meninggalkan pria itu.
Sreet
Tiba-tiba saja dia menarik lenganku ke belakang sebuah gerobak sampah yang ada di dekat kami. Dia meminta aku berjongkok dengan posisi dia berada di belakangku. "Ada apa?"
"Ssssst!" Dia memintaku diam.
Kami pun terdiam, aku bisa merasakan embus napasnya meniup di belakang leherku. Aku agak sedikit menggeliat-geliat karena merasakan sensasi geli menggelitik bagian tengkukku.
“Tenang saja, aku sudah tes SWAB, dan hasilnya negatif,” ujarnya sambil berbisik di belakangku.
Lagipula siapa yang peduli dengan hasil tes-nya. Seandainya aku tertular pun tak apa, lemparkan saja jasadku ke tengah lautan, aku sudah tak peduli lagi.
Beberapa detik kemudian, aku melihat orang dengan baju satpam berlari-lari.
"Mereka mencarimu," bisiknya.
Tanganku menggenggam satu sama lain, rasanya semakin dingin dan berkeringat. Aku bersembunyi sambil menahan napas, benar-benar ingin mati rasanya, aku tak ingin kembali ke sana.
"Fuuuuh!" Seketika dia mengembuskan napas lega saat orang-orang itu pergi.
"Sepertinya, mereka sudah sadar akan kepergianmu! Kau benar-benar ingin pergi dari mereka?"
Tanyanya dalam posisi kita yang masih menunduk dari gerobak sampah. Aku menggoreskan jari-jariku ke atas tanah, membentuk gambar sesuka hati. Sejujurnya, aku sendiri tidak tau akan kemana. Mungkin, aku akan melompat dari roof top gedung yang tinggi atau menghanyutkan diri ke sungai? Entahlah!
"Baiklah jika kau tak ingin menjawab. Aku anggap kau memang ingin pergi." Dia mengambil napas lalu berdiri. "Aku tidak tau apa masalahmu dengan sepupuku, tapi ... kuharap kau pergi dengan tujuan yang jelas. Dan satu lagi, jangan mencelakai dirimu sendiri!"
Apa maksudnya? Aku memandanginya tajam, apa dia tahu rencanaku yang ingin melompat dari atap gedung tinggi?
"Yah, biasanya orang yang telah dikhianati kekasihnya akan bunuh diri." Dia terkekeh dengan senyum manisnya. "Jangan menatapku seperti itu! Aku hanya menerka-nerka!"
Aku pun membuang pandanganku tanpa menimpalinya.
"Baiklah, aku harus segera pergi. Sepertinya di hotel sedang terjadi kekacauan karena perbuatanmu." Dia melemparkan kembali senyum manis yang membuatku terpana, lalu kemudian ia kenakan kembali masker hitamnya.
"Hey!" Aku tak bisa mencegah mulutku untuk memanggilnya. "Terima kasih!" Hanya itu kata yang terpikirkan saat ini. Pikiranku buntu. Entah karena pernikahanku yang gagal, atau karena senyum penuh pesona dari pria di hadapanku. Entahlah!
"Sama-sama, Aruna!"
Dia pun pergi dan aku kembali berjongkok di samping gerobak sampah dengan telunjuk yang aku gores-goreskan ke atas tanah.
ANDRA BRENGSEK
Aku berdiri dan menginjak-injak tulisanku sendiri.
Beruntung sekali gang sempit ini belum menggunakan paving, jadi aku bisa menulis nama pria yang telah mengkhianatiku dan menginjak-injaknya sampai aku puas.
Seperti orang gila memang. Aku sungguh berantakan dan merasa … lapar.
Sudah ada sepuluh menit, ah tidak, lima belas menit sepertinya. Iya, lima belas menit setelah kepergian pria buket bunga yang ... errr ... aku lupa menanyakan namanya. Sudah lima belas menit dia pergi, dan aku masih di samping gerobak sampah mengenaskan ini.
Sepertinya cerahnya langit Bandung siang ini, bukan untuk mendukung pernikahanku, tapi untuk mendukung aku kabur dari pernikahanku sendiri. Banyak orang tua bilang, kalau pagi hari cerah di musim penghujan, biasanya akan terjadi hujan petir malam harinya. Entah benar atau tidak, aku tak pernah memastikannya.
Aku sudah tidak kuat lagi, kejadian ini benar-benar menguras tenagaku. Karena suasana sudah aman, aku sepertinya bisa keluar lagi dari gang persembunyianku menuju ke tepi jalan raya.
Hanya saja, itu tidak terjadi. Sesosok pria buket bunga yang baru saja kutemui beberapa menit lalu tengah berlari mendekatiku. "Huuh, untung kau masih ada di sini!" ujarnya sambil terengah-engah.
“Kau benar-benar tak ingin kembali ke pernikahanmu?” Pria itu mendekatiku. Suaranya terdengar parau, mungkin dia yang kelelahan atau pendengaranku yang semakin berkurang?
“Hei, kau dengar aku?” tanyanya yang ingin sekali kujawab. Tapi … dia semakin tak terlihat, mataku terpejam dengan sendirinya, lututku bertambah lemas, dan … semuanya gelap.