Angin malam menerpa tubuh pria yang kini berada di motor yang melaju di jalan raya. Adi yang semula berniat untuk mengantarkan Mbah Aryo ke rumahnya sebelum ia pergi bekerja menjadi tukang bangunan di desa sebelah harus menerima kenyataan pahit, ia tergeletak tak berdaya karena pukulan maut wajan sakti Ariya.
Tak ada percakapan di antara mereka. Mbah Aryo segera pergi setelah melihat Adi tergeletak. Walaupun masih kecil Ariya memiliki tenaga layaknya seperti orang dewasa. Garis tangan simian line yang ia miliki membuatnya memiliki kekuatan yang berbeda dari teman seusianya. Sementara Mbah Aryo sibuk memikirkan perkataan Ariya yang mengetahui tentang penyakit yang ia derita.
Malam itu sangat hening, hampir tak ada kendaraan yang melintas di jalan raya hingga menggoda Mbah Aryo untuk mempercepat laju motornya. Jalan menikung tajam, tetapi Mbah Aryo tak menurunkan laju motornya, ia berpikir tak ada kendaraan lain di depan. Namun, nahas. Malang tak bisa di hindari. Tiba-tiba sebuah truk yang menghadap ke depan melawan laju truk pun terbentur aspal dan membuat lehernya patah dan hancur.
Truk tronton telah menabrak sebuah pohon setelah melindas tubuh motor dan juga Mbah Aryo. Sunyi. Tak terdengar apa pun lagi. Tubuh tergeletak di atas aspal dingin, darah segar mengalir deras dari tubuhnya yang telah hancur hingga genangan memenuhi jalanan dan membuat bau anyir darah tercium hingga jarak beberapa meter. Detak jantung Mbah Aryo melemah, deru napasnya pun tak terdengar lagi. Hanya dalam beberapa detik saja, detak jantung kehidupan Mbah Aryo telah tak terdengar lagi di dunia ini. Ia telah meninggal dunia. Tak ada yang mempercayai kata-kata anak kecil. Mereka menganggap semua hanya imajinasi.
Tubuh Mbah Aryo
hancur, kepalanya remuk karena terlindas ban belakang truk setelah terseret hingga puluhan meter di aspal . Di bagian punggung pun tercetak jelas jejak ban truk, tulang-tulang yang ada di tubuhnya membuat dari tempatnya. Organ dalam pun kini berceceran di jalan.
Beberapa jam kemudian, pihak kepolisian dan ambulans memenuhi jalanan tempat kecelakaan itu terjadi. Mbah Aryo yang tewas di tempat segera di bawa ke rumah sakit terdekat untuk di identifikasi.
***
Ariya termenung menatap ke arah jalanan kota sembari menikmati embusan angin yang menerpa wajahnya. Terkadang, hati kecilnya menyesal karena tak bisa mencegah kecelakaan itu. Padahal jika saja Ariya bisa mencegah seperti kejadian dengan Mbah Aryo , mereka pasti tidak akan meninggal karena terlindas truk.
Ariya mengembuskan napas pelan. Akan tetapi, entah mengapa ia juga merasa lega karena bisa terlepas dari sang ayah tiri. Semua telah digariskan oleh Tuhan, gadis itu kini berusaha menerima takdir yang Tuhan berikan.
Ariya melangkah dengan gontai menuju rumah, sekeras apa pun dia berusaha tetap saja ayahnya meninggal.
***
Semilir angin menerpa, melengkapi cerahnya pagi hari ini. Beberapa orang mulai berkumpul di kediaman Clara, ini adalah 7 hari semenjak kematian Adi karena kecelakaan yang merenggut nyawanya.
"Sepertinya aku harus membantu pelayat untuk menyiapkan tahlilan," gumam Ariya sembari bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke arah dapur untuk membantu pelayat yang datang ke rumahnya.
Sementara itu, Andre seorang pria paruh baya, tampak dengan rasa malu memasuki halaman rumah Clara yang mulai di penuhi oleh beberapa warga yang hendak membantu menyiapkan acara tahlilan yang ke tujuh hari Adi di rumah ini.
Jantung Andre berdegup kencang, karena ia adalah sopir truk yang melintas ketika Adi berada di jalan, hingga Adi meninggal dunia.
Kedatangan Andre untuk mengucapkan bela sungkawa.
***
Tiga tahun kemudian
Pihak kepolisian sudah memintai keterangan dari dirinya, ia sempat di jadikan tersangka atas kasus kecelakaan lalu lintas itu. Akan tetapi, di jalanan tempat kecelakaan terjadi ada sebuah cctv yang merekam awal mula kejadian itu. Akhirnya pihak kepolisian membebaskan Andre setelah dua tahun di penjara.
Andre ingin memiliki nurani, ia bersimpati pada Adi yang tertabrak oleh truknya hingga ia memilih untuk mendatangi rumah istri dari Adi untuk meminta maaf dan juga ingin mengucapkan permohonan maaf padanya.
Pria paruh baya itu berjalan pelan menuju halaman rumah, beberapa orang melihat ke arahnya karena ia bukanlah warga dari desa tersebut.
"Maaf, Pak. Ibu Clara di mana ya?" tanyanya pada seorang laki-laki yang ada di halaman rumah.
Lelaki itu menoleh. "Dia ada di dalam sana," jawabnya sembari mengarahkan jari telunjuk ke arah rumah.
"Baiklah, terima kasih," ucap Andre seraya berjalan ke arah dalam rumah.
Andre menemukan Clara yang tengah mengantarkan berbagai macam makanan ringan untuk di santap oleh para tamu yang sedang menghadiri tahlilan.
"Clara, saya ingin berbicara," ucap Andre pada wanita itu.
Clara menoleh ke arah sumber suara. Ia terkejut saat melihat siapa yang memanggilnya. "Pak Andre? Ada apa ke sini? Ayo duduk dulu," ucap Clara mempersilahkan.
Mereka pun duduk di kursi ruang tamu. Sejenak Andre terdiam, ia bingung harus berkata apa pada Clara, rasa bersalah masih terpaku di dalam hatinya. "Clara, sebenarnya kedatangan saya ke sini untuk memohon maaf padamu atas kejadian beberapa tahun yang lalu telah menimpa suamimu yang meninggal karena trukku." Andre berucap.
Clara menghembuskan napasnya perlahan. "Kami sudah ikhlas, tak perlu merasa bersalah karena itu memang murni kesalahan suami saya. " Clara berucap lirih.
"Akan tetapi, saya masih merasa bersalah karena sudah menghilangkan tulang punggung keluarga kalian. Maka dari itu, terima-lah ini agar rasa bersalah saya sedikit menghilang," pinta Andre seraya menyodorkan amplop berwarna putih yang berisi uang.
"Maaf, bukan saya tak bisa menerima itu," ucap Clara.
"Clara, saya mohon terima uang ini," ucap Andre.
"Maaf sekali lagi, saya tidak bisa. Lebih baik uang itu di gunakan untuk kehidupan Anda saja," tolak Clara dengan halus.
"Clara izinkan saya untuk membalas apa yang harus saya balas.
Gelas yang ada di tangan Ariya terjatuh akibat tersenggol tangan seorang lelaki yang datang untuk membantu acara seribu hari kematian Adi. Akibatnya gelas itu pun hancur berantakan dengan pecahan kaca yang berserakan di atas lantai.
"Maaf," ucap Ariya sembari menundukkan kepalanya.
Ia pun mengambil pecahan gelas yang berserakan di lantai. Tanpa ia sadari, pria yang tadi tersenyum melihat Ariya, ia memang sengaja menyenggol gelas yang tengah gadis itu bawa. Sedari awal, pria yang usianya sama seperti sang ayah tiri itu tertarik pada gadis belia itu karena kecantikan dan kepolosan Ariya.
Pria itu ikut mengambil pecahan gelas. "Sudah, tidak usah minta maaf," ucapnya sembari memegang tangan Ariya yang sibuk membersihkan pecahan kaca.
"Kamu mau ikut saya? Nanti saya kasih uang," tawar pria itu.
Sontak Ariya terkejut dan melepaskan tangannya dari pria yang tampak m***m. "Maaf, saya tidak mau," ucap Ariya takut.
Sementara itu, Andre terkejut melihat tingkah pria yang tak tahu malu berani menggoda anak gadis di rumahnya sendiri. Terlebih, saat ini masih dalam suasana duka. Andre segera bangkit dari duduknya dan menuju tempat Ariya dan pria itu berada.
"Ariya, kamu masih kenal om?" tanya Andre pada gadis yang masih berjongkok di lantai.
"I-iya, Om," jawab Ariya.
"Sini, om mau berbicara dengan dirimu," ucap Andre.
Tanpa mendengarkan jawaban Ariya, Andre segera menarik tangan Ariya agar menjauh dari pria berhidung belang itu. Ia membawanya untuk duduk bersama dengan Clara.
Clara terdiam. Di hati kecilnya ia takut sekali jika anak semata wayangnya akan ternoda oleh tangan nakal para pria teman dari sang almarhum suaminya itu. Ia juga takut, jika tak bisa mendidik Ariya dengan benar dan membuatnya terjerumus ke lembah hitam seperti dirinya saat ini.
"Clara, apa yang terjadi? Kenapa kamu diam?" tanya Andre pada wanita yang kini terdiam.
"Tidak apa-apa. Saya hanya khawatir akan nasib Ariya, selama ini saya bekerja sebagai perempuan malam di area lokalisasi. Saya takut jika tak bisa mendidik Ariya dengan baik," jawab Clara membuka aib pekerjaannya sendiri.
Andre cukup terkejut karena mendengar penuturan Clara. Entah punya pikiran dari mana, tiba-tiba saja ia seperti itu, pinta Clara pada sang putri.