Pertemuan yang Menyakitkan

1127 Kata
“Rafka! Tangan kamu kenapa?” tanya Ratna, sang Ibu. “Tidak apa-apa, Ma. Mama kenapa ke mari?” tanya Rafka. “Mama ingin ngajak kamu pulang, Rafka. Mama tahu kamu tidak menginginkan pertunangan ini. Tapi setidaknya cobalah terima Tiara terlebih dahulu, agar papamu tidak marah.” Ratna memegang tangan Rafka berharap putranya mau pulang bersamanya. “Aku masih muda, Ma. Aku berhak milih dengan siapa kelak aku akan menikah!” kata Rafka. “Tapi, Rafka. Kalau kamu seperti ini Papa kamu bisa mengusir kamu beneran.” Ratna tampak gelisah, dia mondar-mandir sembari menggigit kecil jarinya. “Ma, Mama pulang saja. Nanti Papa cariin Mama loh. Rafka sudah dewasa, lihat anak Mama yang cakep ini. Kalau Papa nggak ngasih warisan, Rafka bisa jual ketampanan Rafka, Mah!” canda Rafka. “Kamu ini, ya!” Ratna memukul bahu dan lengan Satya yang terluka. Alhasil Rafka pun menjerit kesakitan karena lukanya. “Mama, sakit!” Rafka dengan manjanya memeluk Ratna. “Kamu semalam ngapain saja? Berkelahi dengan siapa kamu?” tanya Ratna penasaran dengan membalut luka Rafka. Selepas bercengkerama dengan putranya Rafka, Ratna pun pulang ke rumah utamanya. Ratna adalah istri Brahmantyo, ayah dari Rafka. Wanita setengah baya ini sangat mencintai putra satu-satunya. Terkadang dia harus bertengkar dengan sang suami demi membela Rafka yang tak pernah menurut dengan ayahnya. Sejak hubungan asmara Rafka dengan seorang pramugari cantik tidak direstui sang Ayah. Rafka meninggalkan rumah dan tinggal di sebuah apartemen. Suara telepon Rafka membuyarkan lamunan. Ia bergegas meraih gagang telepon dan berbicara dengan Alvin. Perusahaan yang di kelola Rafka bergerak dalam bidang pembangunan real estate, sementara sang Ayah adalah pemilik mal dan hotel yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia. *** “Alvian! Mobil aku bawa.” Rafka berucap sembari meraih kunci yang tergelatak di meja kerja. Sore ini Rafka akan bertemu dengan Diara, kekasih hatinya. Hubungan mereka sudah berjalan lama semenjak di bangku sekolah. Perjalanan cinta mereka tak seindah yang terlihat. Sebagai seorang pramugari, Diara selalu berada di luar negeri. "Rafka!” teriak Diara ketika melihat sang pujaan hati menunggu. Rafka tersenyum dan menyambut Diara dengan sebuah pelukan, satu tahun lamanya mereka tidak bersua. “Lepas Rafka, malu di lihat banyak orang,” bisik Diara. Rafka pun perlahan melepas pelukannya. “Kamu tinggal di Jakarta dulu kan, sayang?” Rafka yang masih rindu berharap sang kekasih. “Tidak Rafka! Aku harus pulang malam ini.” “Aku masih Rindu! Banyak yang ingin aku bicarakan denganmu.” Meskipun sepasang kekasih, Diara dan Rafka tak terlihat layaknya sepasang kekasih yang sedang berada di puncak asmara. Mereka jarang sekali terlihat berdua. “Aku akan menemani makan malam, setelah itu aku pulang.” Dengan berat hati Rafka pun menyetujui. Restoran oriental menjadi pilihan kedua pasang kekasih itu. Makan malam pertama setelah satu tahun lamanya mereka berpisah. “Bagaimana pekerjaanmu Rafka. Apakah Papamu masih marah.” “Sudah, jangan bahas itu.” “Tapi Rafka! Selama kamu masih bertengkar aku tidak bisa jalani hubungan ini,” sahut Diara kecewa. “Aku akan membuktikan bahwa aku bisa sukses tanpa uang Papa,” ucap Rafka tersenyum. “Kamu memang susah untuk di nasehati,” geram Diara. Meskipun hubungan mereka tak direstui, Rafka sangat bahagia. Apalagi jika ia bisa menikahi gadis impiannya itu. Brahmantyo memang tak menyukai Diara. Selain tak sederajat. Pekerjaannya sebagai pramugari dianggap pekerjaan yang murahan. Sebagai pewaris tunggal, Brahmantyo berharap bisa menikahkan putranya dengan anak dari rekan bisnisnya. *** Udara pagi di Kota Jakarta sangat dingin karena hujan, membuat Ariya masih meringkuk di bawah selimut. "Ariya ... Ariya!" Aksan Pratama masih penasaran dengan kejadian yang menimpa adiknya di perkemahan. Namun, Ariya hanya terdiam tanpa mau bicara. “Iya, Kak!” Dengan langkah yang gontai, Ariya berjalan menuju arah pintu. Ia terpana ketika melihat Aksan yang begitu tampan berdiri di hadapannya. Pria yang awalnya begitu menyebalkan, kini ia begitu perhatian dengan Ariya. “Kenapa malah bengong, awas jatuh cinta nanti sama aku!” “Kakak ini ada-ada saja. Mana mungkin aku jatuh cinta sama kakaknya sendiri.” Ariya pun malu karena tertangkap basah menatapi Aksan. “Tuh kan pipinya merah!” goda Aksan. Pria penyuka minuman berkafein itu telah jatuh cinta kepada adik angkatnya. Namun, ia takut untuk mengungkapkannya. “San!” panggil sang Ayah. “Iya, pa!” “Kamu ini ngapain berdiri di depan kamar adikmu?" “Bangunin Riya, Pah. Mau aku antar sekolah sekalian berangkat kerja. Aksan dan Andre saling bercengkerama. Sementara Ariya tengah bersiap-siap untuk berangkat sekolah. Aksan yang melihat adiknya telah usai merias diri. Ia pun kembali terpana menatap wajah Ariya. “Kak Aksan!” panggil Ariya. “Eh Riya,” jawab Aksan lirih. “Awas loh Kakak nanti jatuh cinta sama aku!” goda Riya. “Hust kalian ini apa-apaan? Tidak boleh bercanda seperti itu,” ucap Andre. “Iya Ayah, maaf!” serempak mereka berbicara. *** Dengan mengendarai motor Aksan mengantar Ariya ke sekolah. Motor matic berwarna merah itu melaju dengan santai hingga pelataran sekolah. Aksan dengan sengaja membunyikan klakson agar teman sekolah Ariya tahu bahwa Ariya bersamanya. Begitulah Aksan, pria itu hanya ingin semua orang tahu bahwa Ariya adalah miliknya. “Kakak, bikin malu aja!” ucap Ariya. Aksan tertawa melihat tingkah Ariya, hingga akhirnya ia bisa tertawa lepas. "Sudah, ya, kak. Aku masuk." “Eh, jangan asal pergi!” seru Aksan sembari memberikan punggung tangannya. Dengan cepat Riya meraihnya dan mencium tangan kakaknya. Gadis itu pun segera masuk ke sekolah. “Ariya!” panggil Reza, Kakak kelasnya. “Hai, Reza!” sapa Ariya. “Pacar kamu Riya?” “Bukan, Reza. Tadi kakak aku.” Reza hanya tersenyum dan mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas. “Aku ke kamar mandi dulu ya?” Ariya sedang menuju toilet, namun langkahnya terhenti ketika ada suara lirih memanggilnya. "Ah hanya perasaanku saja." Ariya melanjutkan masuk, lalu mengunci pintu. "Ariya!" Seseorang memanggil namanya kembali. "Siapa?" tanya Ariya penasaran. "Jangan ganggu aku!" sesaat suara itu berhenti dengan sendirinya. Ariya segera membuang air kecil. Namun, semuanya belum berakhir dari atap genteng, terlihat sebuah tangan di sana. Tangan itu kemudian berbalik dan meneteskan darah. "Arrrggghh" teriak Ariya. Sontak semua yang mendengar pun segera mencari tahu di mana sumber suara itu berbunyi. Dimas kakak kelas Ariya pun turut ikut mencari tahu. "Ariya," Dimas memanggil. Namun, Ariya hanya menatap kosong pada atap langit -langit yang kosong. "Ariya!" panggil Dimas sekali lagi. "Iya Kak. lihat di atas tadi ada tangan dan keluar darahnya." "Tangan apa Ariya?" "Tangan manusia Kak. lihat airnya di bak jadi merah. "Mana Riya, nggak ada. Kakak enggak melihat apa-apa." "Lihat itu, kak. Darah. Loh kok ga ada. tadi ada darah kak di bak itu." "Sudahlah, Ariya. Ayo kita keluar," Ajak Dimas. Rasa penasaran Ariya tak tertahankan lagi. Tatapan matanya mengedarkan ke seluruh penjuru kamar mandi. Namun lagi-lagi hanya ada ruangan kosong. "Kak, tunggu!" "Apa lagi!" "Lihat, bukankah itu kaki yang bergelantungan." "Riya!" "Ha-Hantu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN