Penyesalan sang Ayah

1543 Kata
Satu hari berlalu. Adi telah menyiapkan segala kepulangannya untuk bertemu Clara. Sehingga ia menyiapkan sebuah dress indah berwarna merah maron dengan beberapa aksen pita di bahan atasnya "Pasti Clara suka," ucapnya sembari memegang dress itu. Meskipun Adi telah menjadikan istrinya seorang wanita penghibur, Adi masih saja mengunjungi istrinya. Adi segera memasukkan dress ke dalam ransel dan segera berangkat menuju terminal bis terdekat. Ia tak sabar untuk menemui Clara yang telah ia rindukan. Beberapa jam ia tempuh, hingga akhirnya Adi tiba di kota di mana tempat keluarganya tinggal. Ia turun di terminal dan bermaksud untuk melanjutkan perjalanan menggunakan taksi Online. Cukup lama Adi mencoba mencari taksi Online yang dekat dengan dirinya. Akan tetapi, tak ada yang mengambil pesanannya. "Apa aku cari ojek saja, ya?" tanyanya dalam hati. Adi pun kembali berpikir. "Aku jalan saja sambil cari ojek," gumamnya seraya mengambil tas ransel miliknya. Pria itu berjalan menyusuri jalan yang mulai sepi akan kendaraan. Semilir angin mulai menerpa tubuhnya, udara sore ini terasa begitu menyejukkan. Matahari mulai terbenam di ufuk barat, sinar jingga terlihat menghiasi awan. Indah, menyimpan kenangan yang tak terlupakan. Langkah kakinya gontai, ia lelah karena perjalanan yang panjang. Ingin sekali rasanya beristirahat di rumah. Bibir Adi menyunggingkan senyum bila teringat Clara, ia mengeluarkan sebuah foto Clara, wanita yang sangat dia cintai. Rasa rindu itu sirna, karena tak ada satu pun yang menyambutnya di rumah. Clara yang pernah di jual Adi untuk membayar hutang perjudian, telah membuatnya menjadi wanita malam. Rasa benci dan amarah sang istri membuat Adi tak bisa berkutik. Hingga akhirnya Clara memilih jalan itu dengan niat untuk membalas dendam kepada suaminya. Sementara Ariya anak tirinya, tak ada juga di rumah. “Ke mana anak ini, jangan-jangan dia mengikuti jejak ibunya.” Adi menunggu Clara dan Ariya hingga tanpa di sadari, Adi pun tertidur di ruang tamu. Pagi pun menjelang suara azan Subuh telah berkumandang membangunkannya dari tidur. Dan lagi-lagi ia belum mendapati sang istri dan anaknya pulang. “Ke mana kamu Ariya, anak kemarin sore saja sudah berani tidur di luar!” gumam Adi, kedua tangannya mengepal ada rasa emosi di dalam dirinya. Beberapa jam kemudian, Ariya pulang dengan berlarian masuk ke rumah. Adi yang menunggu semalaman pun geram dan menyambut putrinya yang tengah memasuki rumah dengan emosi. Ariya kaget ketika mendapati sang Ayah ada di hadapannya. Rasa takut Ariya terlihat jelas ketika bertemu dengan Adi. Setelah Ariya berangkat sekolah, Adi pun keluar untuk kembali ke kantor proyek tempatnya bekerja yang berada di kota. Setelah malam menjelang Adi pun kembali ke rumah. Sepanjang perjalanannya di dalam bus membuatnya menatap foto Clara yang tersimpan di dompetnya yang terbuat dari kulit ular. Sesaat kemudian ia terdiam, rasa bersalahnya terhadap sang istri membuatnya malu untuk pulang, karena Adi-lah yang telah menjerumuskan Clara ke dalam lubang kesesatan, padahal Adi sangat mencintai Clara tanpa syarat, bahkan dia menerima Clara apa adanya meskipun mengetahui Clara hamil di usia muda tanpa seorang suami. Tiba-tiba bus berhenti dan mogok, hingga membuat semua penumpang turun. Di pinggiran jalan raya Adi duduk di trotoar. Angin mulai berembus sangat kencang hingga membuat foto yang ada di tangan Adi terbang ke arah tengah jalan. "Clara!" seru Adi ketika melihat foto Clara tergeletak di tengah aspal. Adi hendak mengambil foto itu tanpa melihat sisi kanan dan kiri jalanan. Dengan segera dia mengambil foto yang terjatuh itu. "Ah, jadi berdebu," ujar Adi sembari mengusap foto. Tanpa ia sadari, sebuah mobil truk berwarna putih melaju dengan kencang dari arah belakang. Sang pengemudi pria paruh baya itu, tak melihat adanya seseorang di tengah jalan karena manik matanya tengah sibuk menatap layar ponsel miliknya. Saat pria paruh baya bernama Andre itu menatap ke arah jalan, sontak saja dia terkejut ketika melihat seorang pria tengah berjongkok di tengah jalan. Jarak mereka pun cukup dekat. Andre pun membunyikan klakson berulang kali agar pria itu bisa menghindar karena tak memungkinkan lagi untuk menginjak pedal rem, sudah terlambat. Adi yang terkejut mendengar klakson segera menoleh ke arah belakangnya. Ia tak menyangka jika ada sebuah mobil yang tengah melaju ke arah dirinya. Adi pun mencoba ingin menghindar. Akan tetapi, tak memungkinkan lagi karena jarak mereka hanya beberapa meter lagi. "Aaaarrrggghhh!" teriak Adi. Dalam sekejap teriakan itu menghilang bersama dengan dirinya yang terpental ke arah depan mobil. Nahas, mobil yang masih belum bisa di hentikan melaju dan kembali melindas tubuh Adi hingga suara rintihan pun tak terdengar lagi. Truk itu menabrak sebuah pohon setelah melindas tubuh Adi. Sunyi. Tak terdengar apa pun lagi. Tubuh Adi tergeletak di atas aspal dingin, darah segar mengalir deras dari tubuhnya yang telah hancur hingga genangan darah memenuhi jalanan dan membuat bau anyir darah tercium hingga jarak beberapa meter. Detak jantung Adi melemah, deru napasnya pun tak terdengar lagi. Hanya dalam beberapa detik saja, detak jantung kehidupan Adi telah tak terdengar lagi di dunia ini. Ia telah meninggal dunia. Tubuhnya hancur, kepalanya remuk karena terlintas ban depan truk. Di bagian punggung pun tercetak jelas jejak ban truk. Tulang-tulang yang ada di tubuhnya membuat keluar dari tempatnya. Organ dalam pun kini berceceran di jalan. Beberapa jam kemudian, pihak kepolisian dan ambulans memenuhi jalanan tempat kecelakaan itu terjadi. Adi yang tewas di tempat segera di bawa ke rumah sakit terdekat untuk di identifikasi identitasnya, sedangkan Andre sebagai pelaku di bawa ke rumah sakit karena keadaannya pun juga terluka. Pagi menjelang. Clara gelisah karena masih belum mendengar kabar dari sang suami padahal ia sudah menunggu dari malam. Rasa takut pun memenuhi hatinya jika sesuatu terjadi pada sang suami. "Ma, aku berangkat dulu, ya," pinta Ariya sembari memakai tas ransel miliknya. "Kamu hati-hati," ucap Clara. "Iya, Ma." Ariya menjawab dan meninggalkan ibunya yang terlihat gelisah di dalam rumah. Gadis itu tetap melanjutkan langkahnya menuju ke arah sekolah. Sedari malam tadi, dia merasakan ada yang aneh, dia merasa ada sesuatu. Akan tetapi, tak ada yang menampakkan wujudnya di hadapan Ariya. "Ah, mungkin hanya perasaanku saja," gumam Ariya sembari melanjutkan langkahnya menuju sekolah. Seperti biasa, ia akan mengikuti jam pelajaran tanpa adanya seorang teman. Ariya telah terbiasa dengan keadaan, apa-apa sendiri, dia merasa tak membutuhkan lagi yang namanya teman karena baginya semua murid di sekolah ini hanya akan menghina dirinya. Dua mata pelajaran dia ikuti. Kini, waktunya untuk beristirahat. Riuh para siswa pun terdengar senang, mereka berhamburan keluar dari kelas untuk mengisi waktu istirahat dengan makanan di kantin sekolah. Begitu juga dengan Ariya, ia menuju ke kantin walau hanya seorang diri, perutnya terasa lapar. Pagi tadi, Clara tak menyiapkan sarapan untuk dirinya, sehingga ia memilih untuk mencari makanan lezat dan murah di kantin sekolah. Duduk di pinggir, tanpa seorang teman adalah pemandangan biasa bagi para siswa terhadap Ariya. Ya, gadis itu sendiri, tak ada yang berani mendekat ke arah dirinya. Rupanya, rumor bahwa ia adalah pembawa sial sudah terdengar hingga ke seluruh penjuru sekolah. Terdengar ejekan yang keluar dari mulut-mulut fitnah para siswa, tetapi Ariya tak membalas, ia tak membantah karena takut, mereka akan mengusik dirinya dengan kejam. Ariya menyuap bakso pedas ke dalam mulutnya, dia tak memperhatikan sekitar, tatapannya hanya fokus pada mangkuk bakso yang masih penuh. Suara tetesan terdengar di telinga Ariya. Tetesan cairan merah kental menetes dari atas dan jatuh tepat di depan Ariya. Sontak gadis itu menghentikan suapannya. dia melihat ke arah cairan merah kental yang terlihat seperti darah itu. Seketika nafsu makannya menghilang ketika melihat darah kental itu. "Apa ini?" batinnya bertanya, di dalam mulutnya masih terdapat makanan yang masih belum ia kunyah karena kehilangan selera. Ariya memuntahkan bakso yang ada di dalam mulutnya. Beberapa kali ia mencoba memasukkan jarinya ke mulut agar apa yang dia makan bisa keluar semua. Ia mual ketika melihat darah menjijikkan itu. Sontak saja dirinya menjadi pusat perhatian di kantin. Ariya memperhatikan darah merah yang bercampur dengan serpihan tulang hancur. Jantung Ariya berdetak kencang saat menyadari bahwa yang ada di hadapannya kini adalah tanda bahwa ada sesuatu yang akan muncul. Perlahan, gadis itu mendongak ke arah atas, mencoba untuk melihat sumber dari cairan itu. Namun, belum sempat ia melihat ke arah atas. Sesuatu yang besar tiba-tiba terjatuh dari langit-langit kantin hingga terhempas ke arah lantai. Ariya terkejut, tak disangka, sebuah tangan penuh darah menggapai mejanya. "Tolong." Terdengar suara parau. "Aaaarrrggghhh!" teriak Ariya ketika sosok itu memperlihatkan wujudnya pada gadis itu. Wajahnya hancur, isi kepalanya keluar, sedangkan kepalanya remuk. Tak berbeda jauh dengan tubuhnya yang juga hancur hingga Ariya tak bisa lagi mengenali arwah siapa yang ada di hadapannya. "Tolong! Tolong aku." Sosok itu meminta pada Ariya. "Pergi! Pergi! Jangan ganggu aku!" teriak Ariya ketakutan melihat sosok yang sangat mengerikan di hadapannya kini. "Tolong aku!" teriak sosok itu memaksa dirinya. Sontak hal itu membuat Ariya semakin ketakutan. "Aaaarrrggghhh! Pergi!" teriaknya sembari melemparkan kursi plastik ke arah meja. Melihat Ariya yang ketakutan, tentu saja membuat para siswa ikut ketakutan karena mereka tahu bahwa saat ini ada sosok halus yang ada di sekitar mereka. Sontak saja semua siswa yang ada di kantin berhamburan pergi dari kantin. Hanya tersisa beberapa siswa yang penasaran dengan gadis yang katanya bisa melihat sosok hantu. "Aarrrgghh! Pergi!" teriak Ariya lagi. Ia berusaha bangkit. Kakinya terasa lemas karena ketakutan. Namun, dia memaksa untuk terus berjalan ke arah kelas, detak jantungnya berpacu kencang. Dia tak peduli pandangan orang, yang di pikirannya hanya pergi dari sekolah ini agar makhluk itu tak terlihat lagi di matanya. Segera Ariya mengambil tas yang berada di dalam kelas. Tanpa izin dari guru, ia melenggang pergi meninggalkan sekolah dengan terburu-buru.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN