Ariya yang sedari tadi kebingungan memilih untuk meminta bantuan Pak Wahyu. Gadis itu masih kecil, tetapi ia mencoba mencerna apa yang dikatakan si hantu Laksmi.
"Benarkah?" tanya Laksmi dengan suara bergetar.
Ariya pun tersenyum dan menganggukkan kepala untuk meyakinkan Laksmi.
"Iya, tapi aku akan tetap butuh bantuan kamu untuk menemukan jasadmu sendiri," ujar Ariya.
"Baiklah, terima kasih," ucap Laksmi.
Belum sempat Ariya menjawab, terdengar suara azan berkumandang di seluruh penjuru kota. Rupanya waktu telah menunjukkan pukul lima pagi, ini waktu untuk salat subuh. Butuh waktu semalam untuk Laksmi menyampaikan tempat di mana jasadnya berada.
"Aku harus pergi ke surau. Pak ustadz ada di sana," lirih Ariya seraya berlari membelah gelapnya malam yang akan berganti terang.
Langkah gadis mungil itu melambat, peluh membasahi sekujur tubuh mungilnya. Hingga akhirnya ia menghentikan langkah ketika telah sampai di depan surau. Kini, deru napasnya memburu hingga membuat itu mulai tersengal.
"Ariya? Apa yang kamu lakukan pagi hari di sini?" tanya Pak Wahyu yang terkejut ketika melihat anak didiknya telah berada jauh dari rumah di pagi hari buta.
"Pak ... bantu ... sa-saya" ujar Riya dengan suara bergetar.
"Ada apa?" tanya Pak Wahyu penasaran.
"Di-di sungai ada--"
"Kamu tenang dulu, jelaskan dengan pelan-pelan," ucap Pak Wahyu.
Ariya menarik napas dalam dan mengembuskan dengan kasar. "Pak, ikut saya sekarang," ucapnya.
"Ikut ke mana?" Pak Wahyu pun kebingungan. Namun, ia tetap mengikuti Ariya yang berjalan cepat di depannya.
"Ini tentang wanita yang saya temui tadi malam. Dia mendatangi saya lagi dan membawa saya ke tempat jasadnya," jawab Ariya sambil melangkah menyusuri Jalan tebing menuju sungai.
"Apa maksudmu? Jasad?" tanya Pak Wahyu tak percaya.
"Percaya padaku, Pak. Di sungai ada sesosok jasad wanita, dia minta agar susuk yang menempel di tubuhnya dilepaskan."
“Hati-hati, Nak. Kamu kenapa tidak menunggu matahari terbit, nanti jika orang tuamu mencari bagaimana?” teriak Pak Wahyu yang mengejar Ariya karena takut apabila gadis itu jatuh.
“Iya, Pak. Susuk itu tidak mau lepas dari tubuh Tante Laksmi, meskipun ia telah meninggal.
"Susuk? Ini sangat aneh," ucap Pak Wahyu.
"Mari ikut saya, Pak!" perintah Ariya serta menarik paksa tangan Pak Wahyu tanpa menunggu persetujuan.
Pak Wahyu tak menolak, dirinya ingin melihat apa yang sebenarnya ingin ditunjukkan oleh anak didiknya ini.
Mereka berdua berjalan menyusuri jalan setapak tepat menuju sungai besar di pinggir pemukiman tempat Laksmi menunjukkan jasadnya tadi.
Tak berapa lama, mereka berdua telah berada di bibir sungai yang mengalir deras. Sungai Citarum adalah sungai besar yang akan langsung menuju lautan, arusnya deras dengan banyak pepohonan di sisi sungai.
Mentari telah menampakkan diri, kini semua mulai terlihat dengan jelas derasnya air sungai. Manik mata Pak Wahyu meneliti ke arah sungai. Pandangannya mengedar ke seluruh sungai.
"Apa yang mau kamu tunjukkan?" tanya Pak Wahyu dengan kedua bola matanya fokus menatap aliran sungai.
Ariya terdiam, tetesan peluh masih mengalir di tubuhnya, sedangkan napasnya tetap memburu. Sejenak, tatapannya mengarah ke arah sisi sungai, tepatnya bebatuan di pinggir sungai.
Cukup lama ia memperhatikan kain putih yang tersangkut di antara bebatuan. Namun, tak berapa lama Ariya tersentak kaget ketika penglihatannya memastikan bahwa kain putih yang ia lihat adalah pakaian dari seseorang di sana.
Perlahan, jari telunjuk Ariya mengarah ke arah sisi sungai. "I-itu ... jasad itu ada di sana," ujar Ariya lirih.
Tatapan Pak Wahyu mengikuti arah hari telunjuk Ariya. Cukup lama ia memperhatikan sebelum akhirnya ia tersentak kaget melihat sesosok jasad yang menggunakan pakaian berwarna putih dengan rambut panjang terurai.
Tanpa kata, Pak Wahyu segera berjalan secara perlahan menuju ke arah sisi sungai, sedangkan Ariya mengikuti dirinya.
"Ariya, jangan mendekat!" perintah Pak Wahyu ketika ia berada tepat di bebatuan tempat jasad tadi.
Sontak Ariya terdiam di pinggir sungai menuruti perintah dari Pak Wahyu.
"Diam di situ, jangan ke mari," pinta Pak Wahyu lagi.
“Ta-tapi, Pak. Saya juga penasaran!” jawab Ariya dengan mengikuti Pak Wahyu dari belakang.
Pak Wahyu menatap ke arah jasad yang telah membusuk, bahkan sebagian dari tubuhnya telah hancur akibat terbentur bebatuan dan derasnya air. Kini, jasad Laksmi tersangkut dengan keadaan yang sangat mengenaskan, sedangkan bagian bahu dari tubuh Laksmi meninggalkan bekas memar berwarna hitam yang telah membusuk.
Bau busuk itu pun menyebar ketika Pak Wahyu mencoba untuk memindahkan jasad Laksmi.
"Ariya, dari mana kamu tahu semua ini?" tanya Pak Wahyu masih tak percaya.
"Dari arwah jasad itu," jawab Ariya dari kejauhan.
"Arwah?" tanyanya, " kamu tidak mengada-ada?" Pak Wahyu mencoba memastikan.
"Tidak, Pak. Dia selalu mengganggu saya, dia minta tolong kepada saya untuk menemukan dan dibebaskan dari susuk yang ia kenakan," jawab Ariya jujur.
Pak Wahyu membuka helai pakaian yang menutupi bagian bahu dari jasad Laksmi. Terlihat jelas belatung-belatung yang kini bersarang di bahunya. Ilmu hitam itu telah benar-benar merusak tubuh Laksmi.
Pak Wahyu menghela napas pelan. Tentu ini akan menjadi sulit, terlebih sosok Laksmi adalah kupu-kupu malam yang telah lama berkeliaran di area lokalisasi terkenal di pemukiman ini.
"Ariya, sekarang kamu pulang dulu. Bapak akan mengurus jasad ini," pinta Pak Wahyu, "kamu bisa 'kan pulang sendiri?" tanyanya lagi.
"Baiklah, Pak. Saya bisa pulang sendiri," jawab Ariya.
"Jangan beritahu tentang ini kepada siapa pun. Biar bapak yang urus semua ini," ujar Pak Wahyu mewanti-wanti.
"Baik, Pak. Saya pulang dulu," ujar Ariya seraya melangkah pergi meninggalkan Pak Wahyu di sungai Citarum.
Jelas ini bukan hal biasa bagi seorang gadis kecil berusia delapan tahun yang harus melihat sesosok jasad busuk seperti tadi. Langkah Ariya melambat, pikirannya masih terhubung dengan kejadian yang menimpanya. Hari ini sangat melelahkan baginya.
Hembusan angin tiba-tiba menerpa. Udara dingin melintas di area tengkuk gadis mungil itu. Ariya menatap ke arah sekitar, manik matanya mencari keberadaan sosok Laksmi yang ia yakini kini berada di sekitarnya.
Perlahan, sosok Laksmi mulai menampakkan dirinya di hadapan Ariya. Senyum mengembang dari wajah pucat pasi itu. "Terima kasih, aku tak akan melupakan bantuan darimu," ucap Laksmi.
"Sama-sama Tante," jawab Ariya membalas senyum Laksmi.
"Ariya, kamu harus menjadi gadis yang baik. Berkatmu aku bisa pergi ke tempat yang seharusnya. Sekali lagi, terima kasih adik kecil," ujar Laksmi sebelum seluruh tubuhnya mulai terurai menghilang.
Ariya pun mempercepat langkahnya untuk pulang sebelum Papa tirinya dan Mamanya pulang. Sepanjang perjalanan ia masih bergidik ngeri mengingat jasad Laksmi yang telah membusuk.