Matahari mulai terbenam di ufuk barat. Burung-burung pun telah terbang kembali ke sarang mereka. Udara semakin dingin di kala malam tiba, tak lama suara binatang malam mulai terdengar di telinga yang menandakan bahwa malam akan semakin larut bersama dengan terangnya cahaya rembulan malam.
Ariya yang masih duduk sendirian di taman kota hanya membawa sebungkus nasi yang akan ia makan untuk mengganjal perutnya yang sedari tadi belum ia isi.
Dengan sengaja ia pulang terlambat karena mengingat kematian Ayah tirinya akan membuatnya enggan pulang ada rasa takut menyelimuti dirinya. Terlebih jika ia mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang tak akan pernah Ariya lupakan.
Beberapa tahun yang lalu, suara denting piring dan sendok beradu terdengar dari arah dapur. Adi tengah sibuk menyuap makanan ke dalam mulutnya. Manik matanya menatap ke arah Ariya yang tengah duduk di hadapannya. Kini mereka tengah makan malam bersama berdua.
Ariya hanya bisa diam, tak bisa menahan kepergian sang ibu untuk bekerja di tempat kotor seperti itu karena ayah tirinya tak segan untuk menjadikan dirinya sebagai ancaman bagi Clara.
"Hei, kenapa diam?" tanya Adi sembari memperhatikan wajah putri sambungnya itu.
Ariya menghentikan suapannya. Ia mengangkat wajah dan menatap ke arah sang ayah tiri. "Enggak, apa-apa kok, Pak," jawab Ariya sembari kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Bikinkan kopi sana!" perintah Adi.
Gadis itu tak menjawab. Ia beranjak dari kursi dan menuju kompor untuk memanaskan air. Tanpa ia tahu, bahwa Adi tengah memperhatikan dirinya. Manik mata elang Adi menatap seluruh tubuh Ariya yang bisa dikatakan menggoda walau pun umurnya masih terhitung belasan.
Dengan tangan cekatan, dalam sekejap kopi hitam pun siap di hidangkan. Ariya berjalan membawakan segelas kopi panas ke arah Adi yang masih duduk di kursinya.
"Ini, Pak," ucap Ariya sembari menyodorkan gelas itu ke hadapannya.
Sementara itu, Adi tak menyahuti, ia sibuk memperhatikan bentuk tubuh Ariya, sedangkan gadis itu kembali duduk di kursinya dan melanjutkan makan malamnya yang tertunda.
"Hei, berapa usiamu?" tanya Adi pada gadis itu.
Ariya menoleh. "Usiaku tujuh tahun, kenapa," jawabnya asal.
"Cantik juga kamu," gumam Adi sembari menatap wajah ayu gadis itu.
Ariya menundukkan kepala. Ia takut dengan tatapan ayah tirinya. Di mata Ariya, Adi terlihat sangat menyeramkan bagaikan seorang preman. Ia tak pernah merasa nyaman ketika sang Ibu harus meninggalkan dirinya bersama dengan sang Ayah tiri di rumah ketika ibunya harus pergi bekerja di rumah lokalisasi.
"Tubuh kamu bagus, nanti kalau udah besar kamu gantiin posisi mama kamu. Aku yakin, kamu pasti bakalan jadi primadona kupu-kupu malam di sana," ucap pria yang hanya mengenakan kaos dalam dan duduk di kursi.
Ariya terkejut dengan perkataan sang ayah tiri. Bagaimana pun ia tak mau jika harus bekerja di rumah lokalisasi dan menjadi salah satu wanita penghibur di sana. Ia berpegang teguh pada agama dan tak ingin menodai tubuhnya dengan dosa yang sangat berat itu. Gadis itu memilih diam, ia tak ingin mengutarakan ketidaksetujuan atas perkataan sang ayah.
"Ehm, kamu pasti di tawar dengan harga tinggi dengan tubuh muda itu," ucap Adi menggoda Ariya.
Perkataan tadi membuat Ariya mengeratkan jemarinya. Di mata sang ayah tiri, ia tak memiliki harga diri dan bisa di jual dengan harga yang sama dengan barang. Keterlaluan. Manik mata Ariya menatap tajam ke arah sang ayah tiri. Tatapannya tajam seakan-akan menusuk wajah Adi.
Akan tetapi, bukan Adi lah yang menjadi pusat perhatian Ariya saat ini, melainkan sosok wanita bergaun putih dengan wajah hancur menyisakan tulang dan serat daging bercampur belatung hidup, sedangkan kedua mata menggantung keluar dari tempatnya yang berada tepat di samping Adi saat ini.
Tatapan Ariya tak beralih hingga membuat pria paruh baya itu risih. "Hei! Berani sekali kamu menatapku seperti itu," gertak Adi.
Ariya yang tersadar segera mengalihkan pandangan dari sosok wanita itu yang wujudnya seperti kuntilanak putih.
"Kenapa dia ada di samping Bapak?" batin Ariya bingung melihat sosok kuntilanak itu sama sekali tak melepaskan tatapannya pada Adi.
"Kamu mulai berani, ya menatap aku dengan tatapan seperti itu? Apa mau kamu aku jual sekalian?!" ancam Adi marah karena menganggap Ariya tak sopan padanya.
"Ma-maaf, Pak. Bukan maksud aku begitu, hanya saja di samping Bapak ada perempuan berbaju putih, dia melihat ke arah Bapak tanpa berpaling," jawab Ariya jujur.
Manik mata Adi membulat, ia hampir saja menyemburkan kopi yang baru saja ia seruput. Sontak saja pria paruh baya itu tertawa mendengar penuturan anak sambungnya.
"Apa yang kamu bilang? Perempuan? Di mana?" tanyanya sembari menatap ke arah sekitarnya. Ia tak bisa melihat sosok perempuan yang Ariya maksud karena perempuan itu adalah bagian dari alam gaib.
"Beneran, Pak. Sebaiknya bapak berhati-hati, bisa saja wanita itu berbahaya," ucap Ariya berusaha memperingatkan.
"Diamlah! Kamu hanya bisa membual saja! Hentikan omong kosongmu itu!" bentak Adi keras.
"Tapi ... aku tidak bohong. Wanita itu mengikuti ke mana pun Bapak pergi," ujar Ariya lirih.
"Dasar gila! Hentikan bualanmu itu! Jangan berbohong!" gertak Adi.
"Aku tidak bohong, Pak," lirih Ariya.
"Aarrrgghh! Hentikan! Akan aku panggilkan dukun agar bisa mengusir demit yang ada di diri kamu!" Adi berdiri dan beranjak pergi bekerja keluar dari rumah karena ia muak harus mendengarkan omong kosong anak sambungnya itu.
Sepanjang jalan, ia terus saja mengomel tentang Ariya yang berbicara sosok wanita yang mengikuti dirinya ke mana pun. Ia geram dengan Ariya, hingga terpikirkan suatu cara untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan Ariya hannyalah omong kosong belaka. Adi mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Pria itu sama sekali tak menyadari bahwa ada sesosok wanita bergaun putih dengan wajah menyeramkan yang terus saja mengikuti dirinya ke mana pun ia pergi. Aura kelam keluar dari tubuh Adi, di dalam tubuhnya tertanam sebuah susuk pemikat menarik wanita yang membuat setiap wanita yang melihat dirinya akan tergila-gila. Rupanya susuk itu tak hanya berlaku untuk manusia saja, melainkan juga memikat sesosok kuntilanak putih yang menghuni pohon sekitar area pembangunan tempatnya bekerja.
Adi melajukan motornya menuju rumah seseorang yang di anggap orang pintar, seorang dukun yang tinggal tak jauh dari desa ini. Ia ingin membungkam mulut Ariya yang sudah berbicara omong kosong pada dirinya. Adi juga merasa penasaran dengan apa yang dikatakan oleh Ariya. "Apa benar ada wanita yang mengikutiku?" batinnya bertanya.
***
Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Ariya terduduk di sofa, manik matanya mengarah ke televisi yang saat ini menayangkan berbagai macam acara untuk mengusir kebosanan karena harus tinggal seorang diri di rumah. Bagi gadis itu, ia sudah terbiasa seorang diri di rumah ini tanpa ada yang menemani, kedua orang tuanya tengah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Gadis itu mengembuskan napas pelan saat ia mulai merasakan kehadiran para makhluk halus di sekitarnya.
Bayangan merah melintas dengan cepat di sekitar gadis itu hingga membuat Ariya menoleh ke sana kemari untuk melihat apa yang sebenarnya mengganggu dirinya. Angin tanpa sumber berembus dengan kencang hingga menerpa tubuhnya di atas sofa.
"Siapa sih yang iseng kaya gini?" tanyanya kesal sembari melihat-lihat.
Udara dingin menyebar di sekitar tengkuk hingga membuat gadis itu meraba tengkuknya dengan telapak tangan. "Kalian jangan iseng dong!" seru gadis itu kesal.
Hi-hi-hi!
Suara tawa terdengar. Tak berapa lama, terlihat para bocah kecil yang telah menjadi arwah berkeliaran di sekitar Ariya. Mereka berjumlah tiga orang anak kecil, meninggal karena kekerasan yang terjadi di area lokalisasi, dan menjadi teman Ariya setelah gadis itu menyelamatkan mereka dengan memenuhi keinginan terakhir.
"Hei, apa kalian tidak bisa diam?" tanya Ariya kesal.
Mereka pun terdiam sembari masih cekikikan. Senyum mengembang di wajah pucat mereka. "Hihihi! Kami ingin menemani Kakak," jawabnya.
Ariya tersenyum, ia sedikit terenyuh akan maksud baik para bocah-bocah arwah itu. Memang, hanya arwah saja teman baiknya saat ini. "Hentikan, biarkan aku sen--"
Pintu terbuka dengan kencang dan menampakkan Adi dan seorang pria paruh baya dengan pakaian adat Jawa. Tatapan Adi terlihat puas karena telah bertemu dengan dukun sakti mandraguna membuktikan bahwa omongan sang anak ternyata salah besar.
"Itu dia anaknya," ucap Adi sembari menunjuk ke arah Ariya.
Gadis itu terkejut melihat sang ayah membawa pria aneh ke dalam rumah.
"Dia siapa, Pak?" tanya Ariya.
"Dia dukun yang akan membuktikan bahwa omong kosongmu tidak benar. Memang kamu yang gila, dia bilang tak ada yang mengikuti aku, kamu berusaha menakut-nakuti aku? Hah?! Kamu pikir aku anak kecil yang bisa takut karena omong kosongmu itu?" ujar Adi seraya tersenyum penuh kemenangan.
Sementara itu, pria yang mengaku dukun itu pun tersenyum puas. Manik matanya menyapu bersih ruangan yang mereka tempati. Seolah-olah bertingkah bahwa dia adalah dukun asli.
Ariya mengernyitkan dahi. Manik matanya menatap tajam ke arah sang dukun. Ia heran menatap dukun itu. Kini, pandangan Ariya beralih ke arah sosok wanita yang masih mengikuti Adi. Sosok kuntilanak putih itu berdiri di ambang pintu. Tatapannya masih menatap ke arah Adi, sepertinya aura susuk itu sangat kuat hingga membuat sosok kuntilanak itu tak mampu berpaling darinya.
"Apa benar Anda tak melihat perempuan yang mengikuti ayahku?" tanya Ariya memastikan.
Pria bernama Mbah Aryo itu menatap remeh ke arah Ariya. "Ya, tak ada perempuan yang kamu maksud, rupanya kamu menggunakan imajinasi kamu berlebihan. Dengar, Nak. Jangan bermain dengan mahluk gaib, karena mereka sangat berbahaya. Tak sembarang orang bisa melihat mahluk-mahluk dari dimensi yang berbeda."
Lelaki itu menjelaskan sesuatu yang sudah sangat dimengerti oleh Ariya, bahkan kesehariannya pun berkaitan dengan alam lain.
Akan tetapi, Mbah Aryo sangat memahami tentang makhluk gaib dan alam lain, kenapa ia tak bisa melihat makhluk yang sangat jelas terlihat di mata Ariya yang kini berada tepat di samping ayahnya.
Ariya merasa aneh karena pria yang mengaku sebagai dukun tak bisa melihat sosok dengan energi sebesar itu. "Aneh sekali," gumam Ariya.
"Dengarkan itu, Ariya. Jangan sampai kamu berbicara omong kosong seperti itu lagi. Kalau kamu masih berbicara tentang hantu, besok saya akan memasukkan kamu ke rumah sakit jiwa!" ancam Adi.
"Tak apa, dia hanya anak kecil. Imajinasinya tinggi. Sebaliknya, di rumah ini, ada sesuatu yang menghuni tempat ini, ," ucap sang dukun.
Ariya kembali mengerutkan keningnya, ia semakin heran dengan lelaki itu. Selama ia tinggal di sini, tak ada sosok yang berani menghuni rumah ini. Lalu, apa maksud dukun itu?
"Apa itu, Mbah?" tanya Adi serius.
Mbah Aryo memejamkan matanya, ia bertingkah seperti seorang dukun profesional dengan menengadahkan tangan ke arah udara sembari membaca mantra yang entah mantra apa. Ia membuka mata dan berkata, "Ada sesuatu, kita harus mengusirnya."
Ariya yang sedari tadi memperhatikan tingkah dukun itu pun tersenyum. Kini, ia tahu siapa lelaki yang mengaku sebagai dukun itu. Ia adalah seorang lelaki biasa yang tak mengenal tentang dunia gaib sesungguhnya. Sepertinya lelaki itu cukup banyak belajar tentang alam lain karena pengetahuan yang ia katakan tadi memang pengetahuan umum tentang makhluk gaib dan juga indigo.
"Kalau begitu usir cepat!" perintah Adi.
"Tapi jangan lupa!" Mbah Aryo menggesek jempol dan telunjuknya hingga membentuk lambang saranghaeyo, kalau di Indonesia dapat di artikan sebagai uang.
"Oke, oke. Aku tambah bayarannya," ucap Adi yang mengerti maksud Mbah Aryo.
"Baiklah, kita mulai sekarang," ucap Mbah Aryo sembari mengambil kendi berisi air kran. Ia berjalan ke sekitar rumah sembari mencipratkan air menggunakan daun kelor. Bibirnya terus bergerak seperti tengah membaca sesuatu.
Melihat hal itu, Ariya hanya bisa menahan tawanya karena sang ayah tiri telah di tipu oleh dukun abal-abal yang mengincar uang dengan cara menakut-nakuti tuan rumah. Sementara itu, arwah bocah yang sedari tadi melihat hal itu pun berniat untuk menjahili sang dukun.