Kecewa Pada Arfan

1012 Kata
Hari itu aku benar-benar kecewa pada Mas Arfan. Dia berani membohongiku, jika dia sudah tidak mencintaiku lebih baik pisah saja. Aku punya hati yang bisa merasakan sakit dan kecewa. Berkali-kali Mas Arfan menelfon namun ponsel sengaja aku silent. Aku ingin fokus bekerja karena jika nanti aku bercerai aku masih bisa menafkahi Kiara. Satu jam kemudian Ana malah datang ke kantorku. Entah apa maksudnya datang ke kantor. "Mbak Kinan, maafkan saya lancang kemari," kata Ana. "Maaf Ana, jika ini masalah Mas Arfan lebih baik kamu bicarakan di rumah saja. Kedatangan kamu ke sini hanya mempermalukanku saja. Apa kamu senang karyawan lain menggunjingkan kita?" tanyaku. "Maaf, Mbak. Saya hanya mengantar makan siang ini sesuai perintah Mas Arfan," jawab Ana menaruh kotak makan di mejaku. Setelah itu Ana pergi, aku benar-benar kesal dengan sikap Ana dan Mas Arfan. Mereka tidak pernah mengerti aku. Mereka hanya terlalu egois. Sore itu aku pulang tak ku lihat Ana dan Mas Arfan juga Kiara. "Bik, di mana Kiara?" tanyaku. "Non Kiara jalan-jalan ke taman dengan Bapak dan Bu Ana, Bu," jawab Bik Mina. Lagi-lagi mereka pergi tanpa aku. Aku segera mandi dan membantu Bibik di dapur. "Loh, Bik udah jam segini kok belum masak," kataku heran. Biasanya pembantuku itu jam segitu sudah masak di dapur. "Kata Bapak makan di luar, Non. Jadi Bibik gak masak," balas Bik Mina. Aku mengambil ponselku yang berada di tas. Ada pesan dari Mas Arfan, dia bilang akan langsung pergi ke resto dan aku disuruh menyusul. "Jahat kamu Mas Arfan, jika kamu anggap aku istrimu harusnya aku kamu jemput dan kita pergi sama-sama," gerutuku. Selepas salat magrib berjamaah dengan Bik Mina aku berangkat menyusul mereka. Aku tidak mau jika suamiku kesenangan karena aku tidak datang. Sampai di resto, aku melihat Ana dan Kiara sudah duduk di kursi. Sementara Mas Arfan entah kemana. "Maaf tadi salat dulu," kataku. "Kalian sudah salat?" tanyaku. "Sudah, Mbak," jawab Ana. Ku lihat Kiara sedari tadi tertunduk, aku mendekati Kiara dan menghibur dia. Aku tidak mau bertanya apa penyebabnya di sini, akan aku tanyakan nanti di rumah. "Kinan, sudah dari tadi kamu datang?" tanya Mas Arfan. "Berhubung kamu sudah datang ayo kita pesan!" ajak Mas Arfan lalu memanggil seorang karyawan. Mas Arfan menyerahkan buku menu padaku. Setelah aku pesan gantian Ana dan Mas Arfan yang pesan. Aku sesekali melihat ke arah mereka. Malam itu kami makan, selesai makan aku ajak Kiara langsung pulang. Besok bukan hari libur jadi Kiara tidak bisa pulang agak malam. "Mas, Kiara biar pulang sama aku," kataku. "Gak enak kalau naik mobil sendirian," kataku. Sebenarnya itu hanya alasan saja aku sudah terbiasa untuk mengendarai mobil sendirian. Dalam perjalanan pulang aku menyempatkan diri bertanya pada Kiara. "Sayang, kamu kenapa?" tanyaku. "Sejak mama datang aku lihat Kiara sedih," kataku. "Ayo ceritakan sama mama!" ajakku. "Aku gak suka sama papa," kata Kiara. "Papa selalu meninggalkan mama saat kita pergi bersama mentang-mentang sudah ada Mama Ana," ucap Kiara. "Oh jadi karena itu?" tanyaku. "Sudahlah, Mama tak apa ditinggal. Mama kan wanita kuat kemana saja bisa sendiri," kataku agar Kiara tidak sedih lagi. Kiara cerita jika Ana sudah meminta agar Mas Arfan menunggu sampai aku pulang baru berangkat. Tapi Maz Arfan malah tidak mau, takut jika aku capek dan menolak untuk pergi. Ternyata Mas Arfan benar-benar ingin aku tertinggal. Aku kecewa dengan cara Mas Arfan. Sampai di rumah aku menemani Kiara sampai tertidur. Setelah itu aku masuk ke kamar. Ternyata Mas Arfan sudah ada di kamar. "Kiara sudah tidur?" tanya Mas Arfan. "Emh," dehemku lalu masuk ke kamar mandi untuk cuci muka dan sikat gigi serta berganti piyama. Saat aku keluar tiba-tiba Mas Arfan memelukku. Aku terkejut, bahkan aku hampir mendorong Mas Arfan. "Malam ini aku tidur bersamamu," kata Mas Arfan. "Tapi maaf, Mas. Aku tidak bisa melayani kamu," kataku. "Tadi siang aku lagi datang bulan," sambungku. "Tidak masalah," kata Mas Arfan. Aku lalu naik ke atas ranjang diikuti Mas Arfan. Akhirnya kami terlelap, tengah malam aku terbangun. Namun, aku dibuat terkejut karena tidak ada Mas Arfan di sampingku. Aku beranjak dan berlari ke kamar mandi, tak ada di sana. Aku keluar kamar di ruang keluarga tidak ada dan di kamar Kiara juga tidak ada. Aku hendak ke dapur namun sesaat aku mendengar suara ribut di kamar Ana. Aku mendekati pintu kamar Ana yang masih terbuka sedikit. "Mas Arfan lebih baik kembali ke kamar Mbak Kinan. Kasihan Mbak Kinan, Mas," kata Ana. "Tapi bagaimana dengan si kecil ini, Ana? Kinan sedang datang bulan. Dia tidak bisa melayaniku. Jadi wajar kalau aku meminta padamu," kata Mas Arfan. "Tidak, Mas. Mas bisa melakukannya dengan Mas Kinan meskipun tanpa berhubungan badan," tolak Ana. "Ana, menolak keinginan suami dosa loh. Apa lagi kewajiban kamu melayani suamimu ini," kata Mas Arfan. "Baiklah, setelah itu Mas Arfan harus segera kembali ke kamar Mbak Kinan," ucap Ana. Tidak berapa lama pintu di tutup rapat dan terdengar desahan-desahan diantara mereka. Aku segera ke kamar dan menangis di sana. Sekitar setengah jam kemudian aku mendengar langkah kaki Mas Arfan kembali ke kamarku. Aku pura-pura masih tidur dengan tubuh membelakangi dia. Aku menangis dalam diam, Mas Arfan benar-benar tidak menghargai aku. Aku kecewa padanya. Pagi itu aku sarapan dengan diam bahkan saat Mas Arfan menyapaku. "Kinan, rajin sekali kamu udah siapin sarapan," kata Mas Arfan. Melihat aku diam saja Mas Arfan merasa canggung. "Kiara, ayo makan setelah ini kita segera berangkat!" ajakku pada Kiara. Kami makan dalam diam hanya sesekali Ana menawarkan lauk pada Mas Arfan. Rambut basah Mas Arfan membuatku sakit hati. Selesai makan aku segera mengajak Kiara berangkat. Namun, tiba-tiba Mas Arfan mencegahku. "Kinan, biar kalian Mas antar saja. Jangan berangkat sendiri!" larang Mas Arfan. "Maaf, Mas. Aku sudah biasa sendiri bahkan saat malampun aku selalu sendiri," balasku. Aku yakin sindiranku sangat mengena pada hati Mas Arfan. Ku lirik Ana juga terkejut dengan ucapanku. Aku tak peduli lagi dengan Mas Arfan. Aku segera pergi bersama Kiara. Aku tak mau menjadi wanita lemah yang bisa diinjak harga dirinya oleh seorang suami. Ada pesan di ponselku, ternyata dari Ana. "Mbak Kinan, maafkan Mas Arfan." Aku abaikan pesan itu, setelah menurunkan Kiara baru ku balas. "Yang bersalah aja tak mau meminta maaf."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN