Bab 1 Demi Biaya Operasi Ayahnya
Malam hari di sebuah hotel ternama di ibukota, tampak sedang diliputi dengan kesibukan di beberapa tempat. Semua orang hilir mudik mengurus tanggung jawab yang diembannya sebagai pihak yang menyiapkan sebuah acara besar yang telah ditunggu-tunggu.
"Cepat! Cepat! Jangan bergerak seperti kura-kura!"
Seorang wanita bertubuh gemuk dengan dandanan sedikit menor berbalut pakaian hitam-putih khas seorang pelayan elit, berteriak di sebuah ruangan yang penuh dengan para wanita muda.
Mereka akan bertugas melayani sebuah pesta super megah kurang dari satu jam lagi.
Semua wanita di ruang ganti luas itu sibuk bersiap-siap untuk segera berbaris menerima pidato singkat dan panduan dari kepala pelayan tersebut.
Saat semuanya sedang berderet mendengarkan ceramah, dari arah pintu terdengar suara benda jatuh dengan sangat hebat.
Suara itu membuat semua orang kaget!
"Astaga! Siapa yang membuat keributan di saat penting begini?!" pekik wanita gemuk bertampang galak dan tidak ramah ini, berjalan cepat dengan sedikit tergopoh-gopoh ke arah pintu masuk, menahan amarah sekuat tenaga.
Semua pelayan wanita yang berbaris bisik-bisik dan menjulurkan kepala ke arah pintu, penasaran dengan apa yang terjadi.
"Clarisha Wira Atmaja!" bentak kepala pelayan wanita, berkacak pinggang. Wajah sudah mau meletus melihat kecerobohan pelayan paruh waktu yang datang terlambat.
'Sialan! Kenapa malah nenek sihir itu yang jadi kepala pelayan malam ini, sih?' batin Claris dengan wajah pucat. Bibir digigit gugup.
Wanita bernama Clarisha, atau biasa dipanggil Claris ini adalah seorang mahasiswi berpenampilan cupu alias nerd.
Kedua rambut panjangnya dikepang dua, dan berkacamata bulat tebal. Kedua pelipisnya sudah dibanjiri keringat, napas tersengal seolah paru-parunya seperti terbakar. Mata indahnya sedikit cekung dan gelap, mirip mata panda di wajah agak bulat dan manisnya.
Dia lari ke tempat ini sekuat tenaga agar tidak terlambat, tapi ternyata jauh dari harapan.
Claris yang kelelahan berdiri susah payah dari lantai, menyeret tas kumal bersamanya, kemudian menarik-narik tepi baju rajut wol merah lengan panjang di tubuhnya, berantakan dan kusut. Berusaha terlihat rapi meski malah jadi semakin kacau, dan malah mirip korban pengungsi banjir saja.
Celana jeans birunya sudah terlihat usang dan robek di pinggiran bawah. Mungkin, jika sekilas dilihat orang, maka akan berpikir kalau itu adalah style anak muda zaman sekarang, padahal benar-benar jeans tua yang sudah berkali-kali dicuci dan dipakai ulang.
Mata kepala pelayan di depannya seperti ditusuk besi melihat Claris yang menurutnya tidak sopan. Tatapan itu penuh dengan rasa merendahkan. Dia bahkan mendengus penuh jijik secara terang-terangan melihat penampilan cupu Claris yang seolah terpaksa ingin terlihat trendy, tapi malah terlihat konyol dan aneh.
"Ma-maaf, Bu Mirna. Sa-saya tadi salah ruangan. Ini baru minggu kedua saya bekerja di sini. Jadi, masih belum hafal ruangannya dengan baik."
“Siapa yang mau dengar penjelasan bodohmu itu?!” raungnya galak.
“Ba-ba-baik, Bu!”
Bu Mirna menoleh ke arah para pelayan muda, berteriak kembali dengan wajah jeleknya, suara setengah menggeram murka,“jika di antara kalian bersikap seperti dia, jangan sebut aku Bu Mirna kalau kalian masih akan bertahan lama bekerja di sini!”
Semua pelayan muda tertegun mendengarnya, langsung melayangkan pandangan menusuk ke arah Claris.
“Dasar nenek sihir egois!” bisik Claris kesal, nadi di pelipisnya berdenyut-denyut marah.
“Kau bilang apa tadi?!” cerocos Bu Mirna galak, merasa tersinggung oleh bisik-bisik misterius Claris. Matanya melotot tajam.
“Ka-kaki. Kaki saya sakit sekali, Bu! Tadi lari ke sini dari perempatan jalan utama.”
“Itu salahmu sendiri! Apa aku peduli dengan keluhanmu itu?!”
Claris mengangguk-angguk cepat, mata mengerjap-ngerjap sok serius.
Iyakan saja semuanya biar beres!
Claris berusaha memberikan penjelasan sesingkat dan semasuk akal mungkin. Tapi, sepertinya percuma. Dia tidak bohong, hanya berusaha jujur. Apa salahnya itu?
Selain karena masalah di tengah jalan, dia memang belum terbiasa dengan tata ruang bangunan super luas tempatnya bekerja.
Hotel ini adalah hotel paling terkenal di ibukota, loh! Salah satu dari 3 hotel terbaik yang memiliki reputasi kelas dunia di negaranya!
Claris tampak terlihat kikuk dan canggung ditatap oleh Bu Mirna sekali lagi, sudah mirip alat pemeriksa barcode di mini market saja.
“Apa kau paham aturan tempat ini? Di mana otakmu itu sebenarnya?!” ledeknya geram, mendorong-dorong pelipis Claris dengan telunjuk kanannya. “Dasar cupu tidak berguna!”
Claris menundukkan kepala selama hal itu berlangsung, tergagap kecil.
Dipermalukan seperti ini oleh atasan, tidak boleh melawan, kan?
“Sa-saya minta maaf sekali lagi, Bu Mirna. Lagipula, ini baru pertama kalinya saya terlambat.”
Kacamata tebal berusaha diperbaiki di hidung mancung elegannya. Kepala Claris terus menunduk kikuk seperti orang yang mudah ditindas. Mata wanita ini tampak takut-takut melihat kemarahan wanita tua yang memang terkenal galak seantaro departemennya.
Dalam hati, dia memantrai diri tidak boleh bermasalah dengan wanita tua di depannya. Semua rasa kesal ingin membela diri, ditelannya hingga ke perut. Bagaimana pun, dia memang salah karena terlambat. Tapi, haruskah begitu kasar?
Bu Mirna tidak ada belas kasihan, langsung mengomel keras mirip sebuah speaker rusak, cempreng dan menusuk telinga, "semua orang di ruangan ini adalah pekerja baru! Jangan banyak alasan lagi! Cepat ganti baju atau upahmu akan dipotong!"
Claris memejamkan mata mendengar teriakan di depan wajahnya, membuat kepalanya mundur dengan cepat, menelan saliva kuat-kuat sambil menggenggam erat ransel usang di pundak kanannya.
Saliva Bu Mirna sampai melompat mengenai permukaan kacamatanya, saking bersemangat sekali memarahi Claris, dan dihapus cepat tanpa protes oleh sang empunya kacamata.
Wanita gemuk itu sepertinya sangat suka melampiaskan emosinya kepada Claris menggunakan banyak kata-kata kasar, terbukti meski sudah menceramahinya hampir 5 menit penuh di depan pintu, dia masih saja menyindirnya ketika sudah berjalan tergesa-gesa menuju deretan loker para pekerja.
Wajah wanita berkacamata ini panik dan memerah menahan malu, merasa risih kepada rekan kerjanya yang menatap dirinya dengan berbagai macam penilaian.
“Ma-maaf...” ucapnya bisik takut-takut kepada mereka, kepala menunduk begitu rendah.
Claris menggigit gigit meredam perasaan kacau yang menguji kesabarannya.
Dia tidak boleh membantah! Tidak boleh mengeluh! Tidak boleh buat masalah!
Padahal biasanya, setidaknya dia pasti akan mempertahankan harga dirinya. Sayangnya, sekarang dia tidak bisa seperti itu lagi.
Upah yang akan diterima di tempat ini terbilang sangat tinggi! Selain itu, dia sangat butuh uang dari semua sumber yang bisa didapatkannya sekarang. Tidak peduli jika harga dirinya dibuang sejenak.
Memang harga diri bisa dimakan? Bisa bayar tagihan bulanan? Bisa bayar biaya operasi ayahnya?
Teman manisnya, Moli, sekaligus sahabat Claris di kampus, sudah sangat baik hati menunjuknya sebagai pengganti karena berhalangan kerja akibat kecelakaan dua minggu lalu.
Sindiran Bu Mirna masih saja berlangsung di saat Clarisha tengah berganti baju dalam keadaan panik dan buru-buru, sementara di ujung sana sudah penuh oleh ocehannya yang sangat memekakkan telinga. Berdentum-dentum seperti tengah menyiksa para wanita muda itu bagaikan penjahat yang pantas dibuat menderita.
Omelan Bu Mirna membuat para wanita muda menundukkan kepala, mengerecutkan tubuh menerima perintah dan aturan dengan sangat patuh sebelum masuk ke ruang utama pesta.
Mata Bu Mirna berkilat tajam dan sangat jahat ke arah Claris yang sibuk melompat-lompat menarik rok kerjanya ke batas pinggang. Berikutnya, Claris segera memasang stocking tanpa sempat melihat apakah itu sudah berada di sisi yang benar.
Wajah Bu Mirna mengerut jelek melihat semua itu. Bibir dimajukan, kembali meneriakinya.
"Cepatlah selesai! Memang kau itu ratu harus membuat semua orang menunggu?! Sudah miskin, masih saja belagu! Pakai make up yang benar! Jangan sampai menor! Di sini bukan tempat kutu buku! Atau pun tempat jual diri!"
Claris diam saja, bergerak cepat berharap bisa segera selesai berpakaian dan menjauh dari nenek sihir itu.
Bu Mirna terus memaki dari ujung ruangan. Wajahnya tampak puas setelah melontarkan kata-kata menghina dan pedas kepada Si Cupu berkali-kali tanpa henti.
Semenjak bekerja, entah kenapa Clarisha selalu mendapat perlakuan khusus darinya, atau pun dari beberapa rekan kerja lainnya. Tapi, tentu saja yang paling parah adalah Bu Mirna. Entah dia punya dendam apa kepadanya.
Clarisha Wira Atmaja berusaha keras tidak menanggapi semua kata-kata buruk tersebut. Toh, ditanggapi yang ada malah bisa membuatnya rugi! Sangat tidak berguna!
"Kau pikir hotel ini milikmu, hah?! Telat lagi besoknya, kau harus bekerja gratis di lain hari jika masih ingin bekerja di sini!!!"
Urat nadi di pelipis Bu Mirna sudah mau meledak hebat bagaikan gunung berapi. Ekspresinya mengingatkan Claris kepada karakter paman jahat dari kisah fantasi anak-anak yang berasal dari London dengan tema penyihir cilik. Sangat bikin emosi!
Apa katanya tadi? Jangan sampai menor?
Yang benar saja! Lalu, dia sendiri apa? Bibir merah terang seperti habis mencium aspal! Pipi sudah seperti ditampar! Masih saja berani menegurnya begitu?
Dasar wanita tua bermuka tebal!
Hati Claris tertusuk perih mendapat perlakuan tidak menyenangkan itu, juga penuh emosi di saat yang sama. Ini adalah hari pertamanya terlambat ke tempat kerja. Sayangnya, tidak ada waktu untuk memikirkan semuanya, karena malam ini adalah malam super penting!
Sejujurnya, kalau bukan karena terdesak butuh uang cepat. Dia tidak mau bekerja di tempat yang cukup penuh tirani ini. Dia selalu mendapat perlakuan tidak menyenangkan, meskipun tidak secara terang-terangan.
Entah ada yang iri atau pun iseng, tapi baru seminggu bekerja, sudah ada yang menyebar gosip setelah melihat wajahnya yang ternyata cantik bak artis.
Tentu saja dia harus dandan dan berpenampilan menarik kalau bekerja di hotel sebagai pelayan, bukan? Apalagi bukan hotel biasa. Wajah aslinya pun terekspos dengan mudahnya. Ada yang kagum, ada pula yang tampak melihatnya seperti kuman yang wajib dijauhi.
Bekerja dengan menampilkan wajah aslinya, bukanlah hal yang disukai oleh Claris. Tapi, sekali lagi, dia tidak punya pilihan!
Gosip yang beredar bilang kalau dirinya pura-pura terlihat cupu karena sebenarnya adalah wanita yang tidak benar, bermuka dua seperti di film-film nakal—paginya sok alim, malamnya jadi wanita iblis penggoda.
Ada juga yang memfitnahnya sebagai simpanan om-om genit yang penuh sandiwara, atau dia itu mungkin sebenarnya adalah wanita licik yang suka mencari perhatian dan belas kasih orang lain agar semua hal yang diinginkannya terpenuhi, serta banyak lagi hal-hal yang tidak enak didengar lainnya.
Claris diam saja. Tidak menanggapi mereka. Mau ribut di tempat kerja sementara dirinya hanyalah rakyat biasa? Mimpi! Dia hanya bisa tertawa pahit!
Toh, sama sekali tidak ada masalah selama ini karena gosip tersebut. Biarkan mereka berbicara sesuka hati! Tahu apa mereka soal hidupnya yang keras ini?
Claris menghela napas berat, menenangkan diri, mencoba mengatur detak jantungnya agar kembali normal usai berlari bak dikejar anjing gila.
Di depan sana, suara Bu Mirna, Claris yakin sudah bisa membuat ikan satu lautan mati karena kejang-kejang dan melompat sendiri ke daratan!
Pikiran ini hampir membuatnya tertawa, tapi segera dihapus dari otaknya.
"Ingat! Semua orang yang hadir di pesta ini adalah orang yang berpengaruh! Kalau mau masih hidup dengan baik, sebaiknya kerja yang benar! Jangan buat masalah apa pun! Hotel membayar kalian mahal-mahal tidak untuk jadi kura-kura pemalas!"
Semua kepala wanita muda itu menunduk miring gara-gara menahan kerasnya teriakan Bu Mirna di depan mereka, memejamkan mata seolah gendang telinga mereka akan meledak karenanya. Wanita itu mengomel dengan suara bagaikan guntur menggelegar yang sangat jelek dan seolah akan merobek jantung siapa pun.
Apa dia itu tidak pernah memeriksakan tenggorokannya ke dokter THT? Siapa tahu, kan, dia itu menelan benda aneh di sana? Jangan-jangan dia itu alien?
Claris mendengus sebal sejenak ketika meliriknya.
Tentu saja kalimat omelan berisi sindiran panjang kali lebar itu sedikit banyak ditujukan untuk Claris sampai akhir. Dia seolah menganggap Claris adalah objek percobaan yang tidak memiliki hati, jadi bisa diperlakukan semuanya sekasar mungkin.
Kacamata dilepas, rambut kepangnya dibuka lalu disisir cepat-cepat untuk dibuat gulungan tinggi berhias bunga-bunga yang senada dengan pakaian pelayannya.
Sebenarnya, mata Claris baik-baik saja. Jadi tidak masalah jika tidak memakai kacamata.
Gerakan Claris jadi lebih cepat dari sebelumnya, panik ketika melihat kumpulan orang itu sudah mau selesai menerima siksaan spesial Bu Mirna.
Dia pun segera mendorong masuk semua barang-barangnya masuk ke loker, meraih ponselnya diam-diam untuk diselipkan ke saku roknya.
Penampilan cupu Claris selama ini hanyalah penyamaran semata demi ketenangan hidupnya, dan juga karena orang-orang yang mengenalnya dengan baik, mengatakan kalau dia memiliki fitur wajah yang sangat cantik, dan punya peluang menjadi selebgram kalau mau mencoba.
Claris muak mendengar semua itu!
Selebgram? Menggelikan!
Clarisha sudah pernah mengalami bully karena kecantikannya di masa lalu. Bukannya malah terkenal, dia malah mendapat masalah karena wajahnya. Sekarang pun juga masih begitu.
Siapa bilang cantik selalu membuat pemilik wajahnya beruntung?
Menurut Claris, punya kekuasaan dan uang barulah beruntung.
Kalau bukan karena saat ini dia terdesak membutuhkan uang demi biaya operasi ayahnya, dia tidak akan mau sudi bekerja memaksakan diri berada di tempat ini.
Semua rekan kerja barunya terbilang agak aneh, dan ditambah dengan Bu Mirna yang galaknya bukan main. Ini seperti berada di neraka yang terlihat indah!
Ternyata bekerja paruh waktu di hotel terkenal ibukota tidak sebagus bayangannya saat menerima tawaran itu dari teman baiknya, Moliandriani Kusuma.
"Cepat berkumpul dengan yang lainnya! Dasar wanita rubah!"
Clarisha menghela napas berat dengan istilah itu. Tentu saja yang dimaksudnya wanita rubah adalah dirinya. Siapa lagi?
Apa mulutnya tidak bisa dijahit saja? Berisik sekali! Dasar nenek sihir! maki Claris dalam hati.
Dia memejamkan mata lelah mendengar dirinya masih saja jadi sasaran makian dan hinaan. Begitu selesai memakai riasan yang diwajibkan untuk pesta malam ini, dia menarik napas dan membuangnya perlahan.
Loker pun ditutup keras.