“Bagaimana kondisinya?”
Greta mengundang seorang dokter untuk memeriksa kondisi Ellie siang itu. Setelah tiga kali memuntahkan makanannya, kondisi Ellie menurun drastis. Sekarang adiknya hanya dapat berbaring di atas kasur dengan nafas yang tersendat-sendat. Penampakan itu terlihat mengerikan: Ellie-nya tertidur di tengah ruangan yang temaram, nyaris tidak bergerak kecuali dadanya yang sesekali naik-turun, sementara wajahnya pucat pasi, dan kedua tangannya terkulai lemah. Hati Greta teriris menyaksikan pemandangan itu, terutama ketika Ellie terus menolak makanan yang disodorkan oleh Mrs. Gilbert padanya. Bagaimana mungkin Greta diam saja. Ia segera menghubungi dokter yang pernah merawat neneknya dan meminta pria itu untuk memeriksa kondisi Ellie. Greta tidak berharap banyak, ia tahu bahwa kondisi adiknya kian memburuk dari waktu ke waktu. Membuat nafsu makan Ellie kembali saja sudah sebuah kemajuan, tapi kemudian dokter itu mengatakan sesuatu yang benar-benar tidak ia harapkan.
“Aku tidak tahu apakah dia akan bertahan lebih lama lagi. Pengobatan yang kupunya sangat terbatas, itu hanya akan membantu memulihkannya sebentar saja, tapi itu tidak menjamin kesehatannya. Kau harus segera membawanya ke dokter ahli. Seorang dokter ahli akan lebih tahu tindakan apa yang harus diambil.”
Greta mengangguk pelan. Ia tahu hal itu akan terjadi cepat atau lambat, tapi membayangkan dirinya kehilangan Ellie.. Greta bahkan nyaris tidak dapat membayangkannya – ia tidak ingin membayangkannya barang sedetikpun.
“Apa kau punya resepnya?”
“Ya, aku sudah menulis resepnya,” pria itu mengeluarkan obat-obatan yang dibungkus dengan kain kecil dan menyerahkannya pada Greta. “Ini herbal untuk meredakan rasa sakitnya. Kau bisa mencampurnya ke dalam minuman. Tapi dia hanya boleh meminumnya sekali setiap lima jam.”
“Baiklah, terima kasih Sir Thomas.”
“Senang bisa membantumu, Lady. Aku pamit dulu.”
Setelah kepergian sang dokter, Greta berlari cepat menuju kamarnya di lantai atas. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Greta mulai menulis surat untuk ditujukan pada pengacara nenenknya siang itu. Ia ingat kalau mereka masih memiliki jaminan uang untuk properti yang belum terjual. Tadinya Greta berpikir kalau ia hanya akan menggunakan uang itu untuk kepentingan mendesak, dan sekarang adalah waktu yang tepat untuk menggunakannya. Ia berencana untuk membawakan seorang dokter ahli untuk menyembuhkan adiknya. Meskipun harapannya kecil, hal itu bukannya tidak mungkin. Lagipula, Greta sudah mengatakan pada dirinya kalau ia akan melakukan segala cara yang diperlukan untuk memulihkan Ellie.
Satu jam setelah berkutat di dalam kamarnya, menulis beberapa surat untuk pengacaranya dan membuka dokumen-dokumen lama peninggalan neneknya, Greta mendengar suara pintu kamarnya diketuk dan wajah Mrs. Gilbert muncul di depan sana.
“Seseorang ingin menemuimu tapi dia tidak mau menyebutkan namanya.”
Mungkin salah satu orang suruhan Mr. Breuman, simpul Greta.
Tanpa mengangkat wajahnya dari surat yang sedang ditulisnya itu, Greta menanggapi pelayannya dengan cepat. “Aku tidak mau menerima tamu siang ini. Katakan saja aku sedang tidak enak badan.”
“Kau yakin? Orang ini bersikeras..”
“Ya, tolonglah. Aku perlu berkonsentrasi sekarang.”
“Jika itu maumu.”
Greta mendengar suara klik pintu yang ditutup perlahan. Ia dapat bernafas lega dan melanjutkan tulisannya, tapi tak berselang lama, sekitar sepuluh menit kemudian, seseorang menggeser daun pintu kamarnya hingga terbuka dan menyelinap masuk ke dalam sana. Greta masih berpikir kalau orang yang datang adalah Mrs. Gilbert. Biasanya Mrs. Gilbert datang kesana untuk membawakannya makan siang, tapi Greta sudah menyantap makanannya tadi, bukan? Jadi begitu sadar, Greta menyentak kepalanya dari atas meja untuk melihat siapa yang masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu. Kondisi ruangan itu gelap karena tirai jendela dibiarkan tertutup. Penerangan hanya bersumber dari cahaya lilin di atas meja dan cahaya redup sinar matahari yang menyusup masuk melalui celah-celah jendela. Ketika melihat sosok yang berdiri di ambang pintu kamarnya itu, Greta tahu kalau sosok itu bukanlah Mrs. Gilbert. Sosoknya terlalu tinggi, berbahu lebar, dan mengintimidasi. Saat sosok itu mendekati pantulan cahaya, kedua matanya membeliak dengan kaget. Greta yang terkesiap langsung berdiri dari kursinya. Ia mengitari meja dengan waspada, dan meskipun tahu kalau sosok itu sama sekali tidak berbahaya, tetap saja Greta tidak pernah menerima seorang tamu di dalam kamarnya.
“Kau!”
Sosok itu sempat diam, kemudian bibirnya bergerak pelan, dan kata-kata yang keluar dari sana lebih terdengar seperti sebuah bisikan.
“Sebastian. Namaku Sebastian.”
Greta tidak mengacuhkan pernyataan itu dan langsung menudingnya dengan pertanyaan ketus. “Apa yang kau lakukan disini.”
“Pelayanmu mengusirku.. Kau mengusirku. Padahal aku datang secara baik-baik. Apakah ini caramu memperlakukan setiap tamu yang datang?”
“Tidak semuanya.”
“Tapi kau tidak tahu kalau itu aku.”
Greta gelagapan. Ia menatap kertas-kertas di atas mejanya yang masih tersebar berantakan dan menjadi panik. “Aku sedang sibuk.”
Sebastian mengangkat satu alisnya dengan curiga. Sebelum mengenalnya lebih dekat, Greta akan berpikir pria itu adalah orang yang hangat, sopan dan pandai berbicara. Faktanya, ia tidak mengenal pria itu sama sekali. Cleveland – Sebastian, adalah laki-laki yang arogan dan juga pendendam. Ia tidak memiliki aura kesopanan sedikitpun, dan dari caranya menatap Greta - Ya tuhan, semoga Tuhan menolongnya - laki-laki itu seolah sedang berusaha menelanjanginya.
“Sibuk..” Sebastian membeokan kemudian berjalan mendekati meja kayu tempat dimana kertas dan dokumen-dokumen milik neneknya tersebar. Ketika Sebastian mencondongkan tubuh untuk melihat apa yang sedang dikerjakannya, Greta cepat-cepat mendekat untuk menghampirinya. Kini, laki-laki itu berada cukup dekat untuk melihat ketegangan dalam raut wajahnya. Sementara Greta tidak yakin apa yang benar-benar dirasakannya saat itu, tubuhnya bergelenyar tiap kali ia berada di dekat Sebastian. Ingatan akan momen ketika mereka duduk di atas pelana, dengan lengan kuat Sebastian melingkari pinggul rampingnya, dan punggung Greta menekan tubuh pria itu, membuat perut Greta melilit. Di sisi lain, Greta juga merasa kesal karena Sebastian dengan lancang masuk ke dalam kamarnya – ruangan yang seharusnya menjadi tempat pribadinya, tanpa permisi dan bahkan berani mengintimidasinya.
“Keluar!” ucap Greta dengan sedikit penekanan dalam suaranya. Ia memelototi Sebastian seolah-olah berpikir bahwa hal itu dapat menakutinya. Tapi seharusnya Greta tahu bahwa Sebastian bukan laki-laki yang mudah dibuat gentar. Keberadaannya di ruangan itu terasa mendominasi. Di tambah lagi laki-laki itu hanya perlu sedikit usaha untuk membuatnya meleleh.
“Kau bergetar..” ucap Sebastian, pelan. Wajah Greta memerah karena malu. Ketika laki-laki itu akhirnya bergerak mundur perlahan, Greta baru bisa bernafas lega.
“Apa maumu?” Greta tidak melihat poin pentingnya untuk basa-basi. Ia ingin laki-laki itu segera pergi darisana.
“Kupikir itu jelas. Aku mau kau menjelaskan padaku yang sebenarnya alasan tentang mengapa kau mendatangiku malam itu..”
“Sudah kukatakan padamu kalau itu hanya..”
“Omong kosong!” Anehnya Sebastian tetap berdiri tenang sembari menatapnya kosong. “Kita sama-sama tahu itu. Jangan berusaha membodohiku.”
Greta menundukkan kepala. Matanya menatap lantai kayu selagi ia berbicara.
“Aku mabuk malam itu, aku tidak tahu apa yang kulakukan..” Greta berbohong dan wajah laki-laki itu berubah merah padam karena marah.
“Bukan itu yang dikatakan Arthur padaku..”
Tiba-tiba jantung Greta berdetak cepat. Ia mengutuki dirinya dan juga sang Earl. Apa Cleveland benar-benar membocorkan alasannya pada pria ini?
“Apa yang dia katakan padamu?”
“Dia mengatakan kalau kau menganggapnya sebagai tindakan gegabah karena kau tertarik padaku..”
Greta mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Sekali lagi ia mengembuskan nafas yang sedaritadi berusaha ditahannya karena rasa khawatir. Mungkin sebaiknya Sebastian memercayai hal itu ketimbang tahu alasan sebenarnya.
Kini ketika keheningan mendekap seisi ruangan, Greta merasakan getaran aneh itu muncul kembali saat Sebastian berjalan mendekat hingga tubuhnya hanya berjarak satu langkah jauhnya dari Greta.
“Kau tertarik padaku?” kalimat yang keluar dari mulut Sebastian itu disampaikan lebih seperti pernyataan ketimbang pertanyaan. Kemudian, ketika Greta tidak menjawab, Sebastian melanjutkan. “Benarkah?”
Greta mengerjapkan matanya, merasa bimbang dengan situasi itu – tentang ketertarikannya yang dirasakan terhadap laki-laki ini.
“Aku tidak tahu.. aku.. aku tidak yakin.”
“Karena kau tidak benar-benar tertarik padaku. Kau menginginkan hal lain dariku.”
Laki-laki itu membacanya dengan sangat mudah.
“Tidak.. kau menginginkan sesuatu dari Earl of Cleveland yang asli, hanya saja kau terjebak bersamaku dan sekarang saat semuanya sudah terjadi, kau berusaha menjauhiku untuk menyangkal apa yang pernah kau rasakan..”
“Jangan berusaha memberitahuku apa yang kurasakan!” kecam Greta dengan keras. Ia sudah cukup kesal dengan kemampuan laki-laki itu menerjemahkan emosinya dengan begitu baik, bahkan ketika Greta sendiri masih merasa kesulitan untuk memahaminya.
“Jika itu maumu..” Sebastian berbicara dengan pelan. “Aku tidak akan melakukannya lagi, jadi sebaiknya kita lompati saja semua omong kosong ini dan beritahu aku yang sebenarnya.”
“Kenapa itu sangat penting untukmu?”
“Kenapa itu sangat penting untukku? Kau benar-benar ingin tau mengapa itu sangat penting untukku?”
“Ya, kenapa?”
“Karena seorang wanita tidak pernah datang padaku untuk meminta apa yang mereka butuhkan. Karena aku tidak pernah membiarkan mereka mengambil sebelum aku memberikannya..”
Mereka. Sebastian menyebut wanita itu sebagai ‘mereka’, Greta bertanya-tanya sudah berapa banyak wanita yang terlibat dalam hidupnya? Dan semua kalimat yang keluar dari mulutnya itu benar-benar arogan.
“Jadi apa yang biasa kau lakukan?” tanya Greta penasaran. “Mendatangi mereka dan memberikan apa yang mereka ‘butuhkan’? Seharusnya aku tidak terkejut. Kau memang searogan itu.”
Sebastian tersenyum dan Greta merasa seolah tubuhnya akan meleleh. Ia lupa bertapa menawannya senyuman laki-laki itu. Senyuman itu yang membuat Greta langsung tertarik padanya di pertemuan pertama mereka.
“Begitulah..”
“Dan kau menganggap tindakanku malam itu menghina harga dirimu, karena kau adalah pria yang tidak akan membiarkan seorang wanita mendahuluimu..”
“Kau pandai mengalihkan topik pembicaraan, dan meskipun aku sangat tergoda untuk membahasnya, aku lebih memilih untuk kembali ke masalah utama kita disini.”
“Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Tidak ada hal lain yang ingin kusampaikan padamu.”
“Begitu.. Baiklah.” Sebastian melangkah maju. “Kau tahu aku dan Arthur sudah berteman akrab sejak kami masih remaja. Aku mengenalnya sebaik dia mengenal diriku, dan kami tidak menyimpan rahasia terhadap satu sama lain. Kau tahu betapa menjengkelkannya itu bagiku mengetahui bahwa seorang wanita asing datang secara tiba-tiba di antara kami dan mengacaukan kepercayaan yang kami bagun terhadap satu sama lain selama ini. Kau tahu betapa menjengkelnya itu bagiku untuk menjadi seseorang yang harus disingkirkan ketika faktanya aku sudah terlibat dalam rencana apapun yang kau buat?”
“Tidak ada rencana!” ucap Greta, kesal. “Tidak bisakah kau menerimanya begitu saja?”
“Seperti apa tepatnya kau ingin aku menerima semua itu?”
“Terima saja kalau itu hanyalah.. kejadian bodoh yang tidak akan terulang lagi.” Greta menyesal segera setelah ia mengucapkannya karena sekarang kedua mata pria itu menggelap, wajahnya merah padam oleh amarah dan ia benar-benar khawatir kalau dirinya sudah membangunkan sosok predator yang siap menerkamnya kapan saja di ruangan itu – kamarnya! Bagaimana mungkin Greta lupa kalau mereka masih berada di kamarnya.
“Kejadian bodoh yang tidak akan terulang lagi..” laki-laki itu membeokan. “Kejadian bodoh. Tindakan gegabah. Bukan apapun.” Ada penekanan dalam setiap kalimat yang disampaikannya dan Greta menjadi semakin dibuat takut karenanya.
“Lady.. kau benar-benar menghinaku.”
“Aku tidak bermaksud..”
“Tapi kau melakukannya..”
Greta menarik nafas, tiba-tiba kehilangan kata-katanya. Sementara itu Sebastian terus melangkah mendekat, dan disaat yang bersamaan Greta bergerak mundur hingga tubuhnya terbentur oleh tepi meja kayu. Ia merasa terdesak di antara meja kayu dan tubuh laki-laki itu sekarang. Greta menatap ke sekelilingnya, tiba-tiba saja merasa kecil sekaligus rapuh. Apakah ia bisa membebaskan dirinya dari laki-laki itu. Rasanya sangat mustahil terutama ketika Sebastian meletakkan satu tangannya di leher Greta dan mulai menyentuhnya. Tidak seperti sikapnya yang arogan dan ucapannya yang kasar, sentuhan itu terasa hangat – dan familier. Greta tanpa sadar mendekatkan tubuhnya. Darahnya berdesir cepat ketika ia merasakan desakan kuat untuk menyambut laki-laki itu dan sensasi kenikmatan yang dirasakannya malam di perpustakaan itu kembali membanjirinya. Greta tidak bisa melupakannya begitu saja meskipun kejadian itu cepat dan dibuat-buat.
“Kau sebut ini hal bodoh?” Sebastian menurunkan wajahnya dan menempelkan bibirnya yang basah di atas leher Greta. Seketika Greta merasakan nafasnya tercekat, tubuhnya terkesiap. Seharusnya ia mendorong laki-laki itu menjauh, tapi tubuhnya yang berkhianat justru mengharapkan sentuhan yang lebih banyak – lebih intim – lebih panas. Persis ketika Sebastian menyusuri lehernya dan meninggalkan jejak di atas kulitnya, Greta memejamkan mata. Melawan desakan untuk mendorong laki-laki itu, Greta menyerah pada kenikmatan.
Sebastian tidak berhenti sampai disitu saja. Seolah bermaksud meledeknya, laki-laki itu mencium keningnya, hidungnya, sebelum turun untuk melumat bibirnya dalam ciuman yang dalam dan panas. Adrenalin yang berdesir di tubuhnya membuat jari-jarinya secara spontan meremas pakaian Sebastian. Greta menarik laki-laki itu mendekat hingga ia bisa merasakan puncak gairah Sebastian yang mengeras menekan perutnya. Sementara bibirnya terbuka untuk menyambut laki-laki itu. Tidak seperti ciuman pertama mereka di perpustakaan, kali ini Sebastian benar-benar menunjukkan kemampuannya dalam hal itu. Pria itu kelaparan dan Greta-pun begitu. Hal itu sudah jelas. Greta memejamkan mata hanya agar ia dapat menikmatinya tanpa harus merasa bersalah.
Persis ketika Sebastian menjauhkan wajahnya, Greta merasakan kekecewaan yang tidak pantas. Laki-laki itupun menatapnya dengan puas, menikmati kemenangannya.
“Ya aku bisa melihat dengan bagaimana kau menganggap ini hal yang bodoh,” ledek Sebastian sebelum menurunkan wajahnya dan mencium bibir Greta yang terbuka.
Greta merasakan tubuhnya bergelenyar saat laki-laki itu menyusupkan lidah di antara giginya, kemudian menciumnya lebih dalam hingga Greta bisa merasakan nafasnya yang hangat di mulutnya, bau sengar yang menguar dari kulitnya, dan genggaman kuat tangan laki-laki itu yang menahan tubuhnya.
Ketika Greta menjadi semakin liar, Sebastian mendorong tubuhnya hingga membentur tepian meja kayu dan mengakibatkan pajangan logam di atas sana jatuh ke atas lantai kayu dengan suara berdenting yang nyaring. Greta tersentak kaget, tapi Sebastian tidak memberi kesempatan dan malah menarik wajahnya mendekat. Greta sendiri tidak mau berpura-pura menolak sentuhan itu. Ia menyambutnya seperti gadis muda yang sedang kasmaran. Tangannya diletakkan di pundak Sebastian, punggungnya dilengkungkan sehingga dadanya menyentuh d**a laki-laki itu yang keras. Otot-otot Sebastian menegang di bawah sentuhannya. Greta menyambut setiap sentuhan tangan Sebastian yang merambat pelan di tengkuknya, kemudian beranjak ke telinganya sebelum turun ke tulang selangka hingga sampai pada gundukan payudaranya yang terkekspos. Laki-laki itu sedang menciumi ceruk lehernya dengan liar ketika tiba-tiba Greta mendengar suara pintu kamarnya diketuk pelan.
Terkesiap, sontak ia mendorong laki-laki itu menjauh kemudian menyerukan kalimat perintah pada seseorang di luar sana.
“Jangan!”
Sebastian kala itu hanya berdiri diam ditengah kegelapan ruangan seraya mengamatinya selagi Greta berlari ke arah pintu kemudian menahan daun pintu itu dengan tubuhnya.
“Siapa disana?”
“Maafkan aku, Miss.. tapi aku mendengar sesuatu yang jatuh. Kupikir kau membutuhkan bantuan..”
“Aku baik-baik saja. Terima kasih Mrs. Gilbert, kau boleh beristirahat.”
“Tentu. Beritahu aku jika butuh bantuan.”
“Tidak, semuanya terkendali disini. Terima kasih.”
“Baiklah..”
Greta menunggu hingga ia mendengar suara langkah kaki bergerak menjauhi lorong sebelum ia bisa menjauh dari pintu. Kini kedua matanya menatap Sebastian dengan marah. Greta sama sekali tidak percaya laki-laki itu berusaha merayunya dalam situasi seperti itu, dan yang lebih mengejutkan lagi adalah betapa rayuan itu memberinya efek yang begitu besar hingga membuatnya kebingungan. Kini ketika sisa kewarasannya sudah kembali, Greta tidak akan memberi Sebastian celah untuk meruntuhkan pertahannya lagi. Sudah cukup tentang gairahnya, Greta harus tetap berpikir dengan akal sehat. Laki-laki itu adalah gangguan nyata, sesuatu yang akan menghalangi Greta dari tujuannya, dan kalau Greta menyerah dengan mudah ia akan melakukan kecerobohan yang sama untuk kali kedua. Kali ini Greta tidak hanya akan kehilangan reputasinya, tapi mungkin juga keperawanannya.
“Kau harus pergi sekarang! Aku tidak mengizinkanmu untuk mengendap-endap masuk kesini lagi. Aku akan..”
“Aku mengerti,” Sebastian tidak mau repot-repot membantahnya. Laki-laki itu sudah melangkah ke arah pintu dan bersiap untuk pergi sebelum Greta berpikir mungkin lebih baik jika ia memastikan keadaan di luar cukup aman sebelum ia membiarkan laki-laki itu pergi meninggalkan kamarnya.
“Tidak, tunggu disini!”
Greta membuka daun pintu perlahan, mengintip keluar kemudian menarik Sebastian keluar dari dalam sana.
“Di bawah tangga ada pintu yang mengarah ke halaman belakang. Kau harus keluar dari sana.”
Sebastian tersenyum geli, tapi tidak mengatakan apa-apa. Greta nyaris ingin mencekik lehernya saat itu juga. Laki-laki itu mungkin menganggap bahwa dirinya sudah menang, bahwa ia – entah bagaimana – telah berhasil merayu Greta. Tapi Greta tidak akan memberi kemenangan itu pada Sebastian begitu saja. Tidak akan.
Selagi Sebastian bergerak menuruni tangga, Greta mengawasinya dengan waspada. Laki-laki itu sudah menghilang di anak tangga dan pergi menyusuri lorong menuju pintu belakang. Dalam beberapa detik, Greta masih mendengar suara ketukan langkah kakinya yang berat di atas lantai kayu, tapi kemudian suara itu lenyap dengan cepat dan seketika Greta menjadi panik.
Ia berlari menuruni tangga kayu dengan terburu-buru hingga merasa seperti terbang melompatinya. Dan ketika sampai di ujung tangga yang melingkar itu, firasatnya benar saja. Ia melihat Sebastian sedang berdiri diam di depan pintu kamar yang sedikit terbuka. Wajahnya yang penasaran melongok ke dalam tapi sebelum laki-laki itu melihat Ellie yang terbaring tak berdaya disana, Greta lebih dulu menariknya menjauh. Kini Greta tidak bisa memercayai laki-laki itu pergi meninggalkan rumahnya kecuali ia sendiri yang membawanya keluar.
“Kau tinggal bersama siapa?”
“Bukan urusanmu!”
“Apa itu adikmu? Kenapa kau tidak memperkenalkan kami?”
“Kubilang bukan urusanmu!”
Sebastian tidak berusaha menghentikannya saat Greta terus menarik lengannya ke arah pintu. Tepat ketika pintu itu terbuka di depan mereka dan cahaya dari luar menyerbu masuk ke lorong, Sebastian berbalik untuk menatapnya dengan serius.
“Kenapa kau begitu memusuhiku?”
Hening. Greta menatap Sebastian dalam diam. Benaknya dengan cepat akan menjawab laki-laki itu: karena aku menyukaimu, dan itu tidak berarti baik untuk keluargaku. Tapi bibirnya justru berkata, “karena kita memulainya dengan kebohongan, dan tidak ada satupun yang terjadi di antara kita dapat mengubah hal itu.”
Sebastian menatapnya dingin. Ekspresinya kembali tertutup. Laki-laki itu tidak berusaha menyangkal, dan sejujurnya sikap diamnya mengecewakan Greta. Persis ketika Sebastian berbalik pergi meninggalkannya sendirian di ambang pintu, Greta dilanda oleh kekosongan yang begitu besar. Tidak pernah sedetikpun dalam hidupnya ia merasa sehampa itu. Namun, selagi menelan kepahitan itu, Greta menarik dirinya dari rasa sedih dan menutup pintu dengan cepat.