Eloise sedang di duduk di ruang tengah sembari membolak balik halaman buku dalam pangkuannya ketika ia mendengar seseorang dari luar mengetuk pintu dengan keras. Mr. Gilbert, pelayan yang ditugaskan secara khusus oleh Greta untuk menjaga seisi rumah langsung berdiri. Dari ekspresinya yang resah, Eloise menangkap bahwa ada sesuatu yang buruk tentang situasi itu. Mrs. Gilbert, istrinya, muncul dari arah dapur dengan tergesa-gesa. Wanita gemuk itu masih mengenakan celemek dan penutup kepala saat ia mendekati suaminya dan berbisik. Eloise yang merasa tidak dianggap di ruangan itu, segera memprotes pelayannya dan bertanya, “ada apa, Mrs. Gilbert?”
Kini wajah si pelayan memerah. Eloise sudah mengenal wanita itu cukup dekat. Mr. dan Mrs. Gilbert lebih seperti paman dan bibinya ketimbang pelayan. Mereka sudah bekerja untuk neneknya sejak Eloise dan Greta masih kecil, dan setelah kepergian nenek, pasangan suami istri itu masih setia melayani mereka bahkan ketika Greta hanya mampu membayarnya dengan gaji rendah. Menurut pasangan itu, gaji bukanlah masalah besar selama mereka masih diizinkan untuk menempati satu ruangan kosong di rumah milik nenek.
Dulu Mrs. Gilbert adalah teman bermainnya. Namun sejak Eloise jatuh sakit, wanita itu menjadi terlalu ketat soal beberapa hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan Eloise. Ia cukup yakin kalau sikap wanita itu yang terlalu berhati-hati ketika menghadapinya pastilah ada kaitannya dengan Greta. Sikap kakaknya yang keras itu, menahan Eloise terlalu ketat. Eloise menyadari bahwa niat Greta adalah melindunginya, membuatnya berada sejauh mungkin dari bahaya karena Eloise sudah menjadi begitu rapuh. Namun, Eloise juga kesal ketika Greta menjauhkannya dari semua urusan rumah tangga seolah Eloise tidak bisa melakukan semua itu. Eloise membenci fakta bahwa sejak ia jatuh sakit, Greta bersikeras mengurungnya di dalam rumah dan menjauhinya dari semua aktivitas yang dapat memicu kondisinya memburuk. Bahkan, Greta jarang melibatkan Eloise untuk mengambil semua keputusan di dalam rumah. Termasuk meminta Mr. dan Mrs. Gilbert untuk mengawasi dan menjauhinya dari orang-orang selama kepergiannya.
Hari itu Eloise tidak berniat untuk duduk diam saja ketika ia tahu bahwa sesuatu terjadi di rumahnya. Ia tidak akan lagi menutup mulutnya ketika jelas-jelas ia tahu bahwa mereka sedang dikelilingi oleh para penagih utang yang bermaksud merebut semua properti yang tersisa di dalam rumah itu. Eloise tidak ingin duduk diam seperti orang tidak berdaya sementara kakaknya pontang-panting kesulitan menemukan cara untuk membebaskan keluarga mereka dari utang-utang itu.
Karena hal itu, ia merasa geram ketika Mrs. Gilbert masih menolak untuk berbicara. Dan berbekal sikap keras kepala yang sudah sedari dulu dimilikinya, Eloise memaksa wanita itu untuk mengatakan apa yang terjadi.
“Mrs. Gilbert! Aku tahu sesuatu terjadi. Aku tidak bodoh, jadi tolong katakan padaku ada apa di luar sana?”
Pintu diketuk semakin keras dan pada saat itu Mr. Gilbert yang sudah berdiri langsung meninggalkan ruangan untuk menyambut siapapun yang berkunjung dengan tidak ramah ke rumah mereka. Sementara wanita paruh baya yang berdiri diam itu memandangi Eloise dengan muram. Ketika Eloise hendak bangkit berdiri dari kursinya, Mrs. Gilbert terburu-buru menghampirinya dan menunduk seraya berkata, “aku minta maaf, sayang..”
“Jangan minta maaf! Ini bukan salahmu, Mrs. Gilbert. Tolong katakan padaku apakah para penagih utang itu datang lagi?”
“Aku khawatir, ya.”
“Maka kau boleh menyuruh mereka masuk untuk menemuiku disini.”
“Kurasa itu bukan ide yang bagus. Lady Greta tidak ada disini, dan aku yakin dia tidak akan senang jika penagih utang itu berbicara denganmu. Tidak dengan kondisimu yang seperti ini.”
Hati Eloise serasa tertusuk ketika mendengar ungkapan itu. Meskipun penyakit itu sudah menggerogoti tubuhnya selama hampir tiga tahun, Eloise masih sulit memercayai bahwa baik Greta maupun orang-orang terdekatnya tidak memercayai bahwa Eloise dapat melakukan apa yang normalnya dilakukan orang-orang seusianya. Dan jika mereka tidak bisa memercayai Eloise untuk mengurus semua itu, maka Eloise sendiri-lah yang akan menunjukkan pada mereka bahwa ia juga bisa membuat dirinya berguna di dalam sana, dan bukannya benalu yang sakit-sakitan dan tidak dapat melakukan apa-apa.
“Aku sudah cukup dewasa untuk menangani ini, Mrs. Gilbert. Dan karena Greta tidak ada disini, maka aku satu-satunya yang berhak menangani masalah ini.”
“Apa yang akan kau katakan padanya?”
“Aku akan mencoba meminta keringanan padanya, setelah itu aku akan melihat apa yang bisa kulakukan.”
“Biarlah Mr. Gilbert menangani mereka..”
“Tidak!” Eloise bersikeras. Wajahnya merah karena kesal. “Terakhir kali mereka tidak mendapat sambutan di rumah ini, sebagian barang-barang berharga milik nenekku diambil. Sekarang, aku tidak mau kehilangan barang-barang itu lagi. Tolong, biarkan mereka masuk, aku akan mencoba berbicara mewakili kakakku.”
Saat Mrs. Gilbert hendak membuka mulut untuk membantahnya, Eloise dengan cepat berkata, “aku tidak meminta izin darimu sekarang,” ia menegaskan kalimatnya sembari menatap tajam ke arah wanita itu - seolah-olah hal itu akan menggentarkan Mrs. Gilbert. Tapi wanita itu sudah terlalu mengenal Eloise untuk merasa takut pada gertakannya. Meskipun begitu, dengan tatapan muram, Mrs. Gilbert akhirnya menyetujui permintaan Eloise dan segera berjalan keluar menyusul suaminya.
Eloise menunggu di dalam ruangan itu dengan gugup. Ia bisa merasakan tangannya bergetar dan darahnya berdesir cepat. Namun, Eloise tidak tumbuh besar sebagai wanita penakut. Terlepas dari kondisinya yang rapuh, ia sekuat dan setegar Greta, bahkan boleh dikatakan kalau Eloise lebih keras kepala daripada kakaknya. Tapi ia tidak peduli. Eloise menghampiri kursi di dekat perapian dengan hati-hati dan duduk disana. Kursi itu berada di tengah-tengah ruangan dan ia tidak ingin membuat dirinya tampak lemah, jadi Eloise menegakkan punggungnya dan memasang ekspresi keras seperti yang selalu dilakukan Greta.
Suara derap langkah kaki seseorang di lantai kayu yang menggema keras sempat membuatnya gentar, namun Eloise tidak bergerak dari kursinya sampai ia melihat seorang laki-laki tinggi bertubuh besar dengan tampang masam muncul dari arah lorong rumahnya. Mr. dan Mrs. Gilbert hadir tidak lama setelahnya. Eloise mengangguk dan meminta mereka untuk menyiapkan teh dan camilan untuk tamunya sementara ia menyuruh pria itu duduk menempati sebuah sofa kosong yang berada di seberang.
“Silakan duduk, Sir!”
Laki-laki itu tidak muda, tapi juga belum terlalu tua, mungkin usianya sekitar akhir tiga puluhan. Ia memiliki alis dan rambut gelap yang cukup tebal. Ia juga berpakaian rapi: sebuah mantel kulit hitam, celana panjang, dan juga sepatu kulit yang mengilap. Ketika membuka topinya, Eloise dapat melihat wajahnya dengan lebih baik. Sepasang alisnya terangkat, cuping hidungnya yang bengkok melebar, dan senyuman sinis terukir di balik kumisnya yang tebal. Eloise akan menebak kalau laki-laki itu seorang pembisnis, atau saudagar. Ia tampil seperti pria-pria cerdik yang bermain curang di atas meja judi. Dari caranya berjalan, pria itu tampak begitu angkuh dan caranya mengangkat satu kakinya di atas kaki yang lain benar-benar tidak menunjukkan rasa hormat sedikitpun pada sang tuan rumah. Pada detik itu, Eloise segera memutuskan bahwa ia tidak menyukai pria itu.
“Well, well, aku tidak pernah berbicara denganmu sebelumnya..”
Bukankah itu sudah jelas?
“Halo Mr..”
“Breuman.”
“Mr. Breuman, aku Eloise Summers dan aku mewakili kakakku disini.”
“Dimana kakakmu?”
“Aku khawatir kalau dia sedang ada urusan lain di luar sana.”
“Urusan apa?”
“Aku tidak bisa memberitahumu, Mr. Breuman karena aku yakin itu tidak ada kaitannya dengan urusan yang hendak kita selesaikan disini,” Eloise menegaskan, menolak untuk diintimidasi oleh laki-laki itu.
“Kau tahu urusan apa yang ingin kita selesaikan disini?”
“Utang-utang ayahku.”
“Benar sekali Miss Summers, jadi kurasa aku tidak perlu repot-repot menjelaskannya padamu. Kapan kau dan kakakmu berencana untuk melunasinya karena aku tidak bisa memberimu toleransi waktu lagi.”
“Kau mengambil barang-barang berharga milik nenekku minggu lalu,” Ucap Eloise dengan sedikit ketus.
“Ya, itu karena kakakmu tidak sanggup membayar bunganya..”
“Aku yakin barang-barang itu memiliki nilai yang lebih tinggi dari bunga yang sudah kau tetapkan.”
“Aku tidak mengukur nilai propertimu, Miss Summers. Aku akan mengambil apa saja yang tersedia untuk menutup kerugianku.”
“Kakakku membayar tagihan itu tepat waktu, kecuali karena dia tidak membayarkan bunganya. Dari sudut pandangku, kau tidak mengalami kerugian sedikitpun. Dan jika kau mengatakan kalau kau tidak mengukur nilai dari barang-barang yang kau bawa bersamamu, aku bisa saja menawarkanmu untuk membawa kursi kayu daripada perabot antik milik nenekku.”
Wajah Mr. Breuman merah padam. Eloise khawatir kalau ia baru saja membangunkan macan yang sedang terdiur, tapi alih-alih merasa gentar ia duduk dengan tenang di sofanya.
“Apa kau berusaha menghinaku, Miss?”
“Aku berusaha untuk bernegosiasi denganmu, Mr. Breuman. Aku memiliki kenalan seorang pengacara dan aku bisa memanggilnya sekarang untuk menimbang apakah barang-barang yang kau ambil senilai dengan jumlah bunga yang harus kami bayarkan. Kuberitahu kau, kalau barang-barang itu secara sah menjadi properti milik nenekku. Semuanya tercatat dalam surat wasiatnya, tapi jika kau mengambil barang-barang itu tanpa izin resmi, ditambah lagi, kau tidak menghitung berapa nilai yang kau ambil, itu bisa saja disebut sebagai pelanggaran hukum. Tapi jika kau benar-benar ingin menyelesaikan ini sekarang, kuharap kau tidak keberatan menunggu sementara aku akan meminta pengacara nenekku untuk datang..”
Eloise menilai dari cara pria itu menggerakkan tubuhnya dengan gelisah di atas sofa, bahwa ia telah termakan oleh umpannya. Meskipun adrenalinnya berpacu kuat saat mengatakan semua itu, Eloise tidak akan menghentikannya sekarang. Ia perlu menyelesaikan urusan dengan Mr. Breuman, setidaknya sampai Greta kembali.
“Tidak perlu melibatkan pengacaramu, Miss.. Kita bisa menyelesaikan urusan ini berdua. Lagipula, aku cukup yakin kau tidak akan mampu membayar biaya yang harus dikeluarkan untuk menyewa pengacara itu..”
“Jangan khawatirkan soal itu, Mr. Breuman. Nenekku cukup berpengaruh di kalangan ton. Dia mungkin tidak kaya, tapi namanya cukup dikenal. Dia sudah memastikan kami memiliki seorang pengacara yang akan membantu urusan keluarga ini hingga tuntas. Dan Sir Richard, pengacara kami, sudah bersumpah setia pada nenekku akan memberikan jasanya secara cuma-cuma.”
Bibir Mr. Breuman melengkung, kedua mata gelapnya menatap Eloise dengan skeptis. Laki-laki itu bersikeras mengatakan, “kubilang tidak ada pengacara yang perlu ikut campur dalam urusan ini.”
“Kalau begitu kau setuju untuk menghitung kembali nilai barang-barang yang sudah kau ambil. Aku dengan senang hati akan menunjukkan surat-suratnya padamu.”
Dengan caranya yang angkuh, Mr. Breuman mengangkat wajah.
“Bagaimana dengan sisa utangnya?”
“Kau dan kakakku sudah memiliki kesepakatan kapan sisa utang itu akan dilunaskan. Sisa pelunasan itu bahkan belum memasuki tenggat waktunya. Lagipula, setelah kita menghitung jumlah nilai yang kau ambil, aku yakin nilainya lebih besar dari bunga yang harus kami bayarkan. Kau bisa memasukkan nilai itu untuk mengurangi sisa utang yang harus dibayarkan. Bagaimana pendapatmu?”
“Ini konyol.”
“Aku ingin urusan ini diselesaikan secara adil, Mr. Breuman. Aku tidak akan membiarkanmu dan orang-orangmu masuk sesukamu ke dalam properti kami dan mengambil semua barang-barang itu tanpa izin resmi. Kudengar bisnis yang kau jalankan belum sepenuhnya legal. Jika aku melaporkan tindakan ini ke pihak yang berwenang, mereka akan menganggap tindakanmu sebagai perampasan. Kau tentunya tidak menginginkan hal itu, bukan? Jadi, kenapa kita tidak ambil jalan tengahnya saja?”
“Jangan berpikir kau bisa menggertakku, Lady! Berhati-hatilah denganku, kau tidak mengenalku sebaik kakakmu mengenalku..”
“Aku yakin begitu,” potong Eloise. “Tapi itu tidak sama sekali tidak mengubah hukum yang berlaku di negara ini. Kau bisa menentukan pilihanmu sekarang, Mr. Breuman. Aku yakin kau cukup sibuk dan aku tidak bermaksud berlama-lama menahanmu disini.”
Ada keheningan yang panjang sebelum laki-laki itu memberinya jawaban. “Baiklah.”
“Baiklah. Aku akan meminta Mr. Gilbert untuk membawakan semua surat-surat itu dan kita bisa memulai penghitungannya.”
Rasa pening tiba-tiba menyerangnya, Eloise merasakan tubuhnya goyah dan pandangannya mulai berbayang. Wajahnya seketika pucat pasi. Mr. Breuman kala itu menyadarinya karena dengan langtang laki-laki itu bertanya, “apa kau sakit, Miss?”
“Tidak, aku baik-baik saja jangan khawatirkan itu.”
“Katakan saja kalau kau berada dalam kondisi yang buruk, aku sama sekali tidak ingin menampung janji dari seseorang yang penyakitan.”
Punggung Eloise menegak dengan kaku, kedua matanya memelototi pria itu seolah hendak menantangnya. “Seperti kataku, Mr. Breuman, aku baik-baik saja. Sekarang sebaiknya kita segera menghitung karena cuaca sedang tidak bagus hari ini dan hujan akan turun sebentar lagi, jadi..”
Laki-laki itu kembali memandanginya dengan kaku. Bibirnya yang terkatup rapat tampaknya sudah kehilangan kata-kata.
Eloise tersenyum sementara laki-laki itu tampak tidak senang. Ia tidak tahu banyak mengenai utang-utang keluarganya, tapi Eloise cukup tahu beberapa hal penting tentang hukum. Tidak salah ia sering duduk mendengarkan neneknya berbicara dengan pengacara tentang masalah warisan mereka. Eloise bisa memanfaatkannya untuk mengelabui Mr. Breuman. Meskipun tahu bahwa usahanya sangat berbahaya, Eloise tetap akan melakukannya. Kemudian ia akan menulis surat untuk memberitahu Greta nanti.