Bab 10

2555 Kata
Greta mendengar suara ringkikan kuda di kejauhan dan tawa keras dari para laki-laki yang memenuhi jalur pacuan pagi itu. Para lady berbondong-bondong pergi ke jalur pacuan untuk menyaksikan aksi balap kuda yang sudah berlangsung sekitar satu jam yang lalu. Sementara itu, Daphne harus memaksanya sebelum Greta menyerah untuk ikut menyaksikan lomba pacuan itu. Jalur pacuan itu membentang sejauh lima ratus meter ke arah bukit dan mengelilingi danau kecil yang ada di bawah sana. Tiang-tiang kayu dipasang untuk menandai garis awal dan juga garis akhir. Mengingat jalurnya yang cukup melandai dan ada begitu banyak semak belukar dan juga dahan pohon, Greta khawatir jika terjadi suatu insiden yang tidak diharapkan. Sudah lama sejak terakhir kali Greta menyaksikan lomba pacuan kuda. Mengingat bagaimana ayahnya meninggal setelah mengalami kecelakaan jatuh dari kuda, Greta tidak bisa menyaksikan semuanya tanpa teringat akan kejadian itu. Usianya masih lima belas tahun, dan Greta harus menyaksikan kejadian mengerikan itu dengan mata kepalanya sendiri; saat orang-orang berbondong-bondong berlari ke arah ayahnya yang terkapar jatuh dengan wajah bersimbah darah. Matanya mengerjap dengan lemah, dan samar-samar Greta melihat laki-laki itu memandanginya, tersenyum, sebelum jatuh tidak sadarkan diri. Sampai sekarang Greta masih bertanya-tanya apa arti senyuman pada detik-detik akhir kematian ayahnya itu. Apakah pria itu hendak menertawainya? Ataukah pria itu akhirnya menemukan kedamaiannya? Yang pasti, peristiwa itu tidak mudah untuk dilupakan begitu saja. Greta merasakan tubuhnya menegang setiapkali ia melihat ia diminta untuk menyaksikan lomba pacuan. Bahkan trauma itu sendiri membuatnya menahan nafas setiapkali ia duduk di atas pelana. Sudah lama sekali sejak terakhir kali Greta menunggangi kudanya sendiri. Ia akan memilih untuk menaiki kereta ketimbang harus menunggangi kudanya sendiri. Bahkan setelah bertahun-tahun, semua itu tidak berubah. Hari ini tidak berbeda. Ketika Greta berpikir bahwa ketakutannya itu sudah sepenuhnya sirna, nyatanya ia masih merasa bergetar saat melihat kuda yang ditunggangi para lord itu melesat cepat di jalur pacuan. Sementara orang-orang yang menyaksikan mulai bersorak keras memberi dukungan, Greta mendapati dirinya diam mematung dengan wajah pucat. Para lord itu sudah dilengkapi oleh perlenhkapan berkuda termasuk pelindung kepala. Mereka mengarahkan kuda itu tanpa merasa kesulitan sedikitpun dan tidak seorangpun di antara mereka yang terlihat cukup takut atau gelisah untuk memulai perlombaan. Ketika kuda-kuda pacuan itu mulai memasuki jalur, Greta merasakan tubuhnya menegang. Ia bisa mengenali wajah Cleveland yang berada di jalur paling ujung. Laki-laki itu mendekati kudanya dan meletakkan satu tangan di atas surai kuda itu, mengusapnya seolah sedang berkomunikasi dengannya. Rambut pirangnya yang kian memanjang kini menyentuh bahunya yang lebar, beberapa helainya jatuh berantakan di atas dahi. Cleveland tampak lebih memukau dengan pakaian berkuda. Pembawaannya yang begitu tenang ketika laki-laki itu melompat naik ke atas pelana dan mengenakan pelindung kepalanya, nyaris membuat Greta tercekat. Jantungnya berdebar kencang begitu lonceng dibunyikan dan kuda-kuda itu melesat dengan cepat di atas jalurnya. Di sampingnya Daphne menyuarakan sorakan keras, tapi Greta masih diam membeku. Matanya tertuju pada punggung Cleveland, dan ingatan akan kecelakaan yang dialami ayahnya mulai membanjiri benaknya. Greta ingin segera pergi menjauh meninggalkan jalur pacuan itu dan menjauh, tapi ia tidak akan bisa tenang sebelum mengetahui kalau tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Akibatnya, Greta memutuskan untuk tetap berdiri disana, menyaksikan perlombaan itu selagi menahan rasa mual yang bergejolak di perutnya. Nafasnya beberapakali tertahan begitu ia menyaksikan kuda-kuda yang ditunggangi para lord itu melompat tinggi melewati dahan pohon yang tumbang. Beberapa kuda nyaris jatuh ketika melesat terlalu cepat di jalur yang membelok tajam, namun anehnya insiden itu membuat sorakan orang-orang yang menyaksikannya semakin ramai. Dari tempatnya berdiri, Greta mengawasi Cleveland yang bergerak dengan sangat piawai mengarahkan kudanya menuruni bukit dan melompati dahan, seolah-olah laki-laki itu sudah dilatih untuk melakukan semua itu. Meskipun begitu, Greta tidak bisa menahan kengerian yang dirasakannya hingga tanpa sadar, jari-jarinya yang kaku sudah meremas pakaiannya dengan sangat erat. Saat kuda-kuda itu berlari cepat menuruni undakan bukit, pandangannya terhalang oleh semak-semak dan pepohonan tinggi. Dalam sepuluh detik yang terasa amat panjang, Greta menunggu dengan ketidakpastiaan yang menyiksa, sampai kemunculan satu kuda dari balik pepohonan itu kembali meramaikan suasana. Namun pria yang menunggangi kuda itu bukanlan Cleveland melainkan Caspian, disusul oleh Jeffrey, William, dan Wellington. Rasa panik mulai merayap ke sekujur tubuhnya. Greta menunggu dengan resah sampai dahan pohon yang menghalangi pemandangannya itu bergerak, dan menyibak sosok yang dinanti-nantikannya, bak malaikat maut yang baru saja muncul dari lembah kematian. Laki-laki itu berusaha keras mengejar ketertinggalannya. Tubuhnya menunduk selagi ia memacu kudanya lebih cepat, dan seolah sudah merencanakan semua itu, Cleveland membuat kejutan dengan membalap tiga temannya sekaligus. Kudanya bergerak begitu cepat sampai-sampai Greta panik kalau hewan itu akan melempar Cleveland jatuh dari atas punggungnya. Namun sang earl tampak tidak takut sama sekali. Malahan ia tampak begitu tenang dan terkendali. Saat sang earl melepas pelindung kepala yang dirasa menganggunya, angin menyapu kulit wajahnya yang berkeringat, membuat helai-helai rambut pirangnya berterbangan di atas pundaknya, kemudian dengan sedikit dorongan, ia menendang kedua kakinya lebih keras hingga kuda bergerak lebih cepat dan membawanya sampai di garis akhir beberapa detik lebih awal dari Caspian. Orang-orang yang ikut menyaksikan menyuarakan sorak kemenangan sementara Greta sendiri masih merasakan nafasnya tercekat bahkan setelah perlombaan itu berakhir. Ia melihat Cleveland melempar senyuman lebar pada pendukungnya sementara Greta berdiri sendirian disana, nyaris tidak terlihat sama sekali. Ia merasakan perutnya melilit saat melihat betapa mengagumkannya laki-laki itu. Bahkan, Cleveland terlihat lebih menarik lagi setelah perlombaan. Bagaimana mungkin Greta tidak menyukainya. Namun, dengan memikirkannya saja sudah membuat dadanya sesak. Dan bukannya bergembira merayakan kemenangan laki-laki itu, Greta justru mendapati dirinya merasa murung. Ia memandangi Cleveland yang berdiri dikelilingi oleh teman-temannya, dan mendapati dirinya semakin menginginkan laki-laki itu. Ketika para lady ikut bergabung untuk merayakannya, Greta justru diam mematung di tempatnya, tidak yakin apakah ia ingin bergabung atau pergi dari sana. Di tengah kegamangan itu, Greta mendapati tatapan Cleveland sempat tertuju padanya. Pada saat itu, ia memberi anggukan singkat pada laki-laki itu kemudian dengan cepat pergi berlalu meninggalkan jalur pacuan. Greta masih merasakan sesuatu dalam perutnya bergejolak ketika ia berjalan menuruni undakan bukit menuju danau tak jauh dari sana. Pada saat itu, ia tidak memikirkan apapun selain dorongan untuk menjauh dari orang-orang. Greta tidak ingin mereka melihat ketakutan di wajahnya ketika seharusnya Greta ikut merayakan kemenangan itu disana. Meskipun hari itu cukup cerah, ingatan lama akan kejadian mengerikan yang menimpa ayahnya itu masih membayanginya seperti kabut gelap. Tangannya bergetar, sementara rasa mual membuat wajahnya tampak pucat pasi. Ketika hendak pergi mendekati pohon oak besar untuk bersembunyi disana, pada saat yang bersamaan Greta mendengar suara derap langkah kaki kuda sedang berjalan mendekatinya. Rasa mual membuatnya takut untuk berbalik dan melihat siapa yang hadir saat itu, namun suara yang muncul di belakang langsung memberitahunya bahwa orang yang sedang mendekat itu adalah Cleveland. “Greta! Greta, tunggu!” Greta menghentikan langkahnya seketika itu juga. Tiba-tiba ia merasakan serangan panik yang membuat kedua matanya terasa perih. Ia butuh waktu untuk memulihkan diri dari ketakutannya, kenapa laki-laki itu malah mengejarnya? “Pergilah, Cleveland!” ucap Greta dengan sedikit kasar. Kalimat itu keluar dengan cepat hingga mengejutkan Greta dan tampaknya sang earl juga merasakan hal yang sama karena tiba-tiba suasana menjadi hening. “Well, aku tidak berharap akan mendapatkan sambutan seperti ini..” Tahu bahwa reaksinya terlalu kasar dan berlebihan, Greta langsung berbalik untuk menatap laki-laki itu. Namun, ketika melihat wajahnya yang memerah dan kedua matanya yang berair, Cleveland segera melompat turun dari atas pelana kemudian mendekatinya. “Greta..” Ekspresi Cleveland yang percaya diri, tiba-tiba berubah muram. Ia mengangkat satu tangannya untuk menghapus genangan air mata yang tanpa sadar sudah jatuh di atas wajahnya. Pada saat yang bersamaan, Greta menundukkan kepala dengan malu. “Apa yang terjadi?” tanya Cleveland dengan resah. “Bukan apapun. Maaf, reaksiku berlebihan.” “Jangan katakan itu! Ada sesuatu yang salah?” Greta tertegun selama beberapa saat. Butuh beberapa waktu sebelum ia memberanikan diri untuk menatap langsung ke arah sang earl. Pada saat itu Cleveland mengeluarkan sapu tangan dari balik mantelnya dan menyerahkan kain bersih itu ke arah Greta. Setelah menerimanya, Greta menghapus air matanya menggunakan sarung tangan itu. Ia menggenggamnya erat-erat selagi menatap lurus ke pundak sang earl. “Aku hanya..” “Ini ada hubungannya dengan ayahmu?” tebak Cleveland, dan Greta langsung mengangguk pelan. “Maaf aku seharusnya merayakan kemenanganmu, tapi aku terlalu takut. Aku selalu teringat pada kejadian itu..” “Tidak apa-apa,” Cleveland menenangkan. “Mau berjalan-jalan denganku?” Greta diam sebentar, tapi kemudian mengangguk dan mengikuti sang earl berjalan menyusuri perbukitan itu. Selama beberapa menit yang mencekam, mereka nyaris tidak mengatakan apa-apa. Cleveland memberi Greta waktu untuk menyendiri dengan pikirannya tanpa melepas tatapannya dari wanita itu. Sepanjang perjalanan menyusuri bukit, Greta merasa kalau laki-laki itu sedang mengamatinya. Awalnya ia tidak merasa terusik sama sekali, tapi lambat-laun Greta menjadi penasaran tentang apa yang dipikirkan Cleveland. “Kenapa kau diam saja?” tanya Greta dengan sedikit gusar. “Aku menunggumu untuk mengatakan sesuatu.” “Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Rasanya memalukan sekali harus bersikap takut seperti ini.” “Mungkin itu karena kau belum benar-benar merelakan apa yang terjadi pada ayahmu.” Greta memandangi sapu tangan milik Cleveland dalam genggamannya selagi memikirkan kalimat itu. Mungkin Cleveland benar – mungkin Greta memang belum bisa merelakan kejadian itu. “Apa yang membuatmu begitu takut?” tanya Cleveland. “Apa kau menyanyangi ayahmu?” Greta menundukkan kepalanya sembari menggigit bibir. Ia tidak berniat membohongi Cleveland tentang hal itu dan Greta memang berniat mengatakan yang sebenarnya. Entah mengapa ia memiliki dorongan yang memintanya untuk berbicara secara jujur pada Cleveland. Greta ingin laki-laki itu mengenalnya, karena Greta juga ingin mengenal Cleveland lebih jauh. “Sejujurnya, kami tidak begitu dekat.” Greta memandangi Cleveland untuk menilai reaksinya. Dan jika laki-laki itu merasa cukup terkejut dengan pernyataannya, maka ia telah menyembunyikannya dengan sangat baik. Dan tidak seperti kebanyakan bangsawan yang dijumpainya, alih-alih berasumsi, Cleveland justru bertanya, “Kenapa begitu?” “Itu bukan hal yang bagus untuk didengar..” “Mari lihat,” Cleveland bersikeras. Butuh waktu beberapa saat sebelum Greta memberanikan dirinya untuk berkata, “Ayahku.. dia.. pemabuk.” Greta mengangkat wajahnya dan menatap mata Cleveland, lagi-lagi untuk menilai reaksi Cleveland. Tapi ketika laki-laki itu tidak menunjukkan reaksi apapun untuk menghakiminya, Greta benar-benar terkejut. “Apakah dia menyakitimu?” “Beberapakali..” kini ekspresi Cleveland menjadi keras. “Dia begitu keras padaku dan Eloise dan juga ibuku. Dia mengatakan hal-hal buruk yang membuatku benar-benar membencinya. Kami tidak pernah menjadi akrab sejak aku masih kecil, dan aku lebih memilih untuk mengabaikannya karena itu lebih mudah untuk dilakukan. Tapi sikapnya yang keras selalu menuntut banyak hal. Sampai suatu hari, dia mengikuti lomba balap kuda. Kudanya terkilir di jalur pacuan dan dia terlempar jatuh ke atas aspal. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ada kuda lain yang berlari dari arah berlawanan. Kudanya melesat begitu cepat, dia tidak sempat menghindar dan dia.. dia..” suara Greta menjadi bergetar. Cleveland meletakkan tangannya di pundak Greta saat itu untuk menenangkannya. “Kuda itu menginjaknya. Dia terluka dan mengeluarkan begitu banyak darah, aku tidak sanggup melihatnya dari dekat. Aku begitu takut dan meskipun aku membencinya, aku tidak merasa lega sedikitpun melihat kejadian itu.. tapi tidak ada yang kulakukan. Aku hanya berdiri disana, menyaksikannya.. aku merasa benar-benar kacau..” “Tidak apa-apa..” Cleveland menariknya mendekat dan Greta tidak bisa menahan diri untuk menumpahkan isak tangisnya dalam dekapan laki-laki itu. Ia membiarkan kepalanya terkulai di pundak Cleveland. Tangannya yang bergetar saling menangkup sementara Cleveland mengusap pundaknya untuk meredakan ketakutan yang terasa begitu mencekiknya. “Aku tidak bisa melupakannya begitu saja,” ucap Greta di pundak Cleveland. Telinganya menempel di d**a laki-laki itu dan ia dapat mendengar detak jantung Cleveland yang teratur. Entah bagaimana, irama itu berhasil menenangkannya. “Tidak peduli betapa aku membencinya, aku tetap merasa bahwa itu seharusnya tidak terjadi padanya..” Greta membiarkan dirinya hanyut dalam isak tangis yang berkempanjangan sementara Cleveland tetap berdiri disana, menopang tubuhnya dan nyaris tidak mengucapkan apa-apa. Ketika Greta mengangkat wajahnya, ia mendapati sepasang mata biru Cleveland menatapnya dengan lembut. Nafas hangat pria itu melewati kulit wajahnya sedangkan jari-jarinya terangkat untuk mengusap sisa genangan air mata di wajah Greta. Greta ingin berlama-lama memandangi pria itu, tapi segera saat kesadaran itu menyentaknya, ia melepas diri dari Cleveland, tiba-tiba merasa malu. “Seharusnya aku tidak mengatakan semua itu..” “Aku senang kau mau mengatakannya,” sanggah Cleveland dengan cepat. “Aku sangat malu..” “Tidak perlu merasa begitu. Aku tidak akan memberitahu siapapun.” “Kau berjanji?” “Aku berjanji.” Greta merasa sedikit lega. Ia kemudian melanjutkan langkahnya menyusuri danau. Di samping, Cleveland mengikutinya sembari menarik tali kekang yang terikat pada kudanya. “Aku belum mengatakannya, tapi aku benar-benar terkesan dengan kemampuan berkudamu.” “Kau menyukainya?” “Tidak sepenuhnya, aku hanya merasa khawatir kalau sesuatu yang buruk terjadi padamu.” “Tidak ada yang terjadi, aku baik-baik saja sekarang.” Greta menganggukkan kepala. “Mungkin seharusnya aku berhenti menghawatirkan tentang itu. Aku sama sekali tidak bermaksud meremehkan kemampuanmu..” “Aku senang kau merasa khawatir pada keselamatanku. Dan aku perlu meyakinkanmu, aku baik-baik saja – setidaknya untuk sekarang.” “Tentu saja.” Greta menautkan jari-jarinya yang kaku. “Jadi, kurasa sekarang saatnya mengucapkan selamat.” Cleveland tersenyum, tapi tidak mengindahkan kalimat itu, alih-alih bertanya, “apa lagi ketakutanmu?” “Maaf?” “Kau takut berkuda, selain itu, apa lagi?” “Kenapa kau bertanya?” “Aku ingin mengenalmu, apa itu masalah?” “Tidak.. tentu saja tidak.” “Jadi? Apa lagi yang membuatmu takut?” Greta terdiam sembari menatap laki-laki itu untuk waktu yang lama. “Aku takut sendirian, kurasa.. Tidak memiliki seorangpun untuk berbagi rasanya mengerikan.” Sepasang mata biru sang earl berkilat. Greta bisa melihat sudut bibir laki-laki itu sedikit terangkat. Kemudian dengan suara rendah yang nyaris terdengar seperti bisikan, Cleveland berkata, “kau tidak sendirian sekarang.” “Cleveland!!” seruan yang datang dari kejauhan itu memecah situasi hangat di antara mereka. Greta langsung memalingkan wajahnya ke arah sumber suara, tiba-tiba jengah mendapati bahwa mereka sudah berjalan cukup jauh tanpa seorang pendamping. Jika seseorang melihat mereka, hal itu bisa saja merusak reputasinya maupun Cleveland. Tapi siapa peduli soal reputasi? Greta bisa menghabiskan waktu bersama Cleveland kapanpun dan dimanapun ia ingin kalau saja ia punya kesempatan, sayangnya tidak. “Sial. Aku baru ingat kalau kami akan pergi berburu sebentar lagi. Keberatan jika aku meninggalkanmu?” “Tentu saja tidak, jangan biarkan aku menghalangimu. Pergilah!” Cleveland mengangguk, tiba-tiba pergerakannya terlihat gelisah. Ketika Greta hendak bertanya, laki-laki itu lebih dulu membalikkan tubuhnya dan berlalu pergi, tapi belum sampai beberapa langkah, Cleveland kembali memutar tubuh untuk menatapnya, kali ini laki-laki itu membuka mulutnya untuk bertanya, “apa kau memiliki acara khusus besok?” “Kurasa tidak, kenapa?” “Bagus. Temui aku di dekat istal.” “Aku tidak mengerti, untuk apa?” “Datang saja. Aku akan menunggumu pukul sembilan.” Greta menanggapinya dengan anggukan singkat. Sekujur tubuhnya terasa panas bahkan ketika Cleveland menundukkan tubuh untuk memberinya hormat dan berlalu pergi meninggalkannya sendirian di dekat danau. Pertanyaan tentang apa yang hendak direncanakan Cleveland dalam pertemuan mereka besok membuatnya gelisah, sekaligus bersemangat. Greta menyadari bahwa ada ketertarikan yang jelas saat laki-laki itu memandanginya dan ia seharusnya merasa senang. Namun entah bagaimana, rasa takut lebih mendominasi perasaannya. Ia mendapati dirinya semakin menyukai laki-laki itu, tapi Greta tidak yakin kalau Cleveland bersedia menerimanya jika Greta mengungkapkan kebenaran mengenai kondisinya. Bagaimanapun juga, Greta tidak punya pilihan selain melanjutkan rencananya. Jika Cleveland menyukainya, bagus. Jika tidak, Greta tidak yakin langkah apa yang perlu diambil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN