bc

A Girl

book_age0+
29
IKUTI
1K
BACA
friends to lovers
manipulative
goodgirl
student
drama
twisted
like
intro-logo
Uraian

Mia bertemu dengan Rei, pria yang membuatnya jengkel saat pertama kali bertemu. tapi pertemuan itu membuat mereka membutuhkan satu sama lain. akankah mereka bersama pada akhirnya?

chap-preview
Pratinjau gratis
A Girl
Kata orang mencintai orang lain itu indah dan berjuta rasanya. Ya, aku dulu juga pernah merasakannya. Tapi itu sudah lama berlalu. Kalau dipikir lagi itu adalah terakhir kalinya aku jatuh cinta pada seorang pria. Aku hanyalah gadis biasa yang tidak terlalu menarik dan tidak memiliki keahlian khusus. Hidup ku benar benar sederhana dan biasa saja. Kalau dibandingkan dengan dulu, tentu hidupku sekarang jauh lebih baik. Aku sedang dalam tahapan melupakan masalalu ku yang kelam karena mantan kekasihku. Dalam artian aku sedang menata hatiku lagi agar aku bisa mencintai orang lain nantinya. Hidup dengan hati terluka dan membeku sungguh tidak normal ku rasa. Layaknya zombi yang hanya bisa bergerak tanpa tahu tujuan. Hari ini seperti hari-hari biasanya, aku pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi buku untuk karyaku berikutnya. Aku seorang peneliti amatir, dan saat ini aku sedang mengerjakan sebuah penelitian tentang jenis-jenis kopi yang ada di Indonesia. Perpustakaan tidak begitu ramai. Ada beberapa orang yang berkerumun di rak memasak. Kelihatannya mereka sedang mencari bahan untuk mengerjakan tugas tata boga. Terdengar suara lirih mereka dari tempat aku berdiri yang jaraknya hanya 1,5 meter. aku berjalan lagi ke rak pertanian. Ada seorang pria yang sedang berdiri di sana. Ia tengah mencari sebuah buku yang sepertinya sulit didapatkan. Ia mencari dengan teliti di setiap sudut rak dan memilah buku di depannya dengan hati-hati. Pria itu nampak kikuk setelah kehadiranku. Buku yang ditangannya jatuh ke lantai. Aku membantunya mengambil buku-buku itu dan sekilas melihat judulnya. Buku yang sedang aku cari ada di sana.  “Kau masih akan membacanya?” tanyaku sambil memberikan buku-buku itu.  “Mungkin aku akan meminjamnya,” jawabnya.  “Bisakah buku ini untukku?” aku menunjuk pada buku yang berjudul Kopi Toraja yang ada di tumpukan paling atas. Pria itu mengernyitkan dahinya dan pergi begitu saja. Pria apa ini? Kenapa tidak mau berbagi? Aku tak mau kehilangan buku itu dan berjalan mengikutinya dari belakang. Pria itu duduk di bangku paling ujung dan aku duduk di sebelahnya.  “Aku sedang membutuhkan buku itu. Bagaimana kalau kita barter?”  “Barter?” tanyanya singkat dan dengan nada sedikit menyebalkan. “Aku akan mencarikanmu buku yang kamu inginkan, meski itu buku susah dicari, bagaimana?”  “Kau bisa meminjam ini minggu depan kan?” tandasnya sedikit kesal. “Sayangnya aku tidak punya banyak waktu.” Pria itu berfikir sesaat dan akhirnya ia berkata, “Oke baiklah. Tapi buku yang aku cari sangat sulit jika memang kau tidak punya waktu maka biarkan saja. Minggu depan aku akan meminjam buku ini.”  “Kau yakin kalau aku akan mengembalikannya?” aku sedikit menggodanya dan mengambil buku kopi itu dari hadapannya. Aku mengambil kertas dan pulpen dari dalam saku kemejaku dan menuliskan nomor teleponku. “Hubungi aku jika kau ingin ku carikan buku mu itu.” Aku pergi meninggalkannya sendirian di sana dan menyelesaikan urusanku. Mungkin dia juga tidak akan menghubungiku.  Malam ini aku membaca buku ini di sebuah cafe di dekat rumahku. Tempatnya nyaman. Inspirasiku sering muncul kalau aku berada di sini. Tak lama sejak aku membaca halaman ke 65, telepon genggam ku berdering. Di layar tertera nomor yang panjang dan aku tidak kenal. “Halo?” nadaku datar.  “Hei, ini aku Rei.”  “Rei siapa?” aku merasa tidak memiliki kenalan bernama Rei. “Orang yang kau rampas bukunya tadi.”  “Oh, ya, ada apa?”  “Apa kita bisa bertemu? Aku lupa ada materi yang harus aku catat di literatur itu. ini untuk tugas kuliah ku besok,” suaranya terdengar panik.  “Oh ya, datang saja ke Birth Cafe. Aku ada di sani sekarang. Kau bisa mengerjakannya juga.”  “Oke, aku akan kesana.” Setengah jam kemudian Rei datang dengan membawa laptopnya. Dia sangat panik saat datang dan hampir saja menumpahkan minumanku dan mengenai celana jeansku.  “Sorry, aku terburu-buru,” ujarnya sambil membantuku membersihkan noda kopi dengan tissue meja. “Nodanya pasti susah hilang,” ujarnya menyesal.  “It’s Okey,” aku mengambil tissue yang ada di tangannya dan membersihkan sendiri celanaku. “Sebenarnya bajuku sering terkena noda kopi seperti ini,” tambahku.  “Jadi kau seorang yang ceroboh?” tanyanya sedikit bercanda. “Well ya,” ujarku sambil tersenyum. “Oh, iya, Rei,” dia mengulurkan tangannya dan aku menjabat tangannya. “Mia.” Aku meminum kopi ku yang masih tersisa dan kemudian meletakkan cangkir yang telah kosong di atas meja yang telah kubersihkan sebelumnya. “So, apa yang ingin kamu kerjakan?” tanyaku. “Oh, ya,” ia menyalakan leptopnya dan membuka tugasnya. “Aku sedang mengerjakan makalah tentang kopi terbaik Indonesia dan sebenarnya buku yang kau ambil dariku tadi siang itu adalah buku terakhir yang akan menjadi literaturku. Aku sudah mencatat beberapa bagian, tapi ada yang terlewati kurasa.” Aku menutup buku tersebut dan mengarahkan padanya sembari berkata, “Jadi kamu kuliah di teknik pertanian?”   “Ya, kau tepat sekali. Lalu kau?” “Aku hanya pecinta kopi sepele,” candaku malam itu yang membuat kami menjadi teman. Awal mula sebuah cerita adalah pertemuan. Aku menunggu pertemuan seperti ini dalam hidupku. Pertemuan dengan seorang teman yang bisa mengerti kita apa adanya. Teman itu tidak bisa tergantikan dengan apapun bila dijaga dengan baik. Aku juga akan menjaga pertemanan dengan Rei ini. Kami berjanji bertemu di Birth Café hari ini. Aku selalu dating lebih dulu daripada Rei, begitupula dengan pertemuan kelima ini. Aku memesan kopi Toraja hari ini dan memesankan Rei secangkir teh chamomile hangat karena ia tidak menyukai kopi. Sejauh ini, itu yang aku tahu. “Hei,” sapa Rei saat ia melihatku. “Udah pesan?” “Yup.” Kami berbincang tentang aktivitas kami hari ini sampai pelayan dating membawa minuman yang kupesan tadi. Pelayan meletakkan kopi toraja yang berbau harum itu dihadapan Rei dan teh chamomile dihadapanku. Rei mengangkat cangkir kopi itu, kupikir dia akan memberikannya padaku tapi aku salah. Rei malah menyeruput kopi tersebut padahal kopi itu masih panas. “Panaas,” katanya sambil meletakkan cangkirnya. “Kau harus menunggunya sedikit lagi,” ujarku terkekeh. “Kenapa tiba-tiba kamu minum kopi?” “Ini memang pertama kalinya aku minum kopi, aku tergoda aromanya.” Mungkin hanya prasangkaku saja, tapi kurasa Rei meminum kopi itu karena aku menyukainya. Ada perasaan lain saat itu yang membuat hatiku berbunga-bunga. Hari demi hari berlalu. Kami semakin akrab. Kami banyak bertukar pendapat tentang berbagai hal. Sesuatu yang jarang sekali terjadi padaku saat bersama dengan lawan jenis. Perasaanku juga mulai perubah padanya. Tapi ego ini tidak boleh lebih besar dari ikatan persahabatan ini. Aku mencoba meredamnya setiap hari, setiap detik karena aku tak akan lama berada di sini. Tak ada yang tahu berapa lama seseorang akan berada di tempat yang sama. Sehari, seminggu atau setahun. Sampai saat itu tiba, biarkanlah persahabatan kami menjalani ceritanya.  Aku memasuki gudang rumah yang berdebu. Aku sedang mencari buku yang akan kuberikan pada Rei, buku yang kutulis sendiri. Disini banyak sekali buku karena rumah kami terlalu kecil untuk meletakkan semua buku-buku ini. Sebenarnya kami ingin membuat sebuah ruangan khusus yang nantinya akan dihuni oleh buku-buku ini tapi entah kapan akan terwujud. Aku mencari buku itu dari kardus satu ke kardus lain. Seharusnya ayah menyimpan buku-buku itu sesuai abjad jadi akan lebih mudah saat mencarinya seperti ini. Sudah sejam aku mencari tapi tak menemukannya juga. Tinggal kardus terakhir yang ada di sudut ruangan yang belum aku periksa. Mungkin saja ada di dalam kardus itu.benar saja, akju menemukan buku itu disana. Aku terhuyung-huyung saat pergi ke kamar karena terlalu lama mencari. Aku melihat kalender yang ada di dinding kamarku dan tersenyum kecut saat melihat catatan tanggal 6 Januari, besok.  Rei pergi ke Birth Café sesuai permintaanku meskipun ia tak akan menemukanku disana. Dia hanya akan menemukan sebuah buku dengan sampul warna biru yang sedikit usang. Buku tentang sebuah kisah cinta yang tak pernah dimulai agar tak ada yang berakhir. Ia juga akan menemukan sepucuk surat yang kutulis untuknya secara khusus.    Kata orang habis gelap terbitlah terang. Aku menunggu lama untuk mendapatkan kalimat itu dan sejak hari itu  kamulah terang itu bagiku dan aku tidak bisa memungkirinya lebih lama lagi. Aku harap kita bisa bertemu lagi suatu saat nanti. –Mia-      Aku sedang dalam pesawat menuju London untuk menyelesaikan pendidikanku yang telah terdunda setahun belakangan ini. Aku menatap nanar keluar jendela pesawat dan membayangkan apa yang sdang dilakukan Rei disana. Rei duduk sendirian dan membaca buku dan surat yang ditulis Mia untuknya. Setelah membacanya, ia meneguk kopi yang telah ia pesan sebelumnya dan berkata, “Aromanya harum, rasanya pahit tapi terasa manis diakhir. Ya, memang seharusnya begitu.”   -SELESAI-                             Data Diri Nama   : Tamela Rizki Pradita Aries Alamat : Jl. Warinoi V no. 15 Malang No. Hp : 085646733889 Twitter : @ttameella Fb        : Tam Tamela               Nama saya Tamela. Saat ini saya sedang aktif menulis puisi disela kesibukan saya sebagai perawat. Saya juga sangat suka kopi, lebih tepatnya saya membutuhkannya terutama saat dinas malam. Kopi itu teman sejati para perawat seperti saya. 

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Secret Little Wife

read
105.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
194.0K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
211.2K
bc

Single Man vs Single Mom

read
104.0K
bc

Siap, Mas Bos!

read
15.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.1K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook