Jadilah adikku

810 Kata
"Saya sudah mengawasinya beberapa hari ini, dan hanya dia yang wajahnya paling mirip dengan nona Cindy." Seorang pria di sampingnya diam mendengarkan sembari menatap sebuah foto di tangannya, lalu menatap bergantian ke arah gadis muda yang sedang sibuk membersihkan meja restorant. "Kalau begitu, kamu bisa mulai menawarkan sesuatu padanya." Titahnya pada seorang pria lainnya yang tadi bicara di sisinya. "Baik, sebentar lagi jam istirahat." Pria itu pun mengangguk. "...Jadi bagaimana, nona?" "Apa?" Halen merasa perkataan pria di hadapannya itu tidak masuk akal. Akhir-akhir ini ia mendengar banyak modus penipuan untuk memperdaya wanita di media berita. Nanti ujung-ujungnya di pekerjakan di klub malam. "Aku nggak mau." Tolaknya tegas. Pria di hadapannya tampak frustasi, pasalnya Halen ternyata gadis yang sangat keras kepala dan teguh pendirian, tidak bisa di iming-imingi dengan uang sedikitpun. "Nona--" "Biar aku saja." Perkataan pria itu terhenti ketika pria lain tiba-tiba muncul di antara mereka. Pria dengan perawakan tinggi, berkulit putih dan tampan, tubuhnya yang di balut jas abu-abu muda itu membuatnya tampak lebih mempesona. "Bos..." pria itu menunduk dan mundur pindah ke belakangnya. "Hai... namaku Bryan." Ucap pria yang baru datang pada Halen. "Aku nggak nanyak," ucap Halen ketus. Hanya karena kamu tampan, aku bakal klepek-klepek gitu. Jangan harap ya! Bryan mengangkat sudut bibirnya ke atas tersenyum. "Namamu Halen, kan?" Tanya Bryan santai. Halen langsung menatap menyelidik dan memasang sikap waspada. "Aku hanya ingin kamu jadi adikku, dan aku akan memberikan berapa pun yang kamu mau." Halen mengangkat satu alisnya, bibirnya tersenyum miring, "tuan, sepertinya anda salah mangsa, aku tidak akan pernah percaya modus seperti ini. Kalian itu pasti mau cari wanita muda untuk di pekerjakan di klub malam atau panti pijat ena-ena kan? Udahlah, ngaku aja. Aku nggak bakal semudah itu percaya sama kalian!" Bryan sedikit terperangah mendengar ucapan terus terang dari Halen. Tapi detik berikutnya ia kembali tersenyum. "Aku rasa kamu salah paham. Aku sama sekali bukan orang seperti itu, aku ha--" "Sudah-sudah, aku nggak mau bicara lama-lama sama kalian Aku nggak mau kalian mempengaruhiku." Potong Halen. "Tapi--" "Udah sana, pergi-pergi, atau aku teriak supaya orang-orang datang dan mengusir kalian karena telah mengganggu seorang gadis?!" Ancam Halen. Bryan menggigit bibir bawahnya, ia tersenyum konyol mengejek dirinya sendiri. Belum pernah ia bertemu dengan gadis aneh seperti yang ada di hadapannya saat ini. Apa gadis ini tidak tahu siapa dirinya? "Nona, apa anda sungguh tidak tahu sedang bicara dengan siapa?!" Asisten Bryan yang sejak tadi diam akhirnya merasa gemas dan menghardik Halen. "Tentu saja aku tahu," jawab Halen penuh percaya diri. "Kalian pasti komplotan perdagangan manusia, kan?" Tuduh Halen lagi. "Ku rasa kamu harus memeriksakan matamu. Kamu harunya lihat berita di televisi, atau kamu tidak punya TV, perhatikan baik-baik kamu sedang bicara dengan siapa?!" Asistent Bryan bertambah gemas. Pandangan Halen teralih pada Bryan, dan memperhatikan wajah pria itu dengan seksama. Sepertinya wajah pria itu memang familiar, tapi ia tidak bisa mengingatnya dengan jelas pernah melihatnya dimana. "Memang siapa orang ini?" ucapnya ragu. "Dia adalah--" Derrt... Derrt... Derrt.... Kalimat Ken terhenti karena ponsel milik Halen bergetar. Wanita itu segera merogoh benda pipih itu dari dalam saku celana jinsnya. "Ya... Tante, ada apa?" ia mulai berbicara dengan seseorang di ujung telepon sana. "Apa? Ibu jatuh dari kamar mandi? Sekarang bagaimana keadaan beliau?" Wajah Halen berubah cemas. "Ya... aku segera kesana, aku izin bos-ku dulu." Ia mengakhiri sambungan teleponnya. Dan raut wajahnya berubah murung. Halen ingat tidak memiliki uang sama sekali, bekerja setiap hari hanya habis demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya bersama sang ibu. Jangankan uang tabungan, untuk makan saja kadang mereka susah. Ia bingung, dan langsung terpikir biaya rumah sakit yang mungkin tidak sedikit. Bagaimana ini? "Baiklah, aku setuju. Aku hanya jadi adikmu, kan?" Ujar Halen tiba-tiba pada Bryan. "Tapi sebagai gantinya, aku minta kamu membayar rumah sakit ibuku." lanjutnya tanpa basa-basi. Bryan tersenyum miring, "apa kamu sudah tidak takut lagi sekarang? Bagaimana jika ternyata aku komplotan perdagangan manusia?" Godanya. Halen terperangah, wajahnya sesaat tampak ragu. Tapi bayangan wajah ibunya yang tiba-tiba terbayang di benaknya membuatnya membulatkan tekad. Tidak masalah jika ia harus bekerja di klub malam, asal ibunya selamat, itu bukan masalah besar baginya. "Tapi... aku tidak harus melayani para p****************g dan sebagainya, kan?" Bryan ingin sekali tertawa melihat ekspresi Halen yang polos, tapi ia menahannya. "Maksudmu harus melayani dalam hal apa?" Sudah lama sekali Bryan seolah tak menemukan mainan baru yang menarik. Tapi kali ini tugasnya bukan untuk itu. "Tidak, kau hanya perlu menemui pria tua dan mengaku sebagai adikku." "Hanya itu?" Halen menautkan kedua alisnya tidak yakin. Bagaimana mungkin pekerjaannya semudah itu, tapi ia bisa mendapatkan uang dengan jumlah banyak? Apa pria ini benar-benar sedang menipunya? Tapi untuk apa juga dia menipunya? "Apa kau ingin lebih?" Bryan melemparkan tatapan menggoda. Halen kaget dan reflek menunduk. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup sangat cepat. "Baiklah, aku setuju." Halen merasa tak punya pilihan lain. Apapun yang terjadi padanya adalah urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah keselamatan ibunya. Bersambung Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN