Mimpi Buruk ~~

1156 Kata
Waktu terus berputar. Hari demi hari terus terlewati. Semakin hari rasa sakit bekas benturan saat itu semakin menjadi-jadi, dan cukup sulit ditahan. Beruntungnya, Rio sedang disibukkan dengan disertasi S3 kedokterannya, hingga mereka sangat sulit hanya untuk sekedar bertemu. Kiran dan Rio saling berkomunikasi hanya melalui w******p ataupun video call saja. Hari ini, Kiran kembali mendapat pertukaran shift dengan temannya dan bekerja dari pagi hingga malam hari. Setiap tubuhnya mulai merasa kelelahan, kepalanya mulai terasa sakit lagi. Kiran bergegas masuk ke dalam pantry lalu mengambil obat pereda sakit kepala di kotak p3k yang disimpan diatas lemari pantry khusus karyawan, lalu segera meminumnya. "Ki, udah tiga hari ini gue perhatiin lo minum obat sakit kepala terus, lo kenapa?" Tanya Beni yang sedang satu shift dengan Kiran. Kiran hanya tersenyum seraya menaruh kembali kotak p3k ke tempat asalnya. "Gak apa-apa Ben, gue lagi agak sakit kepala aja nih beberapa hari ini," jawab Kiran. "Pacar lo kan dokter Ki, kenapa lo gak minta diperiksa aja?" Saran Beni. Kiran hanya menggeleng sambil tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Beni. Gadis itu kembali ke tempat memasak dan mengambil beberapa pesanan para tamu, menaruhnya di atas nampan lalu membawanya. Sejak pagi hari hingga malam, memang cukup banyak pelanggan yang datang ke restaurant dan membuat Kiran cukup kewalahan dibuatnya. Setelah para pelanggan keluar dan waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih lima belas menit, Kiran yang sedang menaruh beberapa piring kotor seketika itu juga terduduk di lantai dapur sambil bersandar pada dinding, merasakan sakit di kepalanya yang sangat luar biasa. Tubuhnya penuh dengan keringat, napasnya tersengal, wajahnyapun terlihat pucat pasi. Beni yang baru selesai menutup rolling door restaurant dan hendak mengambil lap didapur untuk membersihkan meja pun menghampiri Kiran yang sedang terduduk lemas. "Ki ... Kiran!" Panggil Beni. Pria itu berlari menghampiri Kiran dan berusaha membangunkan rekan kerjanya itu. Namun, Kiran yang sudah tak kuasa menahan rasa sakitnya, akhirnya terkulai dan pingsan di atas tangan Beni. Beni yang panik segera meraih ponselnya dan menghubungi kontak darurat, meminta ambulan segera datang ke restaurant secepat mungkin, "Rekan kerja saya tiba-tiba pingsan! Bisa dikirimkan ambulan secepatnya?" "Baik pak, bisa di beritahukan alamatnya?" tanya seorang petugas panggilan darurat dari seberang telepon. Beni pun segera memberitahukan alamatnya lalu memutuskan panggilan tersebut. "Ki ... Kiran, bangun Ki!!" panggil Beni berusaha membuat Kiran tetap sadar. *** Hampir delapan jam Kiran tak sadarkan diri. Dan kini perlahan, Kiran membuka matanya. Berusaha memfokuskan pandangannya yang masih buram, lalu melirik ke samping kiri dan kanannya. Suster yang melihat Kiran sudah sadar segera memanggil dokter yang bertugas dan menangani wanita itu. Tak begitu lama, Seorang dokter tiba dan menghampiri Kiran untuk memeriksa keadaannya saat ini. "Dimana wali anda?" Tanya dokter. Kiran menggeleng lemah. "Saya tidak punya orangtua dok, saya tinggal sendiri." "Keluarga yang lainnya?" tanya dokter itu lagi. Kiran kembali menggelengkan kepalanya. "Tidak ada dok." Dokter tersebut menoleh sesaat pada suster di sampingnya, lalu kembali menatap Kiran dengan wajah yang serius. "Bisakah saya membacakan hasil diagnosanya sekarang?" tanya dokter tersebut dengan nada ragu. Kiran perlahan bangun dan duduk bersandar pada bantalan. Untuk sesaat, dokter tersebut menghela napas panjang, lalu bersiap membacakan diagnosanya. "Kami sudah melakukan CT-Scan pada kepala anda, dan kami menemukan sesuat yang harus segera mendapat penanganan lebih lanjut." Ujar dokter sambil memberikan sebuah Ipad yang berisi sebuah gambar hasil CT-Scan pada Kiran. Kirang mengerutkan dahinya seraya meraih ipad yang disodorkan oleh dokter tersebut. "Ini apa dok?" tanyanya kebingungan. Dokter menunjukkan foto yang berwarna hitam dengan sebuah pen. "Hematoma epidural atau yang biasa disebut sebagai extradural hematoma merupakan perdarahan yang terjadi pada bagian antara tengkorak kepala dan lapisan selaput pelindung otak yang disebut dura. Pendarahan biasanya terjadi akibat benturan yang cukup keras. Cedera ini tergolong cukup serius karena bisa menyebabkan anda hilang kesadaran atau kerusakan otak permanen akibat tekanan berlebih pada otak, dan bahkan bisa berakibat fatal. Mohon maaf sebelumnya, hingga menyebabkan kematian jika tidak segera ditangani. Saya sebagai dokter menyarankan untuk segera di tindaklanjuti lebih lanjut dengan jalan operasi," jelas Dokter. Seketika itu juga Kiran membelalak. Betapa terkejutnya Kiran mendengar penjelasan dokter. Dunianya seketika hancur, sehancur-hancurnya. Dokter yang masih menjelaskanpun tak benar-benar didengar oleh Kiran. wanita itu masih berada di dunianya, pikirannya terus berkecamuk dengan apa yang baru saja di dengarnya. Kiran lalu memberanikan diri menatap dokter yang sedang menunggu jawaban dari Kiran. "Dok ... Bagaimana jika ... aku tidak menjalankan operasi?" Tanya Kiran sambil terus berpikir. "Menumpuknya darah di ruang yang terdapat di antara tulang tengkorak dan lapisan dura ini meningkatkan tekanan di kepala dan berpotensi menekan otak nona. Kondisi ini, cepat atau lambat dapat menyebabkan gangguan penglihatan, pergerakan, kesadaran, dan bahkan kemampuan berbicara. Epidural hematoma harus segera ditangani. Jika tidak, kondisi ini dapat menyebabkan kematian seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya," jelas dokter lagi. Kiran memejamkan matanya rapat-rapat, berusaha terbangun dari mimpi buruk yang baru saja menghampirinya. Tetapi, saat ia kembali membuka matanya, semua yang terjadi adalah nyata. Masa depannya kini benar-benar hancur. Dokter dan susterpun pamit pergi, meninggalkan Kiran untuk memberi ruang agar ia dapat berpikir dan mempertimbangkan segalanya secara matang. Tak terasa, air mata yang sudah berusaha ia bendung di pelupuk matanya, akhirnya menetes tanpa bisa ditahan lagi. Kiran melepas infusannya dengan paksa, lalu turun dan berjalan ke loket p********n dengan wajah yang masih terlihat pucat pasi. "Berapa biayanya mba?" Tanya Kiran. "Atas nama siapa nona maaf?" Ujar wanita bagian administrasi. "Kiran Teona." Perawat bagian administrasipun mengecek tagihan rawat Kiran. "Total dengan obat yang harus ditebus, tiga juta lima ratus ribu rupiah nona." Kiran terdiam sesaat, uang yang ia tabung harus dia gunakan untuk membayar tagihan rumah sakit. Kiran menghela napas cukup panjang, lalu memberikan Kartu ATM-nya dan melakukan debit ATM di loket p********n. Kiran masih terdiam dengan tatapan menerawang seraya menunggu proses p********n selesai. "Mba maaf mau tanya, kalau biaya operasi hematoma kira-kira berapa?" Bagian administrasi itu menengadah sesaat, lalu membuka list harga operasi pada layar monitornya. "Kurang lebih total dengan perawatan dua ratus lima puluh juta rupiah nona, dan ditangani labgsung oleh dokter spesialis bedah saraf." Jawab Suster tersebut. Kiran membelalak, dari mana dia bisa mendapatkan biaya operasi sebanyak itu. Kiran tahu, jika Rio mengetahui penyakitnya, ia yakin Rio akan membayarkannya bahkan tanpa meminta embel-embel apapun. Tetapi, Kiran tidak mau memberikan beban sebesar itu pada kekasihnya, Rio. Kiran menunduk, lalu mengambil obat yang di taruh diatas meja, lalu berjalan pergi dengan lesu. Hujan di pagi hari mulai turun satu persatu hingga perlahan rintik hujan itu kian membesar. Kiran tak menghentikan langkahnya atau mencari tempat untuk berteduh. Wanita itu hanya melanjutkan langkahnya ditengah hujan yang semakin lebat. Kiran yang sudah tak dapat menahan bebannya perasaannya lagi, menangis tanpa henti dibawah guyuran air hujan, hingga air matanya berhasil tersamarkan. Dunianya yang dia bangun sejak kecil, masa depan yang sudah dia susun dengan Rio sejak lama, kini harus ia relakan dan semuanya berakhir sia-sia. Dirinya tidak menyesal telah menolong Bella, yang dirinya sesalkan adalah harus bertemu Dika yang ternyata malah menghancurkan dunianya. Hingga tanpa ia sadari, dirinya sudah berada di gedung kost-kost an nya. Kiran masuk ke dalam rumah, mengunci pintunya, dan duduk bersandar pada pintu. Kembali .... Tangisnya kembali tumpah di atas wajahnya. Air hujan yang membasahi tubuhnya ia biarkan menetes dan membasahi lantai. Entah apa yang harus Kiran lakukan saat ini. "Ibu, Ayah ... apa yang harus Kiran lakukan? Kiran belum siap jika harus merelakan segalanya." Lirih wanita itu disela isak tangisannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN