Renata menggeram. Ia ingin sekali memaki dan mengumpat orang yang tak sengaja ia tabrak. Itu adalah stelan yang baru ia beli. Harganya pun sama dengan satu bulan uang kuliahnya. Renata sudah mengumpulkan uang-uang itu untuk membeli pakaian yang bagus dan dapat membuat papa Steve bangga kepadanya. Tapi semua rusak karena sebuah noda kopi.
Renata baru saja menaikkan level kemarahannya agar cukup berani membalas perbuatan tak adil tersebut. Tapi secepat itu, level kemarahan Renata menciut karena wajah garang pria tersebut setelah ia melepas kacamata hitamnya.
Rambutnya sebahu. Dan sengaja mengkilat dengan gel yang ia buat rapi tersisir ke belakang. Di tangannya ada tattoo besar berbentuk kalajengking dan saat pria tersebut menaikkan lengan jasnya, maka semakin panjanglah ekor dari tattoo tersebut.
Matanya tajam seperi orang Jepang. Tapi dia tinggi dan berbadan besar. Bahkan Renata hanya berada tepat sedadanya. Renata yang kecil sudah pasti menciut. Terpaksa kata-kata makian yang sudah ia gabungkan untuk memberi pelajaran karena bajunya ikut terkena noda, ia urungkan dan bahkan ia lupakan dengan kata-kata manis.
“Ma—aaf. Saya –“
“Kamu bisa lihat jalan kan?” tukas pria tersebut yang bahkan nada suaranya saja sudah membuat Renata merinding.
Gadis malang itu hanya bisa pasrah saat ditatap tajam oleh pemuda itu yang seperti kapan saja siap untuk menyantap Renata bulat-bulat.
“Kamu dengar apa kata saya kan? Jawab!” betaknya.
Renata bersiap seperti tentara berbaris. Menunduk patuh menjawab pertanyaan.
“Dengar komandan! Eh –“
“Apa kamu bilang?”
Suasana menjadi semakin canggung. Renata benar-benar berkeringat sanking tegangnya. Ia pikir, selama bersuamikan Adam yang dingin, dia akan terbiasa menghadapi orang-orang yang punya sikap yang sama dengan suaminya itu. Tapi nyatanya, dia malah bertemu dengan orang yang lebih menyeramkan dari itu.
Renata semakin merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia dilahirkan dengan jiwa-jiwa penakut bersarang didirinya? Sudah cukup rasa takutnya menghadapi Adam dan istrinya Dewinta. Jangan tambah lagi orang-orang yang akan membuat Renata kian malas untuk hidup.
“Tidak. Itu saya spontan saja sebut kamu komandan.”
Pria tersebut garuk-garuk kepala. Menghadapi kuman kecil di depannya hanya akan membuang waktu. Tapi kekesalannya masih saja belum mereda padahal wanita yang menabraknya itu sudah meminta maaf.
Sengaja untuk mengintimidasi Renata, pria itu menunduk. Mensejajarkan wajahnya dengan tubuh Renata yang pendek nan mungil. Wajahnya saja hanya sebesar telapak tangannya. Pria itu tahu kenapa Renata urung menatapnya karena dirinya lebih unggul untuk memarahi gadis itu.
“Maafkan saya. Itu tak disengaja,” tukar Renata yang masih tak berani untuk menaikkan kepalanya.
Pria tersebut akhirnya memilih mengalah setelah iktikad baik Renata untuk membersihkan bekas noda itu tanpa dia pinta. Karena risih, pria tersebut merampas sapu tangan tersebut dan membersihkannya sendiri.
“Lain kali jalan tuh lihat kanan kiri depan! Jangan lihat ke bawah terus,” diktenya.
Renata mengangguk cepat dan hampir saja ingin menangis. Tapi ia tahan karena pasti akan malu dilihat orang banyak. Renata memilih untuk mundur saat pria tersebut belum sempat menyelesaikan amarahnya. Ia dengan kesal melihat Renata telahpun pergi meninggalkannya dengan lirikan orang sekitar yang melihat kejadian tersebut.
#
“Ya Tuhan. Jauhkanlah aku dari orang itu lagi,” pinta Renata saat berhasil masuk ke dalam lift yang akan mengantarkannya turun ke lantai bawah.
Setelah bertanya pada pihak pengamanan dan orang yang bekerja di hotel, ternyata dapur utama hotel Margareth berada di lantai bawah. Unik memang. Karena biasanya dapur akan di tempatkan di lantai satu atau lantai atas.
Setelah pintu lift terbuka – yang liftnya bahkan khusus bagi pekerja dapur – Renata langsung ditunjukkan dengan banyaknya orang yang berlalu lalang menyiapkan makanan ataupun bahan makanan. Setiap pekerja memiliki badge mereka masing-masing. Pakaian mereka juga berbeda di setiap bagiannya. Kalau dilihat, mungkin yang bekerja di sini ada puluhan orang.
Mobil-mobil pengantar bahan makanan saja tak berhenti menurunkan barang. Daging dengan kwalitas super, ikan tuna dan segar, bahkan sayur-mayur juga digarap dengan rapid an tersktruktur. Itu untuk bagian distribusi bahan makanan. Belum ke tahap tim lain yang bekerja sebagai stocker dan penyimpanan. Ruangan dingin dan bersuhu yang telah diatur dengan baik juga tersedia di sini. Ukurannya saja bahkan lebih besar dari apartemen Renata.
Tak terasa Renata memantau dapur dengan terlalu antusias. Hingga ia tak menyadari kehadiran seorang pria yang mengikutinya sejak tadi. Renata berjengit setelah pria itu menegurnya lewat pundak. Pakaian hitam dengan line pita merah di kerah dan kancing, mengingatkan Renata dengan bagiannya. Dia adalah seorang supervisor dapur. Untuk koki yang lebih tinggi, biasanya diberi warna line pita emas.
“Anda siapa yah?”
Renata menunduk dengan cepat. Memberi salam dengan pantas sambil memperkenalkan diri dengan semangat.
“Saya Renata Wilmina. Asisten chef Demian mulai hari ini.”
Sang supervisor chef itu tampak ragu dengan penampilan Renata. Tapi setelah Renata menunjukkan badge nama dan posisinya, pemuda itu jadi percaya dan balas memperkenalkan diri.
“Halo. Namaku Julian. Mungkin kau tersesat. Karena tempat kerjamu bukan di sini,” sapanya ramah.
Renata menyambut baik kehadiran Julian itu. Perangainya yang cukup ramah dan menyenangkan membuat Renata lega karena ia bertemu dengan orang yang tepat.
“Benarkah? Maafkan saya! Karena terlalu terkesima dengan dapur ini, jadi lupa arah.”
“Humm tidak apa. Tempat ini memang sangat luas. Wajar saja jika tersesat. Mari nona Renata, saya akan bawa kamu ke tempatmu,” ajaknya yang tentu saja disambut gembira oleh Renata.
Renata ternyata memang sudah berjalan sangat jauh. Posisi dan tempat di mana seharusnya dia berada benar-benar sangat berbeda dari tempat yang tadi. Begitu pintu perak terbuka, meja-meja perak terisi penuh dengan bahan makanan yang siap untuk diolah. Para koki yang mengenakan pakaian putih berline hitam di kerah dan kancing terlihat banyak sekali.
Mereka itu bahkan sangat konsentrasi untuk bekerja hingga tak menyadari kehadiran Renata dan Julian. Gadis yang bersama Julian it uterus saja terpesona dan bergetar melihat betapa wangi dan lezatnya makanan yang mereka sajikan.
Benar-benar terlihat mewah dan rapi. Setiap meja tak diijinkan untuk kotor sama sekali. Julian menangkap keterkejutan Renata itu hingga ia menjentikkan jarinya ke wajah Renata.
“Nona manis. Tadi kamu bilang di bawah chef siapa?”
Renata menggelengkan kepala untuk tersadar atas lamunannya, “Demian! Chef Demian Souta. Sebenarnya saya masih kandidat. Bisa saja tersingkir nantinya.”
“Oh jangan khawatirkan itu. Bekerjalah dengan giat agar terpilih menjadi koki hebat itu,” tunjuk Julian sambil membuka pintu lain lagi yang tertulis di sana sebagai dapur khusus.
Benar-benar khusus karena isinya hanya beberapa koki handal. Tempat masaknya saja sangat terlihat mahal dan elegan. Jauh lebih bersih dan lapang. Beberapa koki terlihat teralihkan saat pintu mereka terbuka. Dan Julian meminta maaf karena hal itu. Dan ketika Julian dan Renata sampai ke sebuah meja dapur khusus milik Demian, di sanalah raut wajah Renata berubah drastis.
Pasalnya Demian Souta yang akan menjadi tutornya adalah..pria yang ia tabrak dengan noda kopi di lobby.
“Dia ?”
.
.
Bersambung