BAB 9

1616 Kata
Bagai terkena petir di siang bolong, tertimpa hujan tanpa mendung atau jatuh ke lubang tanpa peringatan. Mungkin seperti itulah yang kini dirasakan oleh Renata. Padahal,baru beberapa saat yang lalu ia menyemangati dirinya sendiri untuk bisa berhasil saat training nanti, tapi langsung pupus begitu saja hanya karena ia berpikir tengah dikuntit. Tak pernah terpikirkan oleh Renata, situasinya akan seperti ini. Khayalan buruknya berubah menjadi sangat buruk. “Chef..Saya akan lakukan apa saja di dapur asalkan diberi kesem –“ Demian menarik satu telunjuknya. Dan jarinya itu ia tempelkan tepat di depan hidung Renata. Wajah Demian masih terlihat menyeramkan. Wajah-wajah pria kartel atau mafia yang siap memangsanya hidup-hidup. “Waktu itu sudah kita sepakati..tidak ada kesempatan lagi untuk kesalahan berikutnya.” Renata mengingatnya seperti roda sepeda yang berputar. Kata-kata peringatan itu bahkan terus terngiang di kepalanya hingga ia menuliskannya di buku nota. Tapi siapa yang menyangka situasinya jadi seperti ini. Renata frustasi seperti telah patah hati. Dunianya serasa akan mati bahkan sebelum tumbuh. “Kenapa jadi begini,” isak Renata tak berhenti di dalam lift bahkan di sudut-sudut hotel. Renata menangis seperti anak kecil. Menarik perhatian para tamu hotel maupun mall. Beberapa orang menganggapnya gila. Namun tak sedikit pula yang kasihan padanya. “Bagaimana ini! kenapa hidupku sial sekali!” “Akan aku balas orang itu! akan aku remukkan dia seperti ini..seperti ini,” kesal Renata yang menganggap gelas kemasan sebagai Demian. Aksinya itu menjadi tontonan orang. Apalagi setelah melakukannya, Renata kembali menangis. Memang persisi seperti orang gila yang berkeliaran. Meski begitu, tak ada orang yang berani menegur atau mendekatinya, hingga seorang pria berstelan jas lengkap berawarna biru gelap mendekatinya. Itupun, Renata tetap tak menggubris panggilannya beberapa kali. “Renata?” Suara baritone rendah menginterupsi aksi Renata yang menangis sambil memeluk lutut. Setelah puas menangis seperi orang konyol, Renata mendongak untuk melihat siapa yang memanggilnya. “Sedang apa kau di sini?” interupsinya. “A..adam?” Renata mengucek-kucek matanya untuk memastikan apa yang ia lihat benar atau tidak. Apalagi matanya tiba-tiba menjadi buram karena eyeliner yang luntur terkena airmatanya sendiri. Bagi yang melihatnya dan membayangkannya, Renata benar-benar kacau pagi ini. Bahkan sampai membuat Adam – suaminya – hampir tak mengenali wajah istrinya itu. “Ya. Sedang apa kau di sini? Kenapa menangis di sini?” “Adam? Apa benar yang kulihat ini Adam?” monolog Renata dalam hati. Kini wanita itu benar-benar telah kembali kewarasannya. Apalagi sekarang, telah berdiri seorang pria tampan yang ia sebut suaminya itu. tentu saja Renata langsung sadar dengan situasi yang telah ia buat. Benar-benar telah membuat dirinya malu. “A..aku –“ Adam terlihat tak sabaran. Ia mulai sedikit marah melihat kelakuan Renata yang sampai mengganggu pengunjung hotel. Pria itu lantas segera menarik lengan Renata untuk mencari tempat yang lebih sepi. Agar orang-orang tak lagi memperhatikannya lagi. Dengan sedikit kasar, Adam menarik Renata pergi. Setelahnya gadis itu harus terima tubuhnya tersandar ke dinding dengan sedikit kasar. Adam mulai menatapnya dengan tajam. Renata menarik mundur wajahnya sembari menundukkan kepala karena tak berani menatap Adam – suaminya itu. “Kenapa menangis?” “A..aku –“ “Apa kau anak-anak? Menangis di longue hotel hingga mengganggu orang lain?” Renata terbelalak. Ia yakin, bahwa dia tak bermaksud seperti yang dikatakan Adam. “Ti..tidak. A..ku tidak bermaksud begitu –“ “Lalu? Apa yang kulihat tadi? Kamu tengah melakukan stand up comedy? Begitukah?” Adam benar-benar kesal dan malu. Untungnya, para staf atau karyawannya tak ada yang mengetahui status diantara mereka. Semua itu juga demi menjaga imagenya yang tak ingin dianggap buruk memiliki dua isteri. Terlebih itu juga demi Dewinta – istrinya, yang meminta hal itu juga ditutupi. Tapi tetap saja, melihat kelakuan Renata itu cukup membuat dirinya sendiri malu. Walau tak ada orang yang akan menertawakannya. “Tidak..aku tidak bermaksud seperti itu –“ elak Renata yang masih mencoba untuk bicara. Tapi lagi-lagi dia selalu kalah dari orang lain. Ucapannya akan selalu terbata-bata dan orang lain akan menguasai keadaan tanpa mau mendengarkan penjelasan darinya. Renata benci dirinya yang seperti itu. hingga puncaknya, ia harus terima bila dalam satu hari ini saja ia sudah mendapatkan makian dan cercaan dua orang pria karena sikapnya itu. Adam memijit keningnya sembari menekan dinding di samping Renata. Pria itu menarik napas panjang lalu meminta Renata untuk pulang. “Pulanglah. Kita bicarakan ini nanti di rumah –“ “Kenapa..kenapa semua orang memintaku untuk pulang ke rumah. Apa aku memang tak pantas untuk keluar rumah?” Adam terdiam. Kini gilirannya yang mendengarkan apa yang ingin Renata sampaikan padanya. “Apa maksudmu?” “Kamu bicara tentang pulang ke rumah dan kita akan bicara. Tapi pada kenyataannya kita tak pernah benar-benar bicara,” ucap Renata dengan tatapan sendunya. Adam tercekat. Ia baru saja mendengar Renata mengeluh kepadanya. Adam juga baru menyadarinya, bahwa ini adalah percakapan terpanjang mereka selama ini. Renata juga baru menyadarinya setelah ia meluapkan kekesalannya itu. “Itu –“ “Maaf sudah mengacaukan hotelmu. Aku akan pergi.” Renata berbalik. Benar-benar meninggalkan Adam yang bahkan tak bisa menarik kata-kata Renata itu. Seperti ada rasa bersalah yang bersarang dalam hati Adam ketika dia bisa mendengar pertama kali isi hati istrinya yang ia abaikan itu. Sementara itu di dapur hotel ternama milik keluarga Lamberg itu, mulai terasa keramaiannya. Para staf di dapur mulai menyiapkan segala sesuatunya sebelum bel berbunyi. Demian yang baru beberapa hari pindah ke hotel tersebut pun mulai memimpin doa. Rutinitas setiap paginya sebelum mereka menyiapkan makanan untuk para tamu. Hening sesaat untuk berdoa. Semua staf dapur tampak kompak menjalankan rutinitas ini. Satu menit berlalu, semua serempak menaikkan kepala. Menunggu aba-aba dari chef yang memimpin pagi ini. “Semuanya..mari bekerja lebih giat dari hari kemarin. Mengerti?” Seluruh staf menjawab dengan serempak, “SIAP CHEF!” Lalu tak lama, bel pun berbunyi. Bel terus bordering pertanda bahwa ada daftar pesanan yang masuk ke dapur. Demian mengambil secarik kertas pesanan tersebut lalu membacakannya dengan lantang. “Pesanan pertama kita!” Semua tampak antusias dan bersemangat. Seperti benar-benar masuk ke dalam suasana pertempuran alat masak yang sebenarnya. Demian kembali melanjutkan ucapannya yang menggantung, “Pasta Aglio Olio dengan saus kerang ikan tuna. Kerjakan!” tunjuk Demian pada staf memasak di sebelah kanannya. Sebagai infromasi, dapur mereka memiliki staf masakan masing-masing yang menghidangkan masakan yang berbeda pula. Ada chef yang menangani menu pasta dan pizza. Masakan korea, steak dan segala masakan yang memerlukan pemanggangan daging ataupun ayam. Staf memasak makanan laut bahkan staf khusus dessert dan cake. Pesanan demi pesanan terus berdatangan dan Demian telah selesai membacakan satu contoh pesanan pembuka untuk hari ini. semuanya telah bersiap dan kertas-kertas menu terus masuk ke meja-meja mereka masing-masing. Demian yang mengawas hari ini turut membantu dan mengkritisi jika ada staf yang salah atau tidak layak menampilkan masakannya. Demian akan dengan tegas membuang makanan tersebut jika dia rasa masakan tersebut kurang nikmat dan bermutu untuk dihidangkan. Aturan ketat ini memang sudah dikenal di restaurant tersebut. Tak heran biasanya para chef kepala disebut tak punya hati karena prinsip kerjanya itu. Apapun yang terjadi, kualitas makanan adalah yang nomor satu. Kepala chef yang bertugas setiap paginya harus bersikap tegas dan sama seperti yang Demian lakukan. Karena itulah, Demian akan terlihat kaku dan keras ketika bekerja, namun akan berbeda jika di luar itu. “Cepat! Cepat! Jangan ada kesalahan kematangan sedikit saja! Itu hanya akan memakan waktu lebih banyak!” “IYA CHEF!” “Pasta selesai!” teriak staf pasta yang telah selesai menghidangkan menu pertamanya. Demian akan langsung duduk di kursi quality control sebelum makanan tersebut akan dibawa oleh para pramusaji ke meja pelanggan. Demian mulai mencicipinya sedikit kemudian mengumumkan hasilnya. “Bagus! Siapkan menu pasta lainnya!” teriaknya. “SIAP CHEF!” Begitu seterusnya hingga mereka bekerja sepuluh jam ke depan. Restaurant membuat system dua shift. Waktu kosong dapur hanya berkisar empat jam saja sebelum shift pagi kembali beroperasi. Setiap dapur memiliki lima kepala chef yang bergilir memantau kegiatan dapur di pagi hari dan berotasi dengan kepala chef lain yang bekerja pada shift malam. Sehingga total kepala chef yang dibutuhkan hotel mewah ini adalah sepuluh orang dengan jumlah staf sekitar seratus orang untuk shift pagi dan malam. Sangat ramai namun semua bisa dikendalikan dengan baik. Untuk itulah benar-benar dibutuhkan kerja keras dan konsisten untuk bekerja tepat waktu dan telaten di restaurant tersebut. Dua hal yang sangat ditanamkan Demian dalam hatinya. Karena itu dia tidak bisa atau tidak mau bekerja dengan orang yang tidak bisa konsisten dan suka berleha-leha. Seperti yang ia bayangkan jika Renata masuk ke timnya. Demian duduk mengamati sebelum akhirnya ia menjatuhkan sebuah ikat rambut berbandul batu giok. Sempat lupa dan bertanya-tanya mengapa ia memiliki benda tersebut, akhirnya Demian bisa mengingatnya setelah berpikir sejenak. “Kenapa aku mengutipnya?” Demian sendiri terhran-heran. Kenapa ia harus repot-repot mengutip benda tersebut yang ternyata tak sengaja terjatuh saat Renata merengek di hadapannya tadi pagi. Sambil menggeleng tak percaya bahwa dirinya mengingat kejadian pagi tadi, Demian memilih mendekati tempat sampah untuk membuang ikat rambut yang dianggap Renata adalah jimat keberuntungan. Demian tertawa kecil. Menertawakan benda tersebut beserta pemiliknya yang aneh. Mempercayai hal-hal berbau takhayul seperti itu. #Kilas balik di dalam bus# “Karen! Aku membeli ikat rambut keberuntungan pagi ini,” ungkap Renata yang menunjukkan benda tersebut pada temannya lewat panggilan video. Sama halnya dengan Demian yang tak sengaja mendengar ucapan Renata itu, mereka tertawa sambil menyebut Renata aneh. “Kau masih percaya hal-hal seperti itu?” “Kita lihat saja nanti. Kakek itu bilang ikat rambut ini akan kembali padaku walau aku membuangnya. Dia akan mengikatku karena aku telah terikat dengan keberuntungan ikat rambut ini.” Karen tertawa diikuti Demian yang juga mendengar ucapan konyol Renata itu. #kilas balik selesai# Dan tawa itu kembali terbit di sudut bibir Demian. Seolah pria tersebut tengah meledek Renata dengan keberuntungan yang ia katakan akan terjadi padanya. . . bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN