Bab 9. Gelisah Damian

1035 Kata
“Kamu bisa mencari yang lebih baik lagi, Natta. Kamu lupakan dia, karena dia sangat tidak pantas untuk kamu. Dia sudah gila sekarang.” Natta menggigit bibirnya dengan mata terpejam, berusaha meyakinkan dirinya untuk tidak lagi berharap. Dia sudah terlanjur menyukai dan menyayangi Alana, dan sekarang dia harus berjuang melupakan gadis itu. “Fokus dengan kuliah kamu. Jangan sampai kuliah kamu sia-sia. Kamu cari perempuan yang normal, Natta. Otak Alana sudah gesrek.” “Ok, Fiza. Terima kasih sudah membantu aku. Aku nggak akan mencari tahu dia lagi.” Natta langsung memblokir semua kontak Alana. *** Damian malam ini gelisah, besok Nirmala akan pergi ke Pekalongan, karena kesehatan papanya memburuk. Dia tidak bisa menemani istrinya karena banyaknya pekerjaan di kantor. Dua anaknya, Alaric dan Amanda, dia titipkan ke rumah saudara sepupunya, Cindy, sedangkan dirinya akan bermalam di apartemennya yang berdekatan dengan gedung kantornya. Damian memeluk erat-erat istrinya menjelang tidur. “Demi. Nggak lama, hanya satu minggu, minggu depan aku sudah pulang ke sini. Kamu kayak Alaric kecil deh.” “Kamu akan bertemu Agung.” “Ya, tentu saja, dia adalah papa Jeanny dan Wenny. Kamu jangan berpikir yang nggak-nggak. Dia masa lalu.” Damian mencium bahu polos Mala dalam-dalam. “Seminggu aku akan merana. Jangan kamu letakkan baju yang kamu pakai ini di ruang cuci, aku juga membutuhkan celana dalammu, biar bisa aku baui tubuh kamu setiap malam.” Nirmala terkekeh. “Kamu m***m dan jorok, Demi.” “Aku selalu m***m di dekatmu.” Nirmala tertawa kali ini. Damian merenggangkan pelukannya dan rebah terlentang sambil menatap langit-langit kamar. Sejak menikah dengan Nirmala dia tidak pernah terpisah dari Nirmala lebih dari satu hari. Jika memiliki jadwal ke luar kota atau ke luar negeri lebih dari satu hari, dia akan membawa istrinya serta. Tapi kali ini Nirmala yang akan meninggalkannya satu minggu, ke Pekalongan. Damian tidak bisa ikut karena keadaan perusahaannya sedang sibuk-sibuknya, bahkan menambah peserta magang. Untuk menghilangkan gelisahnya, Damian ingin Nirmala melayaninya. Mengerti suaminya yang resah, Nirmala yang memegang kendali malam ini. Melepas baju tidurnya dan meletakkannya di sisi bantal Damian, lalu dia mulai bergerilya di atas tubuh suaminya. “Apa yang kamu lakukan bertemu Agung nanti?” tanya Damian setelah mengalami pelepasan. Mala mengecup dahi Damian yang keringatan. “Demi, apa kamu sudah lupa bahwa keluargaku sepakat untuk tidak membiarkannya datang ke rumah. Aku akan menghindar, kecuali jika keadaan darurat, dia memfitnahku misalnya, dan aku akan menghadapinya serta membuat perhitungan dengannya.” Nirmala juga membelai rambut tebal Damian, lalu memeluk tubuh telanjang Damian, dan Damian membalas pelukannya. “Maaf, aku hanya—“ “Aku tahu, aku juga gelisah. Aku juga nggak mau berpisah darimu.” Damian membelai rambut Nirmala hingga punggung polosnya. Setelahnya, barulah dia bisa tidur malam itu dan gelisahnya pun lumayan berkurang. *** Alana merasa tenang dua hari ini, karena tidak lagi melihat notif dari Natta di layar ponselnya. Sejak bertemu Damian dan mengaguminya, Natta sudah tersingkir dari pikiran Alana, dan dia bertekad akan mendekati Damian, apapun caranya. Hari ini dia memperhatikan Damian yang tampaknya lebih lama di kantor. Sejak awal pagi sudah dua sesi rapat berlangsung di dalam ruang kerjanya, dan Alana berkesempatan pula datang sekadar menyajikan makan dan minum untuk peserta rapat. Alana sudah menyadari bahwa dia memang harus bersabar, menghadapi bos besar Rubiantara. “Kamu fokus, jangan lirik-lirik suami orang.” Alana terkejut, setelah menyajikan makanan kecil dan minuman tepat di depan meja Damian. Suara desis wanita menyengat telinganya. “Maaf, Bu,” ucap Alana, dan wajahnya pucat seketika, serta perasaannya yang menjadi kurang enak. Alana tergesa-gesa berjalan mendekati teman magangnya yang lain yang berdiri di sisi meja dekat pintu kantor, bertanya, “Cila, kamu kenal wanita itu?” “Yang mana?” Alana sedikit berdecak, karena hanya ada satu peserta wanita yang mengikuti rapat pagi ini. “Oh, Bu Winda? Dia COO. Kok kamu nggak tau? Kemarin, ‘kan kita kumpul di ruangan Bu Winda, menyiapkan bahan-bahan rapat pagi ini.” “Oh.” Alana tampak baru menyadari. Mungkin karena pikirannya hanya ada Damian, dia jadi kurang fokus. Sekali lagi dia menatap wanita yang menegurnya dari kejauhan, barulah memori di otaknya bekerja, mengingat setelah makan siang kemarin, dia dan teman-teman magangnya berkumpul di ruang kerja wanita itu. Alana pun jadi memutar otak untuk bersikap lebih hati-hati, ada kekhawatiran sekiranya wanita itu sudah memperhatikan dirinya sejak lama. Alana sama sekali tidak menyangka kata-kata itu meluncur sangat dekat di telinganya. Beberapa menit kemudian, Alana dan Cila kembali ke ruang kerja mereka masing-masing karena rapat sudah akan dimulai, dan mereka diperkenankan untuk ke luar. Kejadian barusan membuat Alana tidak begitu semangat menjalani harinya, sampai dia tidak mau makan siang bergabung dengan teman-teman magangnya dia kantin kantor, dan dia memilih makan siang bersama Difa di ruang kerjanya. “Hm … aku sering liat Pak Damian menyeberang gedung depan, apa kamu menyadarinya?” tanya Alana saat dirinya sedang mencetak dokumen pemberian Putri, sekretaris Damian. Tatapannya tertuju ke luar gedung dan bisa melihat lalu lalang jalan di depan gedung kantor, hingga penampakan Damian yang menyeberang jalan tidak luput dari pandangannya. “Oh, Dia punya apartemen di sana, dan sering menginap. Kata Alaric papinya itu sering menginap di apartemen berdua maminya. Kadang anak-anak mereka juga diajak.” Alana tersenyum kecil, “Oh, ya? Enak sekali hidup pembesar.” “Iyalah. Namanya juga pemilik perusahaan, tapi kita jangan mikir enaknya saja. Pak Damian itu sudah puluhan tahun bekerja dan sebelum lulus kuliah sudah bekerja di perusahaan besar di Hamburg dan Zurich.” Mendengar kata Zurich, mendadak Alana mengingat Natta. Cepat-cepat dia tepis bayang-bayang Natta. “Ck ck ck. Hebat kamu, sudah tahu seluk beluk keluarga Rubiantara,” ujarnya. “Iya, sebelum aku magang, aku cari tahu sejarah perusahaan Rubiantara serta cabang-cabangnya. Aku juga menyelidiki hubungan persaudaraan mereka, Pak Hikam misalnya, salah satu CEO cabang Rubiantara di Kuningan, dia adalah saudara sepupu Pak Damian.” “Aku nggak kenal Pak Hikam.” “Bu Winda? COO di sini?” “Oh.” Alana mendadak mengingat seorang wanita yang menegurnya pagi tadi. “Tau dia, ‘kan? Kamu dan teman-teman kumpul di ruang Bu Winda kemarin.” “Iya, iya. Kenapa dia?” “Dia itu adik Pak Hikam, jadi dia juga saudara sepupu Pak Damian.” Alana mengaduh, karena mesin pencetak mendadak macet. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN