Bab 11. Kabar Mantan Suami

1050 Kata
Nirmala menikmati satu kue apem ke dalam mulutnya, dan dia berdecak nikmat. “Kue apem Mama tidak pernah gagal di mulutku,” pujinya. Rahmah tertawa kecil, merasa senang mendengar pujian putri semata wayangnya. “Ya ampun, Mala. Hanya kue apem,” balasnya merendah. “Justru kue apem Mama paling enak di dunia ini. Aku saja selalu gagal memasaknya, meskipun sudah memakai resep Mama.” “Masa?” “Iya, Ma. Beda rasanya. Tapi anak-anakku malah suka.” Rahmah melirik suaminya yang juga menikmati kue apem buatannya. Sudah dua kue yang dia makan. “Mala. Mama ingin membicarakan tentang Agung.” Akhirnya Rahmah membuka percakapan setelah dia merasa Mala benar-benar tenang. “Kenapa dengan orang itu?” decih Nirmala jengah. “Dia ingin mengajak Jeanny dan Wenny menginap di rumah orang tuanya. Mama bilang harus menunggu izin dari kamu.” Mala mengerlingkan kedua bola matanya dengan perasaan jengah. “Mau apa? Mau menghasud anak-anakku kayak dulu lagi?” “Mala, yang lalu biarlah berlalu. Agung sudah berubah. Kamu lihat saja kehidupannya sekarang, sangat susah. Dia hanya ingin menikmati waktu bersama Jeanny dan Wenny, anak-anaknya juga.” Rahmah mencoba memberi pengertian kepada Mala soal Agung, mantan suami Nirmala. “Sudah bertahun-tahun anak-anakmu nggak bertemu papa mereka. Sebenarnya Mama juga nggak mau, Mama masih mengingat apa yang telah Agung perbuat terhadap keluarga kita. Tapi, Mama juga punya hati, iba mendengar kabar bahwa Andita tidak bisa memiliki anak, karena ada masalah di rahimnya,” ujar Rahmah yang ingin meyakinkan Mala. Andita yang disebut Rahmah adalah istri Agung, yang dinikahi Agung setelah bercerai dari Nirmala. Mala terdiam, melirik sinis ke mamanya. Dia menyesalkan mamanya yang sepertinya lebih gampang luluh dengan Agung dibanding dengan dirinya. Dia “diabaikan” oleh kedua orangtuanya lebih dari sepuluh tahun, akibat mulut manis Agung. “Aku izinkan. Hanya semalam, dan tergantung Jeanny dan Wenny, apakah mereka mau….” Mala memilih mengalah saja. Dia tidak ingin berdebat panjang, juga tidak mau lagi mengingat masa lalunya yang menyedihkan. Lagi pula, tidak baik terlalu dendam. Rahmah menepuk-nepuk bahu Mala, berbicara pelan, “Kamu memang terbaik … wajar hidupmu selalu bahagia.” “Kamu tidak perlu bertemu Agung, Mala. Nanti biar Papa yang atur bagaimana Jeanny dan Wenny bertemu papa mereka dan menginap di rumah Pak Mardi.” Poernama ikut menenangkan perasaan Mala. *** Jeanny dan Wenny awalnya menolak, mereka mau saja bertemu Agung, tapi tidak mau menginap di rumah kakek dan nenek mereka. Dua kakak beradik itu sebelumnya pernah beberapa kali mengunjungi rumah kakek Mardi Wicaksono, tapi tidak sampai menginap. Namun, pada akhirnya mereka menurut, karena nenek Rahmah menasihati untuk tidak memusuhi papa kandung mereka. “Bukannya dulu nenek musuhi Mama sampai segitunya? Bertahun-tahun nggak teguran, sampe mau mutusin hubungan dengan Mama?” protes Wenny ke mamanya saat sedang bersiap-siap menginap. Dia yang paling mengingat masa-masa sulit mamanya beberapa tahun yang lalu. Meskipun dia sebelumnya sempat tidak menyukai mamanya karena keadaan mamanya yang tidak menguntungkan baginya, akan tetapi dia menyadari bahwa sikap dan sifat mamanya jauh lebih baik dibanding papanya. “Iya! Mama ingat nggak, ‘sih? Mama dihina-hina sama papa, terus Mama juga dimarahi kakek Poer dan nenek Rahmah, mereka bersumpah nggak mau liat Mama lagi? Ha? Aku nggak suka ini!” Jeanny ikut-ikutan protes dengan wajah yang lebih masam dari wajah kakaknya. “Sudah, jangan diingat-ingat masa lalu yang buruk. Nggak baik juga kalo kita bermusuhan terus-terusan,” ujar Mala. “Mama bodoh!” decak Jeanny. “Jeanny, nggak boleh bilang begitu sama Mama,” ujar Wenny mengingatkan. Nirmala tersenyum melihat kedua anaknya. Dia masih ingat keduanya yang dulunya selalu menunjukkan wajah kesal saat tinggal bersamanya di sebuah rumah kontrakan kecil dalam keadaan hidup pas-pasan. Tapi sekarang sikap mereka jauh lebih baik, terutama Wenny yang sangat dewasa. “Bagaimanapun, papa Agung adalah papa kalian. Kalo kalian menikah nanti, dia yang akan jadi wali nikah. Kalian berdua nggak bisa memusuhinya. Satu hal, sikap yang tidak baik dari papa jangan ditiru.” Jeanny dan Wenny saling pandang. Mereka masih muda dan tentu saja tidak berpikir jauh, pernikahan misalnya. “Aku ingin papi Demi yang jadi wali nikahku nanti,” gumam Jeanny. Nirmala tersenyum mendengar kata-kata Jeanny, dia adalah anak kesayangan Damian. Meskipun tinggal berpisah, Jeanny kerap menghubungi Damian sekadar mengabarkan keadaannya, dan Damian selalu tidak lupa membalasnya. Jeanny yang pertama kali Damian cari jika mengunjungi rumah kakek Poer. Wenny mengusap pundak adiknya. “Kita menginap semalam saja, Jean. Besok kita pulang ke sini.” “Iya, Jeanny. Besok mau Mama masakin apa?” tawar Nirmala, yang akhirnya lega. Jeanny mulai mau tersenyum, meskipun terlihat sangat berat dan kaku. “Aku mau Mama masakin soto Banjar.” “Kalo itu nenek Rahmah yang jago,” kilah Nirmala. Mamanya berasal dari tanah Banjar, dan pandai memasak. “Ya sudah, nanti suruh nenek Rahmah masakin aku soto Banjar.” Nirmala mencubit pipi Jeanny gemas, senang anak itu mau mendengarnya, meskipun wajahnya cemberut. “Mama benar, kita nggak boleh bermusuhan. Aku tahu Mama nggak bodoh waktu itu. Mama hanya nggak punya kesempatan dan kekuatan untuk melawan balik. Tapi akhirnya kesabaran Mama membuahkan hasil,” ujar Wenny tiba-tiba. “Dan sekarang, kita harus pandai, Jeanny. Karena kita banyak yang dukung. Ada Mama, kakek dan nenek, juga papi Demi. Jadi nggak ada yang bisa macem-macem sama kita.” Nirmala memandang kagum wajah anak sulungnya. “Kamu juga benar, Wenny. Kamu jaga adik ya?” ucap Nirmala penuh harap. “Aku juga jaga kakak, Ma,” tanggap Jeanny. “Iya, kalian saling jaga dan mengingatkan. Hm … kalo papa tanya-tanya jawab seadanya saja.” “Aku nggak polos, Ma,” ujar Wenny yakin. “Mama tahu, Wen. Kamu dan adikmu sama-sama hebat.” Nirmala mengakui kedua anaknya ini jauh lebih pintar darinya. Ibarat gabungan dirinya dan Agung, dia yang memiliki hati tulus tapi terlalu pengalah, dan Agung yang pintar mengambil kesempatan. Nirmala sangat bersyukur dan berharap tidak ada sifat buruk atau licik dari Agung yang turun ke Jeanny dan Wenny. Wenny menutup tasnya dan tas adiknya yang berisi beberapa helai pakaian, lalu memeluk mamanya erat-erat, diikuti adiknya. “Kalian nanti kalo ada apa-apa, ngomong ke bibi Laras saja.” “Iya, Ma.” Laras adalah adik Agung, yang cukup dekat dengan Nirmala. Dia kerap mengunjungi rumah pak Poer dan membantu Rahmah membersihkan rumah dan kebun selama Nirmala berada di Jakarta. Berbeda sikap dari kakaknya, Laras sangat pengalah dan penurut. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN