Bab 6. Lelah Damian

1158 Kata
“Iya. Ada jenis kayu baru untuk bahan mebel di pabrik. Mama berubah pikiran untuk mengganti jenis kayu yang biasa kita pakai ke jenis kayu yang baru. Lagi pula ada penebangan besar-besaran di wilayah sana, Mama berusaha menekan angka rendah untuk biaya produksi.” Alana tersenyum kecut, tapi kagum akan sepak terjang mamanya selama ini. Dia mengangguk mengerti, dan sepertinya dia akan baik-baik saja tanpa mama di sisinya. “Kamu ajak Fiza saja menginap di sini, atau … kamu mau menginap di rumah tante Yuni?” “Aku di sini saja. Ada Kang Dedek sama Mbak Upi.” Alana menyebut dua pegawai rumah mamanya yang akan menemaninya di saat mamanya pergi karena perjalanan bisnisnya. Tsamara mengusap-usap kepala Alana penuh kasih sayang, dan meninggalkan dapur. Alana lagi-lagi merasa galau, tapi beberapa saat saja, setelahnya dia memikirkan Damian. Kali ini dia sedang mengatur rencana bagaimana bisa dia bisa mendekati Damian. Dia pria beristri dan memiliki banyak anak, tentu tidak mudah mendekatinya. “Lebih baik aku kembali ke rencana awal, mengaku bahwa aku adalah anaknya yang terbuang, dengan begitu aku bisa dekat dengannya. Tapi—“ Alana malah khawatir justru Damian yang akan memecatnya dan melaporkan perbuatannya yang mengganggunya ke pihak kampus. Alana menghabiskan sarapan paginya, berpikir bahwa dia lebih baik tidak bertindak semberono, dan menunggu waktu yang tepat. Kemudian menghabiskan susunya, dan bangkit dari duduknya, lalu melangkah pergi dari ruang makan. *** Kepulangan Damian dari kantor disambut kedua anaknya, Alaric dan Amanda. Kedua anak itu berebut menceritakan pengalaman sekolah mereka hari ini sambil memeluk erat kaki kiri dan kanan Damian, sampai-sampai Damian kesusahan melangkah. Tapi hatinya senang dengan keceriaan dalam rumahnya. “Demi!” teriak Nirmala dari arah dapur, dia masih memakai celemek. Dia tampak cepat-cepat melepas celemeknya dan berlarian ke arah Damian, ikut pula memeluknya, dengan tidak lupa menghisap bibir Damian dan Damian membalasnya pula. “Aku jadi nggak lelah liat kalian bertiga.” Damian kembali mencium puncak kepala Nirmala dalam-dalam. “Aku juga, Papi!” Amanda ingin kepalanya dicium papinya. Damian tidak hanya memberinya ciuman di kepalanya, tapi juga memeluk lalu menggendongnya. “Mas Alaric ganggu kamu hari ini?” tanya Damian ke Amanda. “Nggak, Papi. Tadi Mas bantuin aku beresin mainan di kamar.” “Oh ya?” Damian lalu menurunkan tubuh kecil Amanda, beralih ke Alaric yang menatapnya dengan gaya soknya. “Haha. Mas yang baik. Sini, Anak laki-laki Papi yang gagah dan hebat ini!” Alaric memburu tubuh papinya dan dia sekarang yang digendong. “Sudah, Papi. Aku sudah besar. Sebentar saja digendongnya.” Alaric mendorong tubuh besar papinya, dan dia ingin turun dan kembali bermain dengan adiknya di ruang bermain. Terdengar suara ceria dari keduanya saat berjalan menuju ruang bermain. “Tumben akur,” ujar Damian yang kembali memeluk Nirmala. “Itu karena nggak ada Nevan. Kalo ada Nevan, Alaric pasti usilin Amanda karena dia cemburu sama Amanda yang hanya mau bermain sama Nevan.” “Bisa-bisanya begitu.” “Nggak percaya?” Damian mengangkat tubuh Nirmala sambil memeluknya. “Aku seharian di rumah, dan aku yang selalu mengamati keseharian mereka bertiga,” ucap Nirmala sembari memberikan tatapan mesranya ke Damian. “Aku percaya. Aku percaya kamu. Hanya kamu seorang.” Nirmala tertawa dengan kepala mendongak, suaminya bisa saja merayunya. “Kamu menginginkanku?” tanyanya dengan wajah menggoda, memegang dagu Damian yang mulai berjambang. “Kamu sendiri?” Mala tertawa lagi, lalu bergumam ragu. “Capek?” tanya Damian. Sambil mengangkat tubuh Nirmala, dia berjalan menuju ruang makan. “Kamu juga capek, Damian. Seharian bekerja,” ujar Nirmala. Damian sudah duduk di kursi makan, melihat beragam macam makanan yang sudah disiapkan. Selera makannya naik karena ada rendang, makanan kesukaannya. “Mau aku pijat?” tawar Nirmala sambil mempersiapkan makan untuk Damian. “Aku mau pijat di dalam kamar mandi, berendam bersamamu. Kamu juga pasti belum mandi sore ini.” Nirmala meletakkan piring berisi nasi dan lauk rendang serta lalapan di depan Damian, kemudian menuangkan air minum juga untuk Damian. Setelah itu, dia mengambil makanan untuknya. “No s*x. Aku janji,” ujar Damian karena Nirmala enggan memberi tanggapan. “Kalo itu aku nggak pernah percaya kamu.” Damian terkekeh dan dia mulai makan. Terdengar decakan nikmat setelah satu suap mendarat di dalam mulutnya. “Apa Nevan hubungi kamu?” tanya Damian. “Ya, pagi tadi.” “Apa dia ingin dijemput?” “Sepertinya belum. Dia nggak bilang mau pulang.” Damian berdecak kecil. “Pasti kerjaan papa Hanz, dia pandai sekali bujuk Nevan dengan uang.” “Nggak salah.” “Ya, memang. Mau bagaimana lagi. Nevan cucu kesayangan papa Hanz.” Damian dan Nirmala lalu melanjutkan makan sambil membahas keseharian mereka. Damian menceritakan kesibukan di kantornya, dan Nirmala menceritakan keseruan Alaric dan Amanda setelah pulang sekolah. Dua anak itu sangat ceria setelah pulang dari sekolah, terutama Amanda yang mendapatkan nilai terbaik di kelasnya. Setelah makan, seperti yang diinginkan Damian, Nirmala lalu mempersiapkan air hangat untuk berendam di dalam bath up. Setelah tak berbaju, keduanya berendam sambil berhadap-hadapan, dengan tubuh penuh busa. Damian menolak dipijat karena tahu Nirmala yang lelah seharian. “Aku ingin sekali pulang ke Pekalongan, jenguk papa,” ujar Nirmala dengan mata berkaca-kaca. Papanya sudah berusia senja dan sakit-sakitkan, untungnya ada dua anaknya yang tinggal bersamanya, juga mamanya yang masih cukup kuat mengurus papanya. “Kasihan Jeanny dan Wenny,” gumam Damian. “Aku sebenarnya ingin mereka ikut kita.” “Tapi itu pilihan mereka, Demi. Lagi pula mereka senang dan baik-baik saja. Hanya saja ….” Nirmala tidak melanjutkan kata-katanya. “Ya?” “Agung pulang ke Pekalongan, dan berencana akan tinggal di sana.” Damian menarik napasnya dalam-dalam, dan menghempasnya perlahan. “Apa yang kamu takutkan?” “Tentu saja aku khawatir, dia bermulut manis, khawatir anak-anakku kembali terbujuk.” “Kita buktikan saja, seberapa manis mulut Agung dibanding mulutku.” Damian mulai tampak frustrasi. Dia selalu jengah jika membahas Agung, mantan suami Mala. “Maaf, Demi. Bukan maksduku—“ “Ya, aku tahu. Dia memang ditakdirkan untuk selalu mengganggu. Akh, seharusnya aku menuruti kata-kata mertuanya, untuk lebih lama memenjarakannya.” Nirmala jadi menyesal membahas mantan suaminya di tengah dirinya sedang bermesraan dengan suaminya. Dia jadi benar-benar merasa bersalah. Damian menatap Mala dengan perasaan sesal dan juga sedih, teringat masa-masa sulit Nirmala. “Sini, Sayang. Dekat denganku.” Mala yang galau mendekati Damian dan duduk di atas pangkuan Damian, dan Damian memeluknya erat-erat. “Aku yakin kedua anakmu sama sepertimu. Mereka bukan anak-anak yang mau saja di bodoh-bodohi. Mereka pasti tidak akan mau mengulang kesalahan, hanya orang bodoh yang mau melakukan kesalahan berulang, dan orang-orang bodoh itu bukan Jeanny dan Wenny. Yakinlah.” Sambil memeluk tubuh polos Mala, Damian berbisik, “Aku … memang tidak bisa dipercaya soal itu, Mala. Dia tegang, apa bisa kamu menenangkannya?” Nirmala tergelak dan menggeleng. “Dengan apa?” tanyanya dengan nada suara merengek manja. “Dengan milikmu … yang licin dan lembab.” “Tapi dia belum basah dan licin.” “Mau aku buat licin?” Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN