Ditinggalkan

1054 Kata
'Karena memang siklus hidup akan seperti itu ada yang pergi, ada juga yang datang entah itu untuk singgah atau malah menetap.' My Halal Badboy ~Thierogiara *** Saat sampai di rumah sakit Ulya langsung berlari menuju ruang UGD, banyak tenaga medis yang tampak berlarian ke sana kemari. Tepat saat kaki Ulya menginjakkan lantai di depan ruang UGD, brankar dengan seorang manusia tertutup kain putih dikeluarkan dari dalam ruangan. Seketika tubuh Ulya merasa lemas, dunianya seolah berhenti, dia tak ingin berpikir negatif, namun dia juga sulit untuk berpikir positif. Zayn menghentikan perawat yang mendorong brankar berisi jasad itu, dia kemudian membuka kain putih dan Ulya semakin merasa seperti tertimpa batu besar. Yang Zayn buka adalah jasad ayahnya. "Ayaaaah!!" teriak Ulya sekencang yang ia bisa. Perawat juga mengonfirmasi kalau itu adalah jasad dari korban kecelakaan beberapa menit lalu. Ibu Ulya juga dinyatakan meninggal karena setelah jasad ayahnya, satu berankar lagi juga dibawa ke luar. Zayn hanya menunduk, dia juga tak tahu harus berbuat apa, karena dia tak mengenal Ulya juga tak tahu harus melakukan apa. Dia tak tahu sikap seperti apa yang harus ditampilkan saat seseorang mengalami kejadian seperti ini. Wajah kedua orang tua Ulya tampak masih baik, mungkin memang sudah ajalnya. Ulya menangis meraung-raung sambil menggeleng, dia tak percaya dengan apa yang dilihatnya, dia sama sekali tak menyangka kalau orang tuanya akan meninggalkannya secepat ini. Ulya menangkup wajahnya dengan telapak tangan. Dia tak percaya dengan apa yang terjadi, pokoknya tidak percaya! Zayn duduk untuk membantu Ulya bangkit dari posisi bersimpuhnya. "Benar itu orang tua lo?" tanya Zayn. "Nggaakkkk!!" Dan Ulya menolak apa pun fakta yang sebenarnya harus ia dengar. Zayn mengelus bahu Ulya, dia tak mengenal gadis di sebelahnya ini, namun jujur saja sebagai laki-laki dia juga tak tega ketika mendapati seorang gadis menangis. Apalagi sekarang jasad kedua orang tua gadis itu ada di hadapan mereka. "Yang sabar." Zayan tak tak biasa bermanis-manis ria dengan orang lain, terlebih yang tak ia kenal jadi harus sedikit menurunkan gengsinya. Laki-laki dengan penampilan badboy tersebut memeluk tubuh Ulya berusaha menenangkan gadis itu. "Gue yakin lo pasti kuat," ujar Zayn. Dia tak ahli dalam menghibur orang lain, namun rasanya cukuplah perlakuannya saat ini untuk gadis yang tak dikenalnya ini. Sementara Ulya karena pelukan Zayn terlalu nyaman dan karena memang dia butuh itu jadi dia sama sekali tak menolak, atau minimal mendorong tubuh Zayn menjauh darinya karena mereka bukan mahram. "Silakan selesaikan administrasinya." Seorang perawat menghampiri mereka berdua, Zayn mengangguk. Dia kemudian berjalan menuju meja resepsionist namun Zayn malah bertemu dengan kedua orang tuanya sendiri. "Ngapain?" tanya Zayn. "Teman mama sama papa kecelakaan," ungkap Annita—mama Zayn. "Siapa namanya?" tanya Zayn. "Mitha dan Abri," jawab Annita. "Ikut aku," ujar Zayn, dia sempat membaca ktp kedua orang tua gadis yang bersamanya tadi. Sama seperti gadis itu, mamanya juga langsung lemas saat melihat dua berankar sudah tertutup kain putih dengan seorang gadis menangis di hadapan keduanya. Selain itu beberapa polisi juga masih berada di sana. Dan sekarang Zayn semakin bingung, ada dua perempuan yang menangis-nangis di sana. Ponselnya berdering nama Rayn terpampang di sana. "Lo di mana?" tanya Rayn begitu Zayn mengangkat panggilan. "Di rumah sakit, cepet lo ke sini mama sama nggak tau nih siapa pada nangis-nangis," ujar Zayn malas, inilah kenapa dia sangat malas berurusan dengan wanita, cengeng. Rayn juga langsung panik dan langsung berangkat ke rumah sakit dengan mobilnya, kalau sudah berurusan dengan rumah sakit artinya ada yang sakit kan? Rayn sampai sekitar sepuluh menit kemudian, dia bisa melihat Zayn terduduk santai di kursi tunggu sementara dua orang wanita sedang menangis tak jauh darinya. Akhirnya Rayn yang mengurus semuanya, kepulangan jenazah juga mengurus administrasi dan dua perempuan yang masih saja menangis. *** Dua jenazah dibawa ke rumah duka, Rayn dan Zayn baru tahu kalau orang tua Ulya adalah sahabat baik kedua orang tua mereka. Sementara itu Zayn juga tak menyangka kalau Rayn ternyata mengenal gadis asing yang tadi meminta dibonceng olehnya. "Mungkin dia ngira lo gue," kata Rayn. Zayn mengedikkan bahu, ya mungkin saja. Rumah itu tampak sangat berkabung, tak ada cahaya dan keceriaan, Zayn dan Rayn tak diizinkan pulang karena menurut mamanya mereka harus menemani Ulya. Ulya sudah tak menangis, namun penampilannya yang berantakan serta tatapan kosongnya mampu membuat siapa saja menebak sedalam apa luka yang sedang gadis itu alami. Rayn ikut terluka melihat wajah gadis yang biasanya selalu terlihat ceria itu menjadi muram. Zayn sendiri memilih tak ambil pusing, toh selama ini dia juga tak mengenal Ulya, maupun kedua orang tuanya. Pernah dulu bertemu tapi sudah lama sekali. Semua orang berdoa untuk dua orang yang sudah tak bernyawa tersebut, Zayn hanya menatap dan memperhatikan ekspresi masing-masing orang. Di keluarganya belum pernah merasakan kehilangan sebelumnya, Zayn jadi paham ternyata seperti ini suasana rumah duka. Gadis bernama Ulya itu masih tampak linglung. Zayn mendekat ke mamanya kemudian memeluk tubuh mamanya itu karena mamanya juga tampak sangat terpukul. Entahlah bagaimana pertemanan yang kedua orang tuanya jalani dengan dua orang itu, yang pasti Zayn bisa merasakan kalau mamanya benar-benar merasa kehilangan. Rayn sendiri beberapa kali menepuk bahu Ulya, sesekali mengajak gadis itu berbicara agar tak terus merenung. "Aku nggak bisa kak," kata Ulya menatap Rayn. "Bisa, kamu bisa!" ujar Rayn menguatkan. "Aku nggak bisa hidup sendirian!" ungkap Ulya dan ya air matanya kembali berjatuhan, gadis itu kembali menangis, kini dia memegangi dadanya, mungkin merasa sesak sebab air matanya sudah hampir mengering. "Kamu nggak sendirian," ujar Rayn. Zayn hanya menatap interaksi dua orang di hadapannya, jujur saja setelah tahu kalau Ulya ternyata anak tunggal Zayn agak prihatin, dia juga jadi memikirkan bagaimana kehidupan gadis itu kedepannya. Ulya menggeleng, hanya dia yang bisa merasakan dukanya, hanya dia yang mengerti rasa sakitnya. Setelah ini dia benar-benar akan sendirian di dunia ini, setelah ini dia akan menghadapi semuanya sendirian. Ulya tak pernah bisa membayangkan dirinya tanpa kedua orang tua, yang tergambar di kepala Ulya hanya sebuah kehancuran. Dia rapuh dan bukan apa-apa tanpa kedua orang tuanya. "Kamu lebih kuat dari apa yang kamu pikir Ul," ujar Rayn seolah bisa membaca pikiran Ulya. Ulya menggeleng, berbicara selalu lebih mudah dari menjalaninya, semua ini berat untuknya, semua kenyataan ini sulit untuk ia terima. Kekuatannya telah pergi, maka Ulya tak yakin kalau dia bisa melalui ini semua sendirian, dia bukan gadis kuat sejak awal dan kejadian ini semakin membuatnya rapuh. Tangisannya yang menggema ke seluruh penjuru ruangan membuat hati siapa saja yang berada di sana ikut tersayat. ***          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN