Perjodohan

1161 Kata
'Aku percaya bahwa yang baik untukku Allah tidak akan mungkin menjadikannya milik orang lain, begitu pula sebaliknya. Kamu mungkin adalah yang terbaik untuk orang lain.' My Halal Badboy ~Thierogiara *** Tujuh hari berlalu, hari ini di kediaman keluarga Ulya diadakan syukuran untuk mendoakan kedua orang tua Ulya yang meninggal. Ulya sudah tak terus-terusan menangis, namun karena setiap sudut rumah memiliki kenangan dengan kedua orang tuanya tentu saja sampai saat ini dia masih belum bisa melupakan. Mama Zayn dan Rayn di sana menemani Ulya dalam mempersiapkan acara, meski memiliki beberapa orang tante dan om Ulya malah lebih dekat dengan Annita dan mendiskusikan berbagai hal dengan wanita itu. "Mama nggak capek?" tanya Ulya, Annita sendiri yang meminta Ulya untuk memanggilnya mama, karena terus dipaksa maka kini Ulya jadi terbiasa memanggilnya dengan sebutan mama. "Nggak kok sayang," ujar Annita kemudian berjalan mengangkut makanan yang akan dibagikan ke depan, ke ruangan di rumah itu yang akan dijadikan tempat pengajian. Ulya dengan beberapa orang Tantenya juga membawa makanan-makanan itu ke depan. "Ulya kalau butuh apa-apa boleh loh bilang sama Tante, jangan dipendem sendiri semuanya ya sayang," pesan tante Santi—adik ibu Ulya. Ulya hanya mengangguk karena selama inipun mereka tidak dekat, dia tetap akan menyimpan semua masalahnya sendirian karena Ulya memang bukan tipe yang terbuka, apalagi dengan orang yang tidak dekat dengannya. Semua syukuran hari ini bahkan yang membiayai adalah Annita, Ulya mengatakan bahwa tabungan kedua orang tuanya juga masih banyak di tangannya, namun Annita berdalih bahwa dia hanya ingin menyenangkan kedua orang tua Ulya dengan sedikit hal yang ia lakukan hari ini. Semua orang bersiap, Ulya memakai baju rapi kemudian menyambut para tamu yang hari ini akan melakukan pengajian. Pengajian berlangsung khidmat, Ulya menangis saat melihat foto kedua orang tuanya terpampang di buku yasin. Gadis itu sesekali menghapus ujung matanya, dia harus bisa kuat demi dirinya sendiri dan kedua orang tuanya. Semua ibu-ibu yang ikut mengaji memeluk tubuh Ulya saat pamit pulang, mereka juga membisikkan kata-kata sebagai menguat agar Ulya tabah menjalani semuanya, hidup tanpa orang tua mungkin tak mudah, namun hidup tetap harus berjalan bukan? Ulya juga sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tak menangis karena alasan orang tuanya, dia hanya harus bahagia dengan alasan kedua orang tuanya. *** Zayn masih asik bermain game di ponselnya bersama teman-teman satu gengnya yang lain, cowok-cowok itu asik saling mengumpat atau bahkan mendorong tubuh salah seorang teman ketika tak berhasil membunuh musuh. "Anjing!" Dan u*****n itu keluar dari mulut Zayn saat sebuah panggilan masuk ke ponselnya. "Hallo Ma." Berhubung itu dari mamanya, maka mau tak mau Zayn harus mengangkat panggilan dan rela mati di dalam game. "Kamu di mana?" tanya Annita. "Main," jawan Zayn malas-masalan. "Bisa ke rumah Ulya sekarang?" tanya Annita. "Ada yang mau dibahas." "Ck." Cewek itu lagi, cewek itu lagi, Zayn sampai heran kenapa keluarganya sebegitunya mengurusi soal Ulya. "Apa lagi sih Ma?" tanya Zayn. "Pokoknya kamu ke sini aja kalau nggak mau motornya mama jual." Annita yakin kalau tanpa ancaman seperti ini Zayn tak akan datang, anak itu lumayan bandal sangat berbeda dengan Rayn yang semua-semuanya nurut. Zayn menghela napas, iya kelemahannya adalah barang-barang pemberian orang tuanya, dia yakin kalau dia tak bisa hidup dengan segala kemewahan yang ada. "Oke, Zayn ke sana sekarang." Ya apalagi? Dia memang hanya memiliki satu pilihan yaitu mengalah. "Mama tunggu," kemudian Annita mematikan sambungan secara sepihak. Zayn langsung disoraki setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku, selain karena dia keluar dari game padahal permainan sedang berlangsung juga karena yang menelepon adalah mamanya. "Tattoan doang, sama emak takut." "b*****t lo!" Zayn meninju perut Timot, lagipula tattonya tak sesangar itu hingga harus membuatnya melawan orang tua. Zayn hanya punya satu tattoo bergambar ular di pergelangan tangannya. Dia tak berani menatto tubuhnya lagi setelah mamanya menangis waktu itu karena Zayn menatto tubuhnya diam-diam. Mungkin nanti ketika Zayn sudah memiliki uang sendiri dan bisa keluar dari rumah kedua orang tuanya dia bisa sesuka hati dengan tubuhnya. "Gue cabut dulu!" pamit Zayn. "Hati-hati!" pesan Kenzo—salah satu teman Zayn. "Biarin aja meninggal, nggak ada gunanya juga tuh orang hidup!" timpal Bram seenak jidat. Zayn hanya berdecih sebelum raungan motornya memekakkan telinga siapa pun yang berada di sana. Hanya butuh sepuluh menit untuk Zayn sampai di rumah Ulya. Dia langsung berjalan masuk karena yakin seratus persen kalau kedua orang tuanya pasti sudah ada di dalam. Dan Zayn malah dikejutkan dengan ruang makan di rumah Ulya yang sudah ramai, mungkin orang-orang hanya tinggal menunggu dirinya. "Sorry," ucap Zayn meletakkan helm ke samping pintu kemudian berjalan ke satu-satunya kursi kosong yang ada di meja makan. Briawan berdeham, sebagai laki-laki paling tua dan paling tahu apa amanat yang sahabatnya tinggalkan maka dia yang akan menyampaikannya. "Ini adalah pesan penting untuk Ulya dan Zayn," ujar Briawan sebagai pembukaan. Ulya menoleh untuk menatap Zayn, namun ternyata wajah cowok itu tetap datar. Ada apa? Mereka bahkan tak pernah saling sapa sebelumnya, kenapa ada pesan untuk mereka berdua? "Jadi kakek kalian bersahabat, dulu mereka pernah membuat perjanjian untuk menikahkan anak pertama mereka, namun ternyata yang lahir adalah papa dan ayah Ulya, kami sama-sama laki-laki maka daripada menjodohkan mereka hanya membuat nama kami mirip, saya Briawan dan ayah Ulya Abriawan," jelas Briawan. Ulya sudah memiliki perasaan yang tak enak sementara Zayn stay cool di tempatnya seolah semua yang terjadi bukan urusannya. "Kalian boleh baca surat ini." Briawan menyerahkannya ke Ulya dan benar itu adalah surat perjanjian antara kakeknya dengan kakek Zayn dan Rayn, bahkan ada tanda tangannya. Ulya mengangguk. "Nah karena kami terlahir sama-sama laki-laki, maka mereka membuat kami bersahabat dan papa juga pernah iseng mengatakan ingin menjodohkan anak pertama papa dengan anak pertama Abri dan anak pertama kami adalah kalian, selain keinginan kami ini juga keinginan kakek kalian. Saat ini Ulya sudah tidak ada ayah dan ibu, jadi sepertinya ini adalah saat yang tepat untuk kalian menikah." Ulya langsung membelalakkan matanya begitu Briawan menyelesaikan kalimatnya. "Tapi Ulya masih kuliah Pa," ujar Ulya, bagaimanapun dia masih ingin melanjutkan pendidikkannya, menikah muda apalagi dalam usia semuda ini sama sekali tak ada dalam kamus hidup Ulya. "Nggak masalah karena Zayn juga masih kuliah." Mungkin kalau itu Rayn Ulya tak akan mempertimbangkan karena sudah jelas Rayn baik, tapi Zayn, bahkan tindik di telinga kanan Zayn membuatnya yakin kalau laki-laki itu tak tertarik dengan gadis sepertinya. "Lagian Ulya mau tinggal sama siapa? Nggak mungkin juga tinggal sama para sepupu tanpa ikatan kan? Sama Mama Annita juga nggak mungkin kecuali ya nikah sama anaknya," jelas Santi. Ulya menggigit bibir bagian dalamnya. "Ulya bisa tinggal sendirian," kata Ulya, toh dia hanya perlu menjalani hidup sebagaimana mestinya kan? Semua orang dewasa di sana menggeleng. "Dan kami tak akan tega melihat kamu tinggal sendirian," ujar tante Ulya yang lainnya. "Om juga setuju karena kamu adalah amanah ayahmu dan ini adalah yang terbaik untuk kamu." Om Ulya pun angkat bicara. Mereka bukan tak sayang Ulya, ini lebih ke mereka juga menjada Ulya pasti tak nyaman tinggal dengan mereka yang punya anak laki-laki yang bukan mahram Ulya. Semua keluarga setuju dan Ulya sudah tak memiliki pilihan lain. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN