“Ikuti wanita yang baru saja keluar dari hotel. Wanita berblazer abu-abu, dengan seorang asisten di belakangnya. Jangan sampai mereka curiga. Laporkan hasil pengamatanmu nanti.”
Bastian langsung mematikan sambungan ponselnya. Lelaki itu tersenyum miring, dia tidak akan membiarkan wanita yang berhasil merebut perhatiannya itu lolos begitu saja. Bagaimana pun caranya, dia harus bisa mendapatkan wanita incarannya itu.
Dengan langkah lebar, dia memasuki lobi hotel. Seorang lelaki seusianya tampak melambaikan tangan sebagai tanda di mana dia berada. Bastian pun mendatangi tempat di mana rekan bisnisnya itu berada.
“Selamat datang kembali, Bastian! Sudah lama aku menunggu kamu kembali ke Indonesia, akhirnya kamu memutuskan keluar dari persembunyian juga,” ucap lelaki itu sambil menyalami Bastian akrab.
“Aku sudah bosan di sana, butuh suasana baru, Gas. Barusan aku ketemu sama cewek cantik, kayaknya dia bakalan bikin aku makin betah di sini.” Bastian berucap sambil mengenang pertemuannya dengan Zevannya beberapa saat yang lalu.
“Kamu kalau soal perempuan selalu gerak cepat ya, Bas. Baru saja sampai, kamu sudah mendapatkan mangsa baru. Ketahuan sama pacar-pacar kamu yang lain baru tahu rasa,”
“Dari awal aku sudah bilang sama mereka, hubungan kami hanya sekedar untuk bersenang-senang. Jadi mereka tidak akan bisa menuntut apapun dariku. Lagipula aku tidak mungkin serius dengan wanita yang tidak memiliki daya Tarik. Mereka hanya pelampiasan saat hasratku meledak-ledak.” Tawa Bastian terdengar begitu renyah. Seakan tidak ada beban dari setiap kalimat yang terdengar dari bibir lelaki itu.
“Wah, gila kamu, Bas. Bisa-bisanya kamu sebebas itu di sana. Memangnya kalau di Indonesia kamu masih berani jadi tukang celup begitu? Soalnya pola pikir wanita di sini beda sama di negaramu sana. Mereka banyak tuntutan.”
“Itu urusan gampang. Mereka bisa apa kalau sudah berhadapan denganku? Tapi … sepertinya aku tidak tertarik bermain-main, aku mau fokus mengejar targetku. Asal bisa mendapatkannya, aku akan berhenti menjadi lelaki berengsek.”
“Yakin? Entah mengapa aku yang tidak yakin dengan ucapanmu itu,” sahut Bagas sambil terkekeh.
“Kita lihat saja nanti. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan lokasi yang aku minta, Gas? Aku butuh cepat untuk kantor sementaraku di sini. Nanti aku akan cari tempat strategis untuk membangun gedung kantorku sendiri.”
“Soal itu, beres Bas. Aku sudah nemu tempat yang cocok untuk kamu tempati sementara waktu. Aku yakin kamu akan menyukai tempat ini.”
“Coba aku lihat, kamu ada fotonya?”
“Ada, sebentar.”
Bagas mencari foto bangunan yang akan disewa oleh Bastian di laptopnya. Setelah berhasil menemukannya, dia segera menunjukkan foto itu pada sang sahabat. Saat pertama kali melihatnya, Bastian tampak langsung tertarik.
“Oke, nih. Aku ambil, deh. Bisa antar aku ke sana nanti?”
“Bisa-bisa. Nanti aku ajak kamu ketemu langsung sama pemilik rukonya.”
“Bagus, deh. Sekarang akum au check-in dulu. Habis perjalanan panjang, butuh istirahat.”
“Kirain kamu mau ngecas dulu,” ledek Bagas sambil tertawa.
“Ngecas sama siapa? Tau sendiri aku baru saja sampai.
“Sama demit hotel juga nggak apa-apa, Bas.”
***
“Bu Bos,” panggil Nasya.
Dia dan Zevannya masih ada di dalam mobil, mereka berniat kembali ke perusahaan setelah urusan dengan klien selesai.
“Ada apa?” sahut Zevannya yang tampak fokus dengan layar ponselnya.
“Laki-laki yang tadi nabrak ibu kayaknya tertarik sama ibu, deh.”
“Halah, kebiasaan. Setia pada laki-laki yang bertemu dengan saya selalu kamu bilang begitu. Mana mungkin dia tertarik sama saya, kami saja baru bertemu. Jangan ngaco kamu,” sahut Zevannya yang tidak mengalihkan perhatiannya sedikit pun.
“Tapi serius, Bu. Tatapan matanya begitu dalam. Sampai tadi dia tidak berkedip beberapa saat.”
Nasya yang sempat mengamati tingkah Bastian beberapa saat yang lalu bisa menangkap gelagat lelaki itu. Dia tahu pasti kalau lelaki yang tadi tidak sengaja menabrak bosnya itu memiliki ketertarikan khusus.
“Biar sajalah, namanya juga punya mata. Dia mungkin hanya terpesona sesaat dengan saya, atau dia memang lelaki mata keranjang. Kita tidak tahu tentang dia, kan?” sanggah Zevannya yang kalimatnya memang masuk akal.
Dia sudah tidak heran lagi dengan bagaimana cara lelaki menatapnya. Terkadang dia merasa risih, dan memutuskan untuk bersikap solah tidak tahu. Lagipula, untuk sekarang dia tetap pada pendiriannya. Fokusnya hanya untuk bekerja. Selain itu, dia masih tidak bisa menggantikan posisi Adrian di hatinya dengan siapapun. Apalagi hanya sekedar lelaki yang ditemuinya sekilas.
“Benar juga sih, Bu Bos. Tapi entah kenapa saya lebih mendukung kalau Bu Bos balikan sama pak Adrian. Rasanya pas sekali, Bu Bos yang cantik, memiliki suami seperti pak Adrian yang tampan. Kalian pasti akan menjadi pasangan paling serasi nantinya,” ucap Zevannya dengan wajah yang ceria. Dia justru sibuk membayangkan seandainya Zevannya kembali pada Adrian.
“Masalahnya, kemungkinan saya kembali dengan Adrian itu sangat tipis sekali, Nasya. Bahkan ada kemungkinan kami tidak akan pernah bertemu lagi.”
“Percayalah, Bu Bos. Takdir akan selalu membawa kita ke tempat di mana seharusnya. Saya yakin, Bu Bos, dan pak Adrian pasti akan bertemu lagi.”
“Ya, semoga saja.” Zevannya menanggapi kalimat harapan Nasya dengan asal.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Zevannya memang ingin bertemu kembali dengan Adrian, tetapi mengingat apa yang sudah dilakukannya malam itu di atas ranjang Adrian membuat Zevannya begidik ngeri. Seakan dia tidak memiliki muka lagi untuk berhadapan dengan sang mantan suami.
“Bu Bos, Gimana kalau kita liburan akhir pekan? Kita berkunjung ke kebun teh keluarga saya. Di sana nanti Bu Bos bisa merelaksasikan diri. Siapa tahu setelah pulang dari sana Bu Bos berubah pikiran lalu mau memberi kesempatan pada pak Adrian untuk kembali.”
Zevannya mendesah pelan. Dia terus saja dicekoki dengan nama Adrian. Setiap kali membahas sesuatu, asistennya itu selalu menghubungkannya dengan Adrian. Seakan Adrian sudah menjadi topik pembicaraan mereka di setiap kesempatan.
“Untuk usulan liburan kamu, itu oke. Saya setuju, Nasya. Saya cukup penat dengan semua pekerjaan, dan juga masalah yang harus saya hadapi. Soal Adrian, kamu tidak usah berharap banyak. Karena kisah masa lalu saya dengan Adrian sangat rumit. Kamu tidak akan bisa memahami kerumitan kami.”
“Baiklah, tidak masalah, Bu Bos. Terpenting kita bisa liburan bersama, soal masalah pak Adrian, itu urusan nanti.”
Mendadak saja, Nasya memiliki ide untuk membantu Adrian untuk kembali dekat dengan Zevannya. Walaupun bosnya itu mengatakan kalau antara dia dan Adrian kemungkinannya tipis, Nasya memiliki keyakinan lain. Diab isa melihat dari sorot mata Adrian, kalau mantan suami bosnya itu masih memiliki rasa cinta yang begitu besar.
“Kamu ini, tidak ada lelahnya kalau bahas Adrian. Padahal kamu baru sekali bertemu dengan dia. Bagaimana kalau kamu saja yang saya jodohkan dengan Adrian?”
“Jangan Bu Bos. Nanti kalau saya seriusin, Bu Bos bakalan cemburu sama saya, terus kita nggak bisa temenan lagi.”