Zevannya bangun pagi-pagi sekali. Dia sengaja melakukan itu supaya bisa menyaksikan matahari terbit dari perbukitan. Dia mengikat rambutnya ekor kuda, dan bersiap seperlunya. Dengan kamera yang menggantung di leher, wanita itu berjalan santai menuju ke luar rumah.
Saat tiba di depan pintu villa, Zevannya sempat meregangkan tubuhnya agar lebih segar. Udara pagi yang beraromakan teh bercampur embun menyapa indra penciumannya. Udara dingin pun seakan menyambut pagi Zevannya. Dia menghidupkan kamera, siap untuk mendapatkan gambar-gambar indah pagi itu.
Semenjak fokus dengan pekerjaan, Zevannya tidak pernah lagi melakukan pemburuan pemandangan. Walaupun begitu, dia tidak pernah mengabaikan kamera kesayangannya itu. Setiap hari, dia meluangkan sedikit waktunya untuk sekedar mengelap debu-debu yang menempel di sana.
Zevannya tidak mengenakan jaket. Dia hanya memakai baju hangat yang tidak terlalu melindunginya dari dingin. Bawahan Zevannya celana jeans biru, dengan sepatu kets putih. Dia sengaja memilih pakaian itu supaya memudahkan pergerakannya. Daripada kesehariannya selalu memakai blazer, dan rok span.
Wanita itu mulai mengarahkan kameranya. Dia mendapatkan view perbukitan dengan matahari yang mengintip. Senyum puas terlihat di wajah Zevannya saat melihat hasil fotonya. Rasa bahagia menyelimuti hatinya. Setelah lama tidak melakukan hobinya, sekarang dia memiliki waktu untuk itu.
Tiba-tiba ingatan Zevannya tertuju pada kenangan masalalunya bersama Adrian. Di saat dia sedang mengambil gambar seperti sekarang, biasanya lelaki itu akan memeluknya hangat dari arah belakang. Saat dia mendapatkan hasil foto yang sesuai, Adrian selalu memberikan pujian. Tebakan semua orang benar, lelaki itulah yang membelikan kamera, kamera yang bahkan sampai saat ini masih terawat di tangan Zevannya. Sama seperti rasa cinta wanita itu yang masih terjaga sampai sekarang.
“Kira-kira, kalau kamu lihat hasil pemotretanku pagi ini, apa kamu masih akan memberikan pujian manismu untuk foto yang aku hasilkan, Adrian? Seandainya Kamu tahu, aku bersembunyi dibalik topeng gengsiku untuk mengakui kalau aku masih sangat mencintaimu.”
Wanita itu tidak menyadari, kalau ada seseorang yang mengamatinya sambil tersenyum. Ya, dia Adrian. Seseorang yang baru saja dia pikirkan. Lelaki itu mengagumi kecantikan alami mantan istrinya pagi ini. Setelah sepuluh tahun berlalu, kecantikan Zevannya tidak berubah di mata Adrian. Di matanya, hanya wanita itu yang mampu membuatnya terpana.
Zevannya melanjutkan langkahnya. Dia berjalan semakin jauh dari villa. Wanita itu fokus mencari angle foto yang menarik. Tentu saja Zevannya tidak sadar kalau dirinya semaakin jauh melangkah. Rasa bahagia membuatnya tidak menyadari itu. Rencananya, hasil pemotretannya itu akan dia cetak, dan dimasukkan ke dalam album pribadinya yang sudah lama tidak ditambahkan isi.
Saat sedang asyik menikmati apa yang dilakukannya, mendadak kejadian tak terduga terjadi. Zevannya terperosokke dalam jurang yang lumayan curam. Wanita itu mendekap erat kamera yang dibawanya, dan membiarkan tubuhnya tergores tumbuhan liar yang terlewati olehnya saat terguling.
“Akh! S-sakit banget,” keluh Zevannya saat dirinya sudah sampai di dasar jurang. Memang tidak terlalu tinggi, hanya sekitar lima meter saja, tetapi wanita itu yakin kalau dia tidak akan bisa menggapai permukaan dengan mudah.
“Kamera aku nggak rusak, kan?” Zevannya panik, dia langsung memeriksa kamera yang masih didekapnya itu dengan seksama. Wanita itu bernapas lega saat mendapati kameranya baik-baik saja.
Dia mencoba mengulurkan satu tangannya untuk meraih tanaman yang bisa untuk dia jadikan alat bantu berdiri. Hingga akhirnya dia berhasil menggapai akar pohon. Zevannya mencoba untuk berdiri, tetapi rasa sakit yang teramat sangat menjalari kedua kakinya. Wanita itu pun kembali terjatuh.
“Kalau aku tidak bisa jalan untuk kembali ke atas, akan sampai kapan aku terjebak di sini?”
Zevannya memperhatikan sekitarnya. Di sana hanya ada semak belukar. Tidak menutup kemungkinan, kalau dirinya akan bertemu dengan binatang buas.
“Aku harus bisa keluar dari jurang ini. Satu-satunya cara hanya mencari bantuan. Duh, aku lupa … ponselku masih ada di atas meja. Apa aku coba untuk teriak?”
“Tolong! Toloong! Siapapun, tolong saya!” Zevannya berteriak sekuat tenaga. Saat dia melakukan itu, dia mendengar ada suara berisik dari arah semak-semak. Rimbunan pepohonan kecil bergerak, seolah ada yang tengah berjalan ke arahnya dengan langkah tergesa.
“Ja-jangan-jangan itu beruang? Atau … harimau? Aku harus mencari sesuatu untuk melindungi diri.” Zevannya mengedarkan pandangannya. Dia mencari benda apapun untuk berjaga-jaga.
Sesuatu yang besar memang benar mengarah padanya. Zevannya sudah menyiapkan kuda-kuda. Dia akan memukul apapun yang nanti muncul di hadapannya.
Wanita itu berteriak, memejamkan mata, sambil mengayunkan kayu rapuh yang ada di tangannya. Zevannya sudah pasrah, kalau seandainya binatang buas itu akan menyerangnya yang tidak bisa berdiri. Dia bertahan dengan mengumpulkan segenap keberanian yang dia miliki.
“Zevannya! Ini saya. Jangan takut,” ucap seseorang itu saat beraada di hadapannya sambil menangkis serangan kayu yang Zeva ayunkan.
“Adrian? Ka-kamu kenapa ada di sini?” tanyanya kemudian seraya membuang sisa kayu rapuh yang sebagiannya sudah patah akibat tangkisan dari Adrian tadi.
“Itu tidak penting. Sekarang lebih baik kita segera keluar dari sini. Lihatlah, langit mendadak mendung. Kalau sampai turun hujan, bahaya buat kamu, Ze.”
“Nggak usah bantu aku. Aku bisa keluar sendiri dari sini,” tolak Zevannya. Walaupun dia sendiri meragukan ucapannya. Kedua kaki miliknya terkilir. Bahkan untuk berdiri saja dia tidak sanggup. Lalu bagaimana caranya Zevannya bisa sampai ke permukaan jurang itu?
“Zevannya, apapun yang kamu pikirkan tentang aku, tolong lupakan sebentar saja. Kita harus keluar dari sini secepatnya.”
Zevannya mendongak ke atas, dan apa yang dikatakan oleh Adrian ada benarnya. Cuaca cerah yang tadi ada sekarang menghilang, berganti dengan awan abu-abu, dan udara yang menjadi lebih dingin.
“Tapi kamu nggak akan ngapa-ngapain aku, kan? Ingat ya Adrian, aku akan laporin kamu ke polisi kalau sampai kamu melecehkan aku lagi,” ancam Zevannya dengan tatapan waspada.
“Iya, terserah kamu. Sekarang ayo naik, biar aku gendong kamu sampai ke atas.” Adrian berjongkok, dia bermaksud untuk menggendong Zevannya di punggungnya.
“Sebenarnya … aku nggak bisa berdiri,” ucap Zevannya sambil membuang muka.
Adrian menghela napas. Sejak dulu Zevannya memang selalu begini. Dia selalu saja bersembunyi di balik rasa gengsinya dalam segala hal.
“Bilang dari tadi, Ze.” Adrian pun mengalah, dia berbalik, mendekat ke arah Zevannya, dan mengangkat tubuh mungil itu dengan kedua tangannya.
“Pegangan.” Lelaki itu memperingatkan sebelum mereka meninggalkan tempat itu.
Zevannya semula tidak mau melakukan apa yang Adrian minta, tetapi pergerakan mereka, ditambah rute perjalanan yang sulit, wanita itu mau tidak mau mengalungkan kedua tanganya ke leher sang mantan suami. Lelaki itu tampak begitu gagah, seperti seorang pangeran yang menyelamatkan seorang putri dalam sebuah dongeng.
Dalam jarak sedekat itu, Zevannya bisa mencium aroma parfum Adrian. Parfum yang diyakininya tetap sama sejak sepuluh tahun yang lalu. Wanita itu juga mengamati wajah mantan suaminya. Di saat serius seperti sekarang, Adrian terlihat berkali lipat lebih tampan, dan mempesona.
“Lain kali, kalau mau bepergian lumayan jauh, ajak seseorang. Kalau sendirian seperti ini, terlalu beresiko. Bagaimana kalau tadi ada ular atau hewan buas yang menemukanmu? Dari dulu kamu masih saja ceroboh,” omel Adrian yang tetap fokus pada jalur yang mereka lewati.
“Tadi rencananya hanya di sekitar villa. Aku tidak sadar kalau sudah melangkah sejauh ini.” Kali ini Zevannya tidak membantah. Dia memang salah, sudah pergi sejauh itu sendirian. Beruntung ada Adrian yang menyelamatkannya.
“Jangan diulangi lagi, Ze. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang buruk sama kamu.” Adrian lepas kontrol. Dia justru mengatakan hal yang seharusnya tidak dia katakana.
“Apa peduli kamu? Di antara kita bukan siapa-siapa lagi, Adrian.”
“Karena aku masih mencintai kamu, Ze.”
Sayang sekali kalimat itu tidak bisa keluar dari bilah bibir Adrian.
“Memangnya kepedulian itu harus menjadi siapa-siapa dulu? Setidaknya kita ini teman masa kecil, walaupun ada bagian kisah kita yang tidak ingin kamu ingat.”
Zevannya terdiam. Dia masih ingat semuanya, bahkan tidak ada sedikitpun bagian yang terlupakan dari ingatannya. Hanya saja, apa ada gunanya semua itu jika diungkapkan sekarang? Semuanya sudah hancur. Toh, mungkin sudah ada yang menggantikan posisinya di hidup Adrian.
Gerimis kecil mulai turun, hawa dingin menyerang mereka. Adrian tetap melangkah untuk menggapai permukaan jurang. Dia sengaja mengambil rute menyerong supaya lebih mudah.
“Peluk aku, Ze. Setidaknya itu bisa mengurangi rasa dingin yang menyerang tubuh kamu. Kita masih jauh dari pemukiman. Setelah keluar dari jurang ini, kita belum tentu menemukan tempat berteduh.”
Adrian tahu, Zevannya rentan terhadap dingin. Sekarang bibir wanita itu bahkan mulai memucat, sementara gerimis semakin besar.
“Tapi …”
“Lakukan apa yang aku minta, Ze. Kalau sampai kamu kambuh, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri.”
Zevannya berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia melepaskan leher Adrian, dan menelusupkan kedua tangannya ke tubuh lelaki yang berada di dalam jaket tebal yang dikenakannya. Tidak hanya sampai di sana, Zevannya juga menjadikan tubuh Adrian sebagai tempat berlindung wajahnya dari tetes air yang mulai membasahi keduanya. Ada rasa hangat yang kini menyapa, juga rasa nyaman yang sama seperti malam itu.
Adrian mempercepat langkahnya. Dia tidak peduli seberapa susah, dan juga lelah dirinya. Sekarang yang ada di pikiran Adrian hanyalah membawa Zevannya ke tempat yang bisa membuat wanita itu jauh lebih hangat.
“Bertahan, Ze. Maafkan aku yang gagal menjagamu. Seharusnya, biar aku saja yang terjatuh ke dalam sana, bukan kamu.”
Adrian terus memandangi Zevannya yang menyembunyikan wajahnya. Dia memang gagal menjaga wanita itu, tetapi setidaknya dia datang tepat waktu di saat Zevannya membutuhkan bantuan.
“Adrian, terima kasih untuk hari ini. Terima kasih karena kamu sudah menjadi sosok yang menyelamatkan aku. Seandainya kamu tahu kalau aku sangat merindukan pelukanmu, tetapi sayangnya … semua sudah tidak sama lagi.”
Setelah menghabiskan waktu beberapa menit, mereka bedua akhirnya berhasil mencapai permukaan. Guyuran hujan semakin deras, Adrian mengedarkan pandangannya, dia melihat ada sebuah gubuk kecil yang letaknya lumayan jauh dari mereka.
“Kamu masih tahan, Ze? Ada gubuk di sana, aku akan bawa kamu ke sana.”
“Lebih baik kamu turunkan aku, Adrian. Kamu pasti lelah daritadi gendong aku,” ucap Zevannya iba.
“Jangan pedulikan aku, Ze. Sekarang yang paling penting itu kamu.”
Adrian tidak mengatakan apapun lagi. Lelaki itu dengan mantap melangkah ke arah di mana gubuk kecil itu dia lihat. Dia harus memastikan Zevannya mendapatkan tempat berteduh dengan segera.
“Ternyata kepedulian kamu ke aku masih sama, Adrian. Kamu tetap seperti Adrian yang dulu. Adrian yang selalu berusaha menjagaku sebaik mungkin.”