Semenjak Syafiq mulai dewasa untuk menerima kenyataan bahwa dia bukan anak kandung Adnan dan Aisyah, dia sudah mengetahui batasan-batasan yang tidak boleh dilakukannya. Seperti tidak boleh melihat aurat dari Ibu dan adiknya, menyentuh, serta berduaan.
Empat tahun yang lalu dia resmi membeli apartemen yang tidak jauh dari rumah orang tua angkatnya, jadi sesekali dia akan pulang ketika merindukan rumah.
Namun, semenjak dia tahu bahwa Yasmin, adiknya menyukainya dia memilih untuk pulang sekali seminggu. Rasanya, dia tidak sanggup melihat adiknya, karena kenyataannya dia tidak memiliki rasa seorang lelaki ke wanita, rasa sayangnya pure sebagai seorang kakak ke adik wanitanya.
"Bawain bakpia pathok sama cokelat monggo yang rasanya cokelat putih ya" ucap Leo yang sudah sedari tadi mengajak Syafiq bicara.
"Jangan lupa lo" ucap Leo lagi
"Hmm" hanya deheman yang keluar dari bibir Syafiq.
"Lo kenal sama cewek yang kemarin?"
"Pernah ketemu sekali"
"Kapan?"
"Waktu hujan, dia nggak bawa payung" Leo hanya mengangguk, tak ingin membahas lebih jauh.
"Btw, kalian berdua aja ke Jogja,cuma sama Yasmin doang?" Syafiq menutup bukunya dan menatap lawan bicaranya.
"Ummi juga ikut" sela Syafiq
"Kok bisa, apa katanya? Bukannya cuma kalian berdua"
"Kemarin gue omongin baik-baik. Kalau gue bukan mahramnya Yasmin. Meskipun orang tahunya kami bersaudara tapi tetap saja di dalam Islam dia bukan mahram gue." Leo mengangguk paham
"Eh, bukannya besok ada operasi,
Kraniotomi?"
Bedah otak atau kraniotomi. Kraniotomi merupakan prosedur bedah yang dilakukan dengan cara membuka dan mengangkat sebagian kecil tulang tengkorak untuk melakukan tindakan medis pada otak. Bagian tulang tengkorak yang diangkat tersebut dinamakan bone flap atau penutup tulang tengkorak. Setelah tulang tengkorak dipotong dan bone flap diangkat, dokter dapat melakukan berbagai prosedur medis, baik untuk keperluan diagnosis atau untuk tindakan medis. Kraniotomi dilakukan dengan obat bius total sehingga pasien tidak sadar selama operasi. Kraniotomi diterapkan untuk berbagai keperluan, seperti mengangkat tumor, membuang abses otak, memperbaiki tulang tengkorak yang patah, dan membuang gumpalan darah.
"Insyaa Allah flightnya malam, jadi masih sempat Insyaa Allah."
"Semoga Allah memudahkan" ucap Leo
***
Seperti malam-malam kemarin, hujan kembali turun. Bus mulai padat, hingga Lail harus berdiri, rasanya sesak. Tapi, mau bagaimana lagi? Jika uangnya dipakai untuk naik taksi atau gocar, dia bisa puasa sampai tiga hari, sekarang biayanya serba mahal.
"Sini mbak tasnya, saya pangku. Pasti berat" ucap Nenek-nenek yang umurnya persis seperti neneknya yang sudah meninggal lima tahun lalu.
"Nggak apa-apa nek?" Nenek itu menggeleng, tanda tidak apa-apa "Terima kasih nek" ucap Lail, melepas tas ranselnya yang memang sangat berat.
"Kamu baru pulang kuliah ya?" Ucap nenek itu
"Nggak nek, saya berhenti kuliah dan baru pulang kerja."
"Oh ya? Hebat. Masih mudah sudah bekerja" Lail hanya menjawabnya dengan senyuman.
"Nenek tinggal di mana?" Tanyanya
"Saya lupa alamatnya, saya mau ke rumah anak saya, di halte terakhir ini saya turun"
"Nenek mau saya antar?" Tawar Lail
"Nggak usah, ngerepotin"
"Nggak apa-apa nek, kebetulan saya juga turun di halte depan" nenek itu tersenyun ramah, tak hanya wajahnya yang cantik, hatinya juga.
Setelah turun di halte, Lail membuka payung jingga pemberian dari Dokter Syafiq waktu itu, lupa dia kembalikan, mungkin jika nanti bertemu lagi.
"Kenapa nenek naik bus? Padahal kan bisa dijemput atau naik taxi"
"Semenjak suami saya meninggal, saya merasa kesepian, namun ketika saya naik bus dan disesaki keramaian saya merasa tidak sendiri"
"Maaf nek" ucap Lail karena tidak sengaja membuat nenek itu merasa sedih.
"Dulu, waktu masih muda, saya sama suami kencannya di bus, waktu itu busnya masih jadul dan tidak secanggih sekarang" Lail tersenyum mendengar celotehan nenek.
"Pasti seru" ucap Lail
"Tentu, sekarang zaman sudah merubah banyak hal"
"Nanti di depan, belok kanan" ucap Nenek
"Oh iya, dari tadi kita bicara saya belum tahu nama kamu, siapa nama kamu nak?"
"Nama saya, Lail nek, Laila Syauqia"
"Malam penuh rindu?"
Lail mengangguk, benar. Namanya adalah Lail Syauqia, yang berarti malam yang penuh dengan kerinduan, mungkin itu sebabnya mengapa dia selalu merindukan kedua orang tuanya setiap malam, merindukan neneknya, merindukan hari-hari yang indah dahulu.
"Nama yang bagus" ucap Nenek "Itu dia rumah anak saya" ucapnya menunjuk rumah yang sangat megah, dengan taman yang luas.
"Kalau begitu saya pamit ya nek" ucap Lail
"Jangaaan, ayo ikut masuk dulu. Makan malam"
"Nggak usah nek, terima kasih" tolak Lail sopan.
"Ayo, hitung-hitung sebagai tanda terima kasih saya" ucap Nenek memegang erat tangannya
"Tapi nek" ucap Lail
"Ayo" ucap nenek bersihkeras membuat Lail pasrah dan mengekor di belakangnya. Satpam di rumah itu langsung membuka pintu untuk nenek, Lail menutup payung jingga dan menaruhnya di samping pot besar samping pintu dan mengikuti langkah nenek.
"Ibu, kenapa nggak bilang Aisyah kalau mau ke sini" wanita paruh baya dengan khimar yang menjuntai ke bawah datang dan memeluk nenek. "Ibu naik apa ke sini?"
"Ibu naik bus" ucap Nenek yang tentu saja membuat wanita paru baya yang masih sangat cantik itu kaget.
"Kan bisa minta jemput sama mas Adnan atau supir di sini" jawabnya "Aisyah tebak, ibu juga nggak tahu kan alamat ini"
"Ibu tahu, tapi cuma lupa sedikit" Aisyah hanya menggelengkan kepala "Kenalkan ini namanya Lail, dia nganterin ibu ke sini."
"Masyaa Allah, makasih ya nak. Kamu baik sekali, kalau nggak ada kamu mungkin ibu saya sudah kesasar dan nggak tahu jalan pulang."
"Kamu ini, lebay sekali" ucap Nenek, Lail hanya tersenyum melihat keakraban ibu dan anak di depannya.
"Ayo Lail masuk, makan dulu" Lail mengangguk
"Terima kasih tante" ucapnya, Aisyah kemudian menarik kursi untuk Lail
"Rumah kamu di mana Lail?" Tanyanya
"Sekitar lima belas menit dari sini tante, Gang depan Perumahan Citra Garden"
"Ooh, dekat dong kalau begitu. Kamu harus sering main ke sini"
"Iya, kalau nenek ke sini. Kamu harus main yah mengunjungi nenek" Lail mengangkat kepalanya, sungguh dia lupa kapan terakhir dia makan bersama orang lain dan diperlakukan layaknya keluarga.
Setiap hari, dia hanya makan sendiri, kadang bersama Fajar. Tapi, adiknya kini terbaring di rumah sakit, sekarang setiap hari, dengan lelah sehabis bekerja dia harus makan-makanan sisa dari restoran yang sudah dingin sendirian.
"Insyaa Allah nek" jawabnya kemudian, nenek tersenyum dan menepuk bahunya pelan.
Mereka bertiga makan, sesekali bertanya kepada Lail. Setelah makan malam selesai mereka duduk di ruang keluarga.
"Pasti ibu kamu cantik, saya saja sebagai wanita kagum dengan kecantikanmu." Pipi Lail mendadak hangat, tersipu malu.
"Ayah dan Ibu kamu kerja di mana Lail?"
"Ibu dan Ayah saya sudah meninggal lima tahun yang lalu tante" jawabnya
"Innailaihi wa innailaihi roji'un. Jadi, sekarang kamu hidup dengan siapa?" Ucap Aisyah merasa bersalah
"Sama adik tante, tapi sekarang sedang di rumah sakit karena kecelakaan. Tabrak lari" Aisyah menepuk bahu Lail pelan.
"Kamu yang kuat ya" Lail mengangguk
"Ummiiiii Yasmin pulaang" Yasmin membuka pintu dan melihat Nenek kesayangannya duduk di ruang keluarga.
"Neneeeeek" Yasmin berlari dan memeluk nenek yang sangat dia sayangi "Yasmin rindu banget sama nenek, malam ini tidur sama Yasmin yah" ucap Yasmin
"Mbok yah kalau masuk rumah tuh salam dulu, kamu itu kebiasaan." Ucap Nenek
"Ups, maaf nek Yasmin lupa. Assalamualaikum" dia tersenyum menampilkan deretan gigi putih bersihnya
"Udah lama nek?"
"Belum lama" jawab nenek
"Mbak cantik?" Ucap Yasmin yang baru menyadari kehadiran Lail "Kok mbak di sini?"
"Dia bantuin nenek ke sini, takut nenek tersesat" ucap nenek "Kamu anterin dia pulang yah"
Yasmin mengangguk semangat "Oke" ucapnya
"Tapi ada syaratnya"
"Kenapa harus ada syarat-syaratan sih Yasmin, membantu orang itu harus ikhlas" ucap Aisyah
"Nggak berat kok, aku cuma mau tanya mbak cantik pakai skin care apa. Kok mukanya glowing alami plus bercahaya banget sih"
"Mbak pakai apa?"
"Eeemm, bedak bayi" Yasmin tertawa ngakak mendengar itu.
"Bohong banget, takut yah jalau nanti Yasmin lebih cantik?"
Lail menggeleng cepat "Aku memang cuma pakai bedak bayi" Yasmin menggeleng takjub.
"Aku mah kalau cuma pakai bedak bayi malah auto kucel kayak gembel"
"Cucu nenek kan udah cantik" ucap Nenek memeluk Yasmin, rasanya Lail pun ingin diperlakukan seperti Yasmin.
Syafiq memarkirkan mobilnya dengan hati-hati, baru saja ingin membuka pintu matanya menangkap payung berwarna jingga yang tempo hari dia pinjamkan kepada wanita yang saat ini masih belum diketahui namanya. Apakah payung jingga itu ada dua di rumah ini, atau orang itu yang dia pinjamkan payung sedang di sini? Ah, entah.
"Assalamualaikum" pertanyaan Syafiq akhirnya terjawab ketika pandangan matanya langsung menangkap perempuan yang duduk di samping ibunya, hari ini adalah pertemuan ketiganya dengan wanita bermata cokelat itu.
"Wa'alaikumussalam" jawab keempat perempuan itu bersamaan.
"Sini duduk Syafiq" ucap Ummi Aisyah
"Syafiq mau ganti baju dulu Mi" ucap Syafiq mengalihkan pandangannya takut terlibat kontak mata langsug kepada Lail.
"Maaf tante, saya harus pulang sekarang" ucap Lail, pepatah Dunia tak selebar daun kelor sepertinya benar-benar nyata. Karena, dari ribuan orang mengapa dia harus duduk di rumah lelaki yang meminjaminya payung jingga itu.
Aisyah tersenyum "Tunggu sebentar ya, biar Yasmin saja yang antar"
"Kunci mobil?" Yasmin mengulurkan kedua tangannya.
"Abi belum pulang, kamu pinjam mobilnya Mas kamu aja"
"Nggak usah tante, saya bisa jalan kaki kok, hujan juga sudah reda"
"Nggak apa-apa kok mbak, bentar yah aku ke atas"
"Mas, Mas Syafiq?" Yasmin mengetuk pintu kamar dari Syafiq, pemilik kamar keluar dan membuka pintu untuk Yasmin.
"Kenapa dek?" Tanyanya
"Pinjam mobilnya, Yasmin mau ngantar mbak cantik pulang"
"Sendirian?" Tanya Syafiq
Yasmin mengangguk "Dekat kok"
"Sudah malam, biar Mas temani, kamu tunggu di bawah" Syafiq menutup pintu dan mengambil jaket cokelat miliknya.
"Saya pamit Nek, Tante. Terima kasih atas makan malamnya"
"Sama-sama, lain kali main ke sini ya"
"Insyaa Allah tante"
Sedetik kemudian mereka bertiga sudah duduk di mobil, Yasmin dan Lail duduk di belakang. Mereka berdua canggung berada di tempat yang sama. Huh, bisakah Lail keluar sekarang juga?
"Kapan-kapan aku boleh nggak main ke rumah mbak?"
"Bo..boleh kok" Yasmin tersenyum
"Eh lupa, nama mbak siapa?" Ucap Yasmin karena dari pertemuan pertama dia hanya memanggilnya dengan sebutan 'mbak cantik'
"La..Lail"
"Lalail?" Ucap Yasmin
"Eh bukan, Lail" Lail tersenyum mendengar ucapan Lail
"Namanya bagus, mirip sama tokoh utama novelnya Tere Liye yang judulnya Hujan"
"Kamu pernah baca?" Ucap Lail yang juga pernah membaca salah satu karya dari Tere Liye tersebut.
"Iya, pinjam bukunya Mas. Iya kan Mas?"
"Hmm" jawab Syafiq seadanya.
"Belok kiri di depan" ucap Lail, sungguh dia begitu sulit untuk menetralkan detak jantungnya sekarang, rasanya jantungnga sedang ingin melompat keluar saking cepatnha detakan ini.
Begitu sampai, Lail pamit dan menutup pintu mobil, Yasmin melambaikan tangannya kepada Lail. "Terima kasih" ucapnya
Hari ini di pertemuan ke tiga mereka, detak jantung keduanya sungguh sulit dikontrol.
"Apa ini Ya Allah?" Ucap Syafiq menghela napas. Mengapa hatinya tidak tenang, rasanya berbeda saat dia melihat wanita lain. Dia tutup matanya berharap bahwa dia akan melupakan wanita itu esok.
Sementara Lail, dibuat terperangah karena sekarung beras, dan dua rak telur berada di depan kontrakannya. Dia mencari orang-orang yang sekiranya meninggalkan makanan ini. Tetapi, nihil. Tidak ada sama sekali orang yang berlalu lalang. Dia tersenyum, mengucap syukur kepada Allah. Evan mengangkat kedua sudut bibirnya, tersenyum karena dia merasa bahagia melihat perempuan itu tersenyum.
Di lorong kecil yang gelap, bisa saja ada lentera atau cahaya yang akan Allah turunkan. Allah Maha Baik, dia tidak pernah membuat hamba-Nya kesulitan sendirian.
Evan itu sebenarnya cinta, tapi terlalu gengsi untuk mengungkapkannya.
Jangan lupa komen dan vote yaaa...