Chapter 3

1101 Kata
Sang mentari tampak menyinari sebagian belahan bumi. Cahayanya yang menyilaukan menerangi hutan yang berada di sebelah barat, tempat di mana Hirato tertidur sejak tadi malam. Pemuda itu perlahan membuka matanya karena kilau sinar matahari tersebut. Ia langsung mengedarkan pandangan dan tidak melihat sosok pemuda yang tadi malam berbicara dengannya. Apa tadi malam itu mimpi? Tidak mau ambil pusing memikirkan pemuda tersebut, Hirato akhirnya bangkit dan bergegas mengemasi barang-barang untuk melanjutkan perjalanannya kembali. ***   Beberapa saat kemudian, Hirato bertemu dengan seorang pedagang yang melintas di jalur yang  dilewatinya kini. Pedagang itu lantas menghentikan kereta kudanya. “Nak, kau mau ke mana?” tanya pria berumur kepala tiga itu. “Ke ibu kota, Tuan,” jawab Hirato. “Wah ..., kebetulan sekali. Aku juga akan ke ibu kota. Bagaimana kalau kau ikut?” “Tidak, terima kasih. Saya tidak suka merepotkan orang lain.” Pria itu sontak tertawa. “Aku tidak merasa direpotkan kok. Lagi pula, jika kau menuju ibu kota dengan berjalan kaki, itu akan membutuhkan waktu empat hari lagi. Kalau kau ikut denganku naik kereta ini, kau akan sampai di sana dua hari lagi,” ujarnya. Hirato terdiam. Ia memikirkan ucapan pria di hadapannya itu. Benar juga. Jika aku ikut dengan pria ini, mungkin aku akan bisa datang lebih cepat dan menghemat waktu sebelum acara penerimaan siswa di Sagana Academy, jadinya aku bisa berkeliling kota terlebih dahulu untuk melihat keadaan. “Baiklah, saya terima tawarannya, Tuan. Terima kasih,” ucap Hirato. “Ayo naik!”  Hirato naik ke kereta kuda milik pria itu dan duduk di sampingnya. “Namaku Adolf Weisten. Siapa namamu, Nak?” tanya pria itu. “Hirato. Ren Hirato,” jawab Hirato. Kereta pun melaju perlahan. “Dari mana asalmu, Hirato?” tanya Adolf mengawali pembicaraan. “Desa Greenland,” jawab Hirato singkat. “Desa Greenland? Bukankah itu desa yang sangat jauh dari ibu kota?” Hirato hanya mengangguk menimpali. “Memangnya apa yang ingin kau lakukan di ibu kota?” tanya Adolf lagi. “Saya hanya ingin masuk ke Sagana Academy, Tuan.” “Wah ..., kau pasti sudah menyiapkan sesuatu untuk menghadapi ujian masuk ke sana.” Selama perjalanan, mereka banyak mengobrol walaupun Hirato hanya menjawab pertanyaan dari Adolf seperlunya saja. Tiba-tiba, muncul banyak monster berwujud aneh dengan tanduk menghiasi kepala mereka. “Iblis!” teriak Adolf tampak panik dan malah menghentikan kereta kudanya. “Kenapa ada iblis yang muncul di siang hari?” tanya Hirato seorang diri. Para iblis itu mulai berlari menyerang mereka. “Tuan, sebaiknya Anda bersembunyi. Biar saya saja yang melawan mereka,” ucap Hirato sambil menatap tajam ke arah para iblis yang semakin mendekat. Adolf mengangguk dan langsung masuk ke kereta, sementara pemuda bersurai kelam itu turun dari kereta lalu menebaskan pedang hitamnya ke tubuh para iblis tadi. Tubuh mereka terbelah menjadi empat bagian dengan darah berwarna hitam membanjiri sekitar. Namun, tiba-tiba saja makhluk aneh itu bangkit kembali. “Sepertinya ada yang mengendalikan mereka,” gumam Hirato. Hirato memutuskan untuk menggunakan kekuatannya agar bisa menghancurkan tali sihir yang mengendalikan makhluk yang ternyata adalah mayat para iblis itu. Tali sihir sangat sulit untuk diketahui karena terbuat dari benang tipis dan dilapisi sihir angin. Hal itu tentu saja tidak akan mudah terlihat oleh mata manusia biasa. Namun, Hirato dengan mudah mengetahui tali sihir itu berkat keunikan matanya. Meskipun tersegel, ia harus membawa para iblis itu menjauh dari Adolf agar bisa leluasa menggunakan kekuatan tanpa diketahui oleh pria tersebut. “Tuan Adolf, aku akan membuat mereka mengikutiku. Jika ada kesempatan, pergilah terlebih dahulu!” seru Hirato. Adolf lantas terkejut. “Bagaimana dengan dirimu?” tanyanya khawatir. “Saya pasti akan menyusul setelah menghabisi mereka. Anda bisa menunggu saya di dekat perbatasan. Saya yakin di sana Anda akan aman!” Hirato menyerang para iblis itu dan membawa mereka ke dalam hutan meninggalkan Adolf seorang diri. ***   Hirato terus berlari. Sesekali ia melirik ke arah belakang dan melihat para iblis berhasil mengikutinya. Pemuda itu yakin jika Adolf akan baik-baik saja jika jauh darinya kini. “Baiklah. Permainan kejar-kejarannya selesai. Saatnya menghabisi serangga,” ucapnya usai berhenti di sebuah tanah lapang di tengah hutan tersebut. Hirato membuka tudung jaketnya. Matanya yang berwarna cokelat berubah menjadi merah menyala. Ia menarik pedang hitam pemberian Yuta dengan aura gelap bercampur dengan aura membunuh yang melekat keluar darinya. “Sepertinya, aku sudah terbiasa dengan mata ini,” ucap Hirato sembari menyeringai menatap kedua tangan dengan mata merahnya. Hirato mengambil kuda-kuda, bersiap akan memotong setiap benang sihir yang terhubung ke tubuh iblis-iblis itu. Namun, sebelum melakukannya, ia mengamati setiap bagian benang yang terhubung karena benang sihir harus dipotong tepat di bagian yang mengikat pergerakan mereka. Dia berlari dan menghindari setiap serangan dengan tetap mengawasi daerah di sekitar leher musuh. Hirato melihat benang berwarna biru bercahaya yang mengikat leher, tangan, dan kaki mereka, lalu menyeringai. Pemuda itu memelesat dengan bantuan sihir angin dan mengayunkan pedangnya secara horizontal di setiap bagian benang. Semua mayat iblis yang dikendalikan tersebut langsung tersungkur dan benang yang tadi melilit mereka terbakar. Pemuda bersurai hitam itu lantas membersihkan bercak darah pada pedangnya lalu menyarungkannya kembali. Hirato menggunakan sihir untuk menyegel matanya agara berubah warna kembali menjadi cokelat. Dengan begini, semuanya  selesai. Aku sudah tidak merasakan keberadaan orang yang mengendalikan mereka. Dia pasti adalah orang yang berbahaya. *** Seorang pemuda berambut biru baru saja keluar dari tempat persembunyiannya di balik pohon yang tidak jauh dari mayat para iblis yang berhasil dibunuh oleh Hirato tadi. Pemuda itulah yang telah mengendalikan mereka untuk menyerang Hirato. “Benar yang dikatakan oleh Axton jika kemungkinan pemuda itulah yang kami cari. Aku harus melaporkan ini kepada Yang Mulia,” gumamnya lalu menghilang seketika. ***   “Yang Mulia, saya kembali,” ucap pemuda berambut biru di hutan tadi. Ia muncul di depan Satan dan di sampingnya sudah berlutut seorang pemuda bersurai jingga yang sudah bertemu dengan Hirato sebelumnya. “Jadi, bagaimana?” tanya Satan. “Saya telah menemukan Pangeran. Beliau saat ini sedang perjalanan menuju ibu kota Kerajaan Vinezella untuk masuk ke Sagana Academy.” “Sagana Academy? Jadi, yang dikatakan oleh Axton benar.” “Jadi, bagaimana, Yang Mulia?” sahut seorang pria berambut hitam. “Biarkan dia di sana untuk sementara waktu. Mungkin jika berada di sana, ia akan semakin kuat nantinya,” balas Satan. “Kalau begitu ..., Axton dan Aidyn. Kalian aku perintahkan untuk masuk ke akademi itu dan lindungi Pangeran selama berlatih, tetapi jangan sampai ia mengetahui identitas kalian.” Pemuda berambut jingga dan biru itu maju selangkah lalu kembali berlutut. “Baiklah, Yang Mulia,” jawab keduanya lalu perlahan menghilang dari pandangan Satan. “Alexis, kau akan menyamar menjadi profesor di sana,” titah Satan lagi. “Baiklah, Tuan. Saya permisi undur diri,” ucap pria berambut hitam itu sebelum akhirnya menghilang dari hadapan Satan. Satan terdiam seorang diri saat sebagian kesatrianya itu menghilang dari hadapannya. Kini, tinggal tiga kesatria yang bekerja di bawah kekuasaannya di kerajaan tersebut. Mereka yang sejak tadi berlutut dan tertunduk, kini masing-masing mengangkat pandangan dan menatap lurus kepadanya. Al, pemuda berambut perak dengan saudara kembarnya yang bernama El, pemuda berambut biru gelap yang berlutut di sampingnya. Kesatria yang terakhir adalah Alden Del Almer, pemuda yang terkenal akan keahliannya dalam meniru rupa, bahkan kemampuan seseorang.  Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN