Perjalanan yang melelahkan. Arini menghela napas lega ketika memasuki halaman kos. Sampai pada ruangan yang khusus disediakan pemilik untuk para penghuni menerima tamu, Arini duduk beristirahat. Dia bahkan tidak mampu menunggu sampai ke kamar untuk beristirahat, sudah terlalu lelah. Apalagi ditambah hatinya masih belum baik-baik saja setelah tuduhan yang dilemparkan pihak lembaga tadi. Lelah yang dia rasakan seolah berlipat ganda.
"Arini ...! Syukurlah kamu sudah pulang."
Baru beberapa jenak Arini menyandarkan punggung, Risa yang datang dari arah kamarnya menangkap keberadaannya. Raut wajah Risa tampak kalut. Arini serta merta menegakkan punggung, turut kalut melihat raut temannya itu.
"Ada apa, Sa?" tanyanya penasaran.
"Ada telepon." Risa mengulurkan ponselnya ke arah Arini.
"Telepon lagi?"
"Iya. Sudah sejak tadi."
Arini meneguk ludah, merasa tidak enak hati pada Risa. Mengapa sekarang orang-orang jadi sering menelepon dirinya?
"Sudah tersambung teleponnya, Rin. Tadi terpaksa aku angkat karena berdering berulang kali."
"Iya, Sa. Terima kasih." Arini meraih perlahan telepon yang diulurkan Risa.
"Sama-sama. Aku tinggal dulu, ya, Rin. Nanti kalau sudah selesai, kamu antar saja hp-nya ke kamar."
"Iya, Sa."
Sepeninggal Risa, Arini menatap sebentar layar ponsel yang sekarang ada di tangannya. Nomor asing, tetapi dia merasa mengenal beberapa digit angka terakhir. Artinya, nomor ini pernah menghubunginya.
Sembari melangkah menuju kamar, Arini menempelkan benda itu ke telinganya.
"Assalamualaikum." Dia membuka percakapan dengan hati berdebar tidak nyaman. Firasatnya mengatakan kondisi sedang tidak bersahabat.
"Arini!"
Bukan jawaban salam yang ia terima, melainkan panggilan ketus. Arini bahkan berjengit sambil spontan menjauhkan ponsel dari telinganya karena terkejut.
"Yuni?" tanyanya setelah mendekatkan lagi benda itu ke telinganya.
"Iya, ini aku!" Lagi-lagi sahutan ketus terdengar dari seberang.
Pantas saja Arini merasa mengenal beberapa digit angka terakhir. Dia ingat, nomor yang sama digunakan Dani untuk meneleponnya tempo hari.
"Ada apa, Yun?" tanya Arini mencoba untuk tetap tenang.
Dia tahu, dari suaranya Yuni sedang emosi. Sepertinya perihal Dani meneleponnya kemarin, ketahuan oleh Yuni.
"Aku peringatkan, ya, Rin. Jangan pernah berpikir untuk coba-coba merebut Bang Dani dariku. Kamu tidak akan bisa karena aku tidak akan tinggal diam!" tuding Yuni tanpa basa-basi. Suaranya melengking tinggi.
"Merebut Bang Dani?" Arini mengerutkan dahi.
"Iya! Jangan jadi perempuan gatal yang menggoda suami orang!"
"Maksud kamu apa, Yun?"
"Enggak usah berlagak bego, Rin. Kamu apa-apaan diam-diam teleponan sama Bang Dani?"
Arini menganjur napas kasar. Benar dugaannya, perihal Dani menelepon kemarin, menjadi masalah untuknya.
"Aku tidak teleponan sama Bang Dani, Yun. Dia yang menelepon duluan." Arini mencoba menjelaskan yang sebenarnya.
"Bang Dani tidak mungkin menelepon kamu duluan! Dia tidak pernah tertarik sama kamu!"
"Kamu cek saja di log panggilan. Apakah ada panggilan masuk dari nomor ini. Yang ada pasti panggilan keluar."
"Kalau pun Bang Dani yang menelepon, dia tidak akan melakukannya kalau bukan karena kamu yang kegatalan minta ditelepon."
"Yun!" Arini tidak bisa menahan emosinya yang sudah terpancing sejak tadi. Kalimat-kalimat Yuni terasa sudah keterlaluan.
"Jangan sembarangan kalau bicara!" ucapnya kesal.
"Sembarangan bagaimana? Memang kenyataannya begitu 'kan?"
"Aku tidak pernah memberikan nomor ini ke Bang Dani. Lagi pula ini bukan nomorku, tapi nomor temanku."
"Kamu memang tidak pernah memberikannya secara langsung ke Bang Dani, tapi menitipkannya melalui ibumu!"
"Kalau begitu kamu tanya ke ibuku, apa benar aku menitipkan nomor ini ke suamimu?"
"Tidak ada maling yang mengaku, Rin! Aku sudah tanya, tapi ibumu tidak mengaku."
"Terserah kamu, Yun! Yang jelas, aku tidak pernah menelepon Bang Dani. Aku pun tidak mau lagi berhubungan dengannya."
"Bagus kalau begitu! Awas kalau lain kali kamu ketahuan berhubungan dengan Bang Dani. Aku akan mengumumkan ke semua orang di sini, kalau kamu itu penggoda suami orang. Perempuan gatal!"
Tangan Arini bergetar menahan geram. Ucapan Yuni baginya benar-benar sudah melewati batas. Sepupunya itu seperti tidak bercermin pada diri sendiri, sehingga dia tidak tahu seperti apa sebenarnya wujud dirinya.
"Kamu memang istri Bang Dani sekarang, Yun. Tapi, bukan berarti bebas untuk mengancamku. Apa kamu tidak sadar, kamulah yang gatal. Tidak ada gadis baik-baik yang tega merebut tunangan teman sekaligus saudaranya, bahkan hingga hamil di luar nikah," ucapnya pelan, tetapi tajam. Arini sudah tidak memikirkan lagi perasaan Yuni. Toh, Yuni sendiri tidak pernah memikirkan perasannya.
"Satu hal yang harus kamu ingat, Yun. Aku memang sakit atas pengkhianatan kalian berdua. Tapi, aku bersyukur dilindungi dari laki-laki penzina seperti Bang Dani. Kamu ambil saja dia! Miliki sepuasmu! Aku bisa mencari yang lebih baik darinya! Laki-laki penzina untuk perempuan penzina, dan laki-laki yang baik untuk perempuan baik-baik."
Setelah mengucapkan kalimat yang cukup panjang itu, Arini lantas menekan tombol telepon berwarna merah. Tubuhnya seketika luruh di lantai kamar. Air matanya mengalir tidak terbendung.
Ternyata lukanya belum sepenuhnya sembuh. Usahanya untuk ikhlas dan legowo belum sepenuhnya berhasil.
Hatinya masih terasa sakit setiap teringat apa yang telah dilakukan Yuni dan Dani. Kemudian sekarang, setelah dia memilih pergi menjauh, justru luka itu datang mencarinya.
Arini menutup mulutnya dengan satu telapak tangan, meredam agar suara tangisnya tidak keluar, membiarkannya hanya mengguncang tubuhnya. Dia perlu menangis untuk melepaskan semua rasa sakit yang kembali mendera.
Ketika azan ashar berkumandang, Arini lekas mengusap wajahnya dengan kasar, mengeringkan jejak basah oleh sisa-sisa air mata di pipinya, lalu menuju kamar mandi untuk berwudhu.
Dia perlu mengadu kepada Sang Pemilik Hidup secepatnya, meminta kekuatan untuk menghadapi setiap skenario kehidupan.
***
"Maaf, ya, Sa. Aku merepotkan kamu terus."
Usai sholat dan memastikan wajah sembabnya samar, Arini ke kamar Risa untuk mengembalikan ponsel. Dia benar-benar merasa tidak enak hati, sebab sedikit atau banyak, Risa pasti terganggu oleh telepon-telepon untuknya.
"Enggak apa-apa, Rin. Santai aja. Kamu jangan terlalu sungkan begitu." Risa tersenyum ringan.
"Nomor yang ini bisa diblokir, enggak, Sa?" Arini menunjukkan nomor yang digunakan Dani dan Yuni untuk meneleponnya.
"Diblokir?" Risa menatap Arini heran.
"Iya." Arini mengangguk.
"Kenapa?"
"Enggak apa-apa. Kalau bisa, sih, Sa. Kalau enggak bisa, enggak apa-apa."
Risa menatap Arini sebentar. Dia bisa memahami ada masalah yang sedang dihadapi oleh temannya itu, tetapi tidak bisa dia ceritakan.
"Bisa, kok, Rin. Nanti aku blokir."
"Terima kasih, Sa."
"Sama-sama."
"Aku kembali ke kamar dulu."
"Iya."
Arini mengembuskan napas lega. Dia melangkah gontai menuju kamarnya. Sesampai di kamar, matanya tertuju pada dua kardus barang yang tadi di antar oleh karyawan toko.
Arini bergegas menghampiri barang-barang itu, memindai bagian luar dengan seksama untuk menemukan petunjuk, tetapi nihil.
Perlahan tangannya meraih gunting yang terletak di atas meja tidak jauh dari posisinya berada. Arini bersiap membuka kotak pertama. Dari informasi luar kardus, Arini tahu isinya laptop.
Secarik kertas mencuri perhatian Arini ketika kotak berhasil dibuka. Sederet kalimat singkat tertulis di sana.
Dear Arini,
Semangat dan sukses selalu!
Kemudian pada bagian akhir kalimat, terdapat emoticon senyum. Entah kenapa, bibir Arini refleks turut tersenyum saat melihat emoticon itu.