Menemukan Rania yang memiliki wajah cantik sempurna, tak mampu membuat Albrian melupakan begitu saja. Bukan lebih menarik dibanding Prisil, tapi wajah manis dengan senyum licik genitnya sangat terngiang-ngiang. Pernah menemukan, tapi di mana? Cara agar mengingat, tentunya Albrian memutuskan pergi setelah salat isya berjamaah di masjid. Karena merasa sudah benar dengan sikapnya, bukan berarti Alfaruk harus mengekang anak bujangnya pula pada malam hari.
Tidak lupa pamit kepada Aisyah agar abinya itu tidak bertanya lagi. Ke mana anak sialan tak bisa diatur itu. Hanya butuh waktu lima belas menit, Albrian sudah sampai di depan rumah Afrizal yang sepi. Sudah dipastikan kedua orang tua teman semasa SD itu tidak ada di rumah. Pekerjaan lebih penting dibanding menghabiskan waktu bersama anak semata wayangnya. Mengetahui kehadiran Albrian di depan, Afrizal segera keluar. Kebetulan ia sedang duduk santai di ruang tamu.
Sebelum Albrian datang, sudah ada teman setongkrongan yang datang. Seperti biasa, ngopi dan menghirup dalam tembakau. Pergaulannya mulai terganggu. Apalagi kedua orang tuanya yang sama sekali tidak mempedulikan. "Masuk, Al!"
Albrian melepas sandalnya, seperti biasa aroma asap tembakau langsung menguasi rongga hidung. Rumahnya terbilang setara dengan rumah pengusaha lainnya. Besar, berlantai dua, dengan hiasan paling memukau milik Anisa ibu dari Afrizal. Bukan hanya ruangan luar saja, sampai di kamar mandi pun terdapat televisi. Kurang apalagi coba? Hanya Afrizal yang dapat merasakan kekurangannya sendiri. Yaitu kasih sayang dari kedua orang tuanya.
"Gua mau ngomong, nih!" Albrian duduk di atas sofa, televisi di depannya sedang menyiarkan sinetron percintaan.
Afrizal menggapit rokoknya di tangan kanan. "Kenapa? Tadi lu ngikutin si Prisil, kan?"
"Gua kenal sama, tuh, cewek! Tapi lupa di mana ketemunya."
"Cewek yang mana?"
Albrian menggigit bibir bawahnya. "Malam minggu nanti, ajak gua nonton balapan, Zal!"
"Gak, salah lu mau nonton? Halah, palingan digerebek sama bokap, lu! Malu-maluin," cibir Afrizal, mengetahui sikap posesif Alfaruk.
Apalagi setelah peristiwa tahun lalu, waktu Albrian kabur dari rumah hanya untuk menonton balapan motor ilegal dengan Afrizal. Berakhir Alfaruk datang menghentikan geraman suara motor yang bersahutan. Menyeret Albrian di depan orang-orang. Berkhotbah langsung, bahwa apa yang dilakukan semua kumpulan remaja di sana tidak benar. Semua penonton menahan tawa, Afrizal yang mengenalkan Albrian kepada temannya pula hanya bisa menahan malu.
Jadi, saat mendengar Albrian ingin menonton balapan liar lagi, rasanya Afrizal harus berpikir ulang. Takut kejadian dulu terulang. "Tenang aja, gua bakal izin ada tugas!"
Afrizal menatap Albrian malas. "Terus, bokap lu bakal percaya gitu aja?"
Benar apa yang Afrizal bilang. Caranya, hanya satu, Alfaruk harus ceramah di salah satu masjid sampai dini hari. Namun, tawaran seperti itu sangat jarang. Jadi? Bagaimana? Albrian menyandarkan tubuhnya. Menutup kelopak matanya dalam-dalam. Hingga bayangan perempuan memegang bendera kotak-kotak hitam putih lambang komunitas balapan liar tergambar, jelas membuktikan bahwa ia adalah gadis yang berdiri di garis start.
"Gua inget!" sentak Albrian, membuat Afrizal menatapnya bingung. "Cewek yang diem di garis start siapa?"
"Banyak, setiap malem ganti!"
Sial, Albrian menghempas tubuhnya pasrah. "Udahlah, gua ikut malam nanti!" Ia pun beranjak pergi, sedangkan Afrizal hanya diam membisu.
"Njir, kemasukan apa tuh manusia?"
***
Pelajaran sekolah berjalan lancar seperti biasanya. Waktu yang dinantikan pula datang. Sayang, undangan Alfaruk harus datang memenuhi undangan ceramah tak didapati juga. Jadi, mengingat sekarang malam minggu Albrian memberi alasan, ia hanya ingin menemani Afrizal saja tidak lebih. Mendengar permintaan anaknya, Alfaruk keluar dari kamarnya, menatap tajam Albrian.
"Gak tau malu, punya rumah juga. Mau nebeng apaan, kamu! Makan?"
Aisyah memegang tangan suaminya itu menenangkan. "Abi, sekarang 'kan malam minggu, anak muda biasanya main."
"Main? Dibiasakan main? Kamu sudah tamat belum kitab kuning, ha!"
Albrian memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. "Belum, Bi, lagian sekarang malam mingg—"
"Mau malam minggu atau malam senin! Namanya belajar kapan pun sah, ngerti kamu? Masuk ke kamar, Ais ... ajarkan dia," titahnya lalu kembali ke dalam kamar.
Seharusnya Albrian tidak usah meminta izin, langsung saja pergi, tapi takkan berhenti di situ. Bagaimana saat ia pulang? Khotbah pastinya dimulai lagi. Aisyah menghampiri anaknya itu dengan tatapan sendu.
"Kamu minta, Afrizal dateng aja, nanti pasti diizinin," saran Aisyah.
"Percuma, nanti abi malah ngusir dia." Albrian mulai pasrah, tapi ia tetap ingin pergi. Harus menemukan perempuan bernama Rania.
Aisyah mengajak Albrian keluar. "Sana, umi ngasih izin."
Tanpa menunggu lama, Albrian segera mencium kedua pipi ibunya. "Al, mau nginep, ya!"
Aisyah mengangguk. "Iya, jangan begadang."
Tanpa Alfaruk sadari karena sedang mengaji, Albrian pergi dengan motornya cepat. Penuh ketakutan, Aisyah berjalan pelan agar tidak menciptakan kegaduhan. Masuk ke dalam kamar Albrian, mulai pura-pura ada anaknya di sana. Ia juga mengunci pintunya dari dalam, agar saat Alfaruk mencarinya ia langsung bersiap jaga-jaga. Aisyah berpikir lagi, suaminya itu sangat posesif mendidik Albrian. Tidak seharusnya mengekang, apalagi anak lelaki sangat sulit.
Meskipun harus dibiasakan dari kecil, tapi mengingat usia Albrian yang sudah terbiasa berkumpul dengan temannya. Rasanya sangat aneh terus-terusan harus diam di rumah. Kecuali jika Alfaruk memasukkan Albrian ke pesantren, anaknya itu akan patuh diam tinggal belajar. Sayang, Albrian selalu kabur dengan caranya sendiri agar terhindar dari pelajaran agama yang sangat ketat. Ia ingin kebebasan, tapi masih berada di jalan yang benar.
"Anjing! Lu lama banget," maki Afrizal sambil membuang rokoknya asal.
Albrian mengembuskan napasnya kasar. "Udah, yuk!" ajaknya.
Afrizal pun duduk manis di belakang motor Albrian. Mereka sengaja membawa satu motor, agar saat ada razia dadakan langsung tertuju ke satu motor. Sudah biasa balapan liar, sudah biasa pula ada razia dadakan tanpa aba-aba. Kecuali suara sirene yang menandakan kedatangan sang polisi. Sesampainya di tujuan, beberapa penonton sudah berjejer rapi. Tidak lupa uang taruhan terkumpul penuh.
Albrian memarkir motornya di tempat yang terang. Mulai mencari-cari keberadaan sosok Rania, dibantu Afrizal pula. Tiga motor siap tempur sudah mejeng di tengah kerumunan, sang pembalap duduk santai sambil menghirup dalam tembakau. Tidak lupa sosok gadis cantik dan seksi menemani di samping. Tidak ada Rania di antara kerumunan itu. Albrian mundur, mulai mendekati tim panitia balapan. Lebih tepatnya preman yang memegang uang jaminan sang pemenang.
"Gua tanya dulu, Si Ogeb pasti tau, sapa namanya?"
Albrian menjawab, "Rania."
Afrizal pun segera mencari keberadaan temannya itu yang bisa dibilang, sangat dekat dengan beberapa pembalap liar. Albrian pula terus mencari. Sesosok tubuh tinggi, kulit putih dan bersih. Memiliki senyum manis, membuat salah satu pipi tirusya menimbulkan kerutan dalam teramat menarik.
"Bisalah, tapi gua butuh lama bawa dia ke sini."
Suaranya sangat Albrian kenal, di depan sana ada beberapa orang berkumpul dengan jaket hitam, berlogo motor warna merah.
"Gua culik gimana?"
Perempuan di sampingnya tertawa. "Gila, dia jago bela diri!"
Albrian semakin mendekat, hingga tatapannya jelas menangkap sosok perempuan cantik yang dicarinya. Tengah duduk di atas paha lelaki pemilik tato di sekujur tubuhnya. Saat tatapannya semakin melebar, kelopak mata cantik itu kini sudah menatapnya balik. Rania tersenyum genit, mendapati sosok lelaki yang mengejar adiknya waktu lalu.
"Gua jamin, dia masih virgin," ucap Rania, meyakinkan lelaki di bawahnya yang menginginkan Prisil.