Ervin mendesah panjang saat melihat hujan turun lebat. Melalui tembok kaca ia bisa melihat orang-orang berhamburan menyelamatkan diri dari guyuran hujan. Sudah lebih dari semenit shift berakhir, tapi Ervin tidak kunjung bersiap untuk pulang.
“Gak pulang Vin?” tanya salah satu temannya. Bobi.
“Enggak Bob. Aku lembur saja sambil nunggu hujan reda,” kata Ervin lalu kembali bekerja. Sepertinya cuaca malam itu tidak bersahabat. Ervin melirik jam dinding yang hampir mengarah ke angka dua belas. Ia gelisah. Terlebih Elina di rumah sendirian. Bagaimana kalau gadis itu takut petir atau terjadi sesuatu saat ia sendiri di rumah.
Pikiran Ervin kacau. Ia segera berjalan ke belakang untuk menghubungi Elina, tapi sayang ketika ia menyalakan ponsel ia baru ingat kalau tidak memiliki nomor ponsel Elina. Ervin semakin gelisah. Ia berusaha cuek dan mengabaikan rasa khawatir di benaknya tapi bayangan Elina yang ketakutan membuat Ervin tidak tenang.
“Bob, aku pulang saja. Aku baru ingat ada saudara yang ingin menginap. Aku harus pergi sekarang,” ujar Ervin. Ia buru-buru melepas apron lalu melipatnya kemudian meletakkan di atas meja.
“Hmm… hati-hati di luar hujan lebat kemungkinan beberapa ruas jalan sudah terendam air,” kata Boby.
“Iya, aku akan hati-hati. Maaf aku tidak jadi lembur.”
“Tidak masalah.”
Ervin pun berpamitan dengan teman-temannya yang lain. Pelan-pelan ia mengendarai motornya meninggalkan restaurant. Tubuhnya basah kuyup, tapi tidak membuat Ervin gemetar. Pikirannya hanya tertuju pada Elina.
Setelah perjalanan yang cukup lama akhirnya Ervin berhasil memarkirkan motornya di rumah. Dengan tangan gemetar ia membuka pintu lalu berjalan ke kamar Elina. Lampu kamarnya sudah redup. Perlahan Ervin membuka pintu kamar Elina dan melihat gadis itu tidur nyenyak di atas kasur. Ervin bisa bernapas lega melihat Elina tertidur pulas. Ia menutup pintu kamar itu lalu kembali ke kamarnya. Tubuhnya mulai menggigil, jika tidak segera mengganti pakaian Ervin yakin besok akan sakit.
***
Elina merenggangkan otot-ototnya di atas tempat tidur. Hujan semalam membuat tidurnya pulas. Elina tidak perlu repot-repot menyalakan kipas angin untuk menyejukkan kamarnya. Ia jadi menyesal kenapa tidak membeli AC untuk kamarnya. Meminta Ervin membelikan AC sama saja mendapat ceramah seharian penuh. Itu juga belum tentu dibelikan.
“Selamat pagi,” ujar Elina pada dirinya sendiri. Sudah menjadi kebiasaan bagi gadis itu menyapa diri dengan senyum. Bagi Elina senyum di pagi hari akan membuat keadaan hati jauh lebih tenang dan aura positif akan mengelilinginya. Ponselnya berdering. Elina segera meraihnya lalu menerima panggilan itu.
Wajahnya bersemu, seulas senyum terbit di bibirnya saat berbicara. Elina segera memutuskan sambungan teleponnya. Ia berjalan riang lalu menyambar handuk yang tersampir di kursi belajarnya. Paginya begitu sempurna setelah Varen menghubunginya.
Tidak ada drama pagi ini. Elina berdandan bersiap untuk pergi. Ditatapnya jam yang melingkar di tangannya. Ia merasa aneh ketika Ervin tidak kunjung keluar kamar. Biasanya pria itu sudah sibuk di dapur atau mencuci pakaian kotor di kamar mandi.
“Apa mungkin dia kecapekan?” gumam Elina. Gadis itu mengedikkan bahunya. Ia tidak terlalu peduli dengan aktivitas Ervin. Ia sudah menemukan kesenangannya sendiri. Sebentar lagi ia memasuki bangku perkuliahan sehinga Elina bisa bebas pergi ke mana pun yang ia suka.
Memikirkannya saja sudah membuat Elina bahagia. Elina mengambil tas mungilnya di atas meja. Ia berjalan keluar lalu berhenti di depan kamar Ervin. Pelan-pelan ia membuka pintu kamar itu kemudian melihat Ervin terlelap di atas tempat tidur. Elina kembali menutup pintu kamar Ervin lalu mengambil jarak yang cukup.
“MISTER AKU MAU PERGI JAGA RUMAH YA!” teriak Elina lalu berlari pergi. Ia tidak mau Ervin bangun lalu memarahinya. Ervin yang terbaring di kamar hanya bergumam. Matanya perlahan terbuka, tapi rasa pusing di kepalanya membuat Ervin mengurungkan niat untuk beranjak.
“Elina… jangan pergi,” gumamnya lemas.
***
Es krim vanilla salah satu yang disukai Elina selain belanja. Setelah melihat hasil pengumuman di sekolah Elina dan empat temannya memutuskan untuk jalan-jalan di taman. Mereka sadar kebersamaan ini tidak akan bisa mereka dapatkan setelah kuliah nanti.
“El, kamu sudah ada jawaban?” tanya Varen dengan suara rendah. Gina, Hendra dan Naura berada jauh di depan mereka sehingga Elina bisa bicara berdua dengan Varen.
“Itu… aku belum bilang sama papa dan mama. Tolong beri aku sedikit waktu.” Varen menghentikan langkahnya lalu berdiri di depan Elina. Gadis itu mendongkak menatap Varen yang lebih tinggi darinya.
“Gimana kalau backstreet?” Varen meraih tangan Elina. Namun gadis itu segera melepasnya. Elina ragu, ia memang menyukai Varen sejak pertama kali MOS tiga tahun yang lalu tapi sekarang ia sudah menikah. Meski mereka dijodohkan tapi sebuah pernikahan bukanlah permainan.
“Varen, aku belum siap. Maaf, untuk sementara kita bisa jadi sahabat. Bukankah sahabat selalu ada setiap saat?” Elina berusaha tersenyum untuk menghibur Varen, tapi sepertinya hal itu tidak membantu.
“Aku takut, El. Aku takut kehilangan kamu.” Varen menghembuskan napas panjang. Elina bisa melihat wajah frustrasi pria itu. Ia tidak tega melihat Varen sedih. Elina berjanji nanti malam ia akan bicara pada Ervin.
“Berikan aku waktu, Varen.” Elina berjalan melewati Varen untuk bergabung dengan teman-temannya. Varen mengusap leher belakangnya lalu menyusul mereka berempat.
***
Sepulang dari taman Elina memutuskan untuk langsung ke rumah. Perasaannya mulai tidak nyaman terlebih melihat Varen yang cemberut. Elina sadar ia sudah melukai hati Varen. Saat memasuki halaman rumah Elina merasa aneh karena melihat motor Ervin masih terparkir di halaman. Tidak biasanya pria itu ada di rumah di siang bolong.
“Apa dia tidak ke kampus?” gumam Elina. Langkah kakinya membawa gadis itu ke depan kamar Ervin. Dibukanya pelan hingga tidak menimbulkan suara. Ervin masih tidur sama seperti ia lihat tadi pagi hanya saja ada sebotol air mineral di tempat tidurnya.
Elina membuka pintu lebih lebar lagi. Ervin bahkan tidak terusik ketika Elina berada di dekat tempat tidurnya.
“Mr. Pelit, kamu gak bangun? Ini sudah siang. Kamu punya pekerjaan, kan?” Elina mencoba mengganggu tidur Ervin. Namun pria itu tidak mengubrisnya.
“Mister gak baik loh tidur sampai siang entar gantengnya berkurang.” Elina mencoba membuat lelucon yang tidak lucu supaya Ervin membuka matanya, tapi itu berakhir sia-sia. Kesal tidak di hiraukan Elina pun meraih tangan Ervin bermaksud menarik tangan pria itu agar bangun. Namun Elina harus mengubur niatnya saat merasakan suhu tubuh Ervin meningkat.
“Dia demam.” Elina menatap keringat yang membasahi kening Ervin.
“Mr. Pelit kamu masih sadar, kan? Mister!” panggil Elina. Ervin hanya bergumam. Elina panik lalu menghubungi seseorang yang bisa membantunya.
“Papa. Ervin sakit.”
Elina memutus sambungannya setelah mendapat jawaban dari Tristan. Elina mengganti pakaian Ervin yang basah karena keringat. Elina menyesal tidak mengetahui keadaan Ervin lebih cepat.
“Bertahanlah. Kita akan ke rumah sakit,” ujar Elina sembari mengancing kemeja Ervin.
***
“Kita tunggu hasil tes darah dari laboratorium,” ujar dokter yang menangani Ervin.
“Tapi dia baik-baik saja, kan, Dok?” tanya Elina. Tristan yang berdiri di sampingnya menoleh. Ini pertama kalinya ia melihat Elina khawatir. Tristan tersenyum melihat perubahan Elina yang menurutnya lebih dewasa.
“Dia baik-baik saja, panasnya memang cukup tinggi. Hampir 40 derajat celcius tapi tidak perlu khawatir sekarang perawat sudah menanganinya.”
Elina menghembuskan napas panjang setelah mendapat penjelasan dari dokter.
“Terima kasih, Dok. Apa kami boleh masuk?”
“Silakan. Perawat yang akan mengambil hasil tes darahnya jadi bapak dan adik tidak perlu repot-repot mengambilnya. Saya permisi.” Dokter itu pun pergi. Belum sempat Tristan bicara Elina sudah masuk ke kamar inap Ervin. Lagi, Tristan menekuk alisnya karena Elina.
“Apa mereka saling jatuh cinta?” gumam Tristan lalu menyusul Elina ke dalam.
Elina duduk kursi dekat tempat tidur pasien sembari menggenggam tangan Ervin yang terbebas dari infus. Elina merasa bersalah. Andai ia tahu lebih awal kalau Ervin sakit mungkin sekarang Ervin sudah siuman.
“Sayang kita makan dulu, ya. Kamu belum makan malam,” ujar Tristan.
“Enggak, Pa. Aku gak lapar. Aku mau di sini nemenin Ervin. Siapa tahu dia sadar dan butuh sesuatu,” ujar Elina. Tristan mengulum senyumnya.
“Kamu sudah mulai suka sama suami kamu?” tanya Tristan membuat Elina melepaskan genggaman tangannya. Elina menggeleng.
“Aku gak suka sama Mr. Pelit. Aku suka sama cowok lain.” Elina tersentak. Buru-buru ia menutup mulutnya. Tristan yang mendengar pengakuan Elina pun dibuat kaget.
“Kamu suka sama pria lain, El?” Elina menggeleng. Namun hal itu tidak membuat Tristan percaya. Elina menunduk. Ia mengakui perasaannya pada Tristan bahwa dia mencintai Varen. Tristan memijit pelipisnya kemudian menatap Ervin yang berbaring di atas tempat tidur.
“Elina, kamu tahu,’kan bagaimana peran seorang istri? Walau kamu tidak mencintai suamimu bukan berarti kamu bebas mencintai pria lain. Papa tahu itu sangat sulit untukmu dan kalian pun menikah karena perjodohan. Papa minta tolong untuk melupakan pria itu, cintailah suamimu.”
“Tapi Elina tidak bisa, Pa. Sangat sulit untuk kami saling memahami. Ervin sangat berbeda, ia tidak bisa memahami Elina. Dia bukan pria idaman.”
Tristan tertawa kecil membuat Elina menatapnya. “Pria idaman? Elina hidup itu tidak selamanya berjalan sesuai rencana. Kamu hanya belum belajar cara mencintainya. Dulu ayah juga seperti itu. Biarkan waktu yang menjawab perasaan kalian.”
Elina menatap Ervin. Saat tidur Ervin terlihat sangat tampan. Elina mungkin dengan mudah jatuh cinta padanya andai saja pria itu bisa bersikap manis. Elina tidak yakin bisa mencintai Ervin dengan tulus. Ia juga tidak mungkin menyakiti hati Varen yang selalu setia menemaninya.
“Semoga saja,” gumam Elina.
Rasa sakit yang menghantam kepalanya membuat Ervin mengerang. Perlahan matanya terbuka menyapu sekitar ruangan yang terasa asing. Dinding putih, sofa lebar, televisi besar, ruang ber-AC, dan kulkas satu pintu.
“Ini hotel?” gumam Ervin setengah sadar. Saat mengangkat tangannya ia merasa sesuatu yang aneh. Ada selang infus yang terpasang di tangannya. Ervin segera duduk menenangkan diri. Pintu kamar mandi terbuka. Elina muncul sambil menguncir rambutnya.
“Oh? Kamu sudah sadar?” tanya Elina, bergegas menghampiri Ervin. Kening Ervin mengkerut saat menatap Elina.
“Siapa yang bawa aku ke sini?” tanya Ervin.
“Aku.”
“Kenapa kamu bawa aku ke rumah sakit?”
“Karena kamu sakit.”
“Bukan seperti itu Elina. Kamu bisa bawa aku ke dokter atau ke klinik. Gak perlu ke rumah sakit.”
“Emang kenapa?” Ervin menghembuskan napas panjang. Bicara dengan Elina membuat kepalanya berdenyut. Ini tidak akan berakhir cepat.
“Biaya rumah sakit mahal apalagi dengan fasilitas mewah. Uang tabungan aku bisa terkuras banyak,” ujar Ervin membuat Elina mengepalkan tangannya.
“Terus mau kamu apa? Kamu mau aku cuma diam nunggu kamu sadar? Uang itu bisa dicari kalau kamu sudah sehat. Kenapa kamu selalu mempermasalahkan uang? Kita bisa minta sama papa,” sahut Elina dengan nada tinggi.
“Berhenti untuk tergantung dengan orang lain. Kita sudah menikah dan harus berusaha mandiri. Kalau sedikit-sedikit minta sampai kapan kita bisa dewasa.”
Mata Elina berkaca-kaca. Hatinya sakit mendengar ucapan Ervin. “Apa pun yang aku lakukan selalu salah di matamu. Aku tidak mau kamu di rawat di lorong rumah sakit karena semua kamar sudah penuh. Apa itu juga salah?”
Ervin tersentak saat melihat air mata Elina turun. Ia menyesali semua yang ia ucapkan. “Elina,” panggil Ervin dengan suara rendah.
“Aku memang payah,selalu nyusahin kamu. Aku hanya anak manja yang bisanya hanya meminta pada orang tua. Aku juga tahu kalau aku tidak akan pernah benar di matamu! Aku benci sama Mr.Pelit!"
Elina berlari keluar dari kamar rawat Ervin. Kepergian Elina membuat Ervin semakin menyesal. Belum pernah ia menyakiti hati wanita sampai menangis sesenggukan. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi.
"Merepotkan."