Keadaan perpustakaan sangat sepi saat Ervin masuk. Ada beberapa buku yang ingin ia pinjam sebagai bahan tugas. Ervin mulai menjelajah setiap rak buku yang ada. Sampai ada sebuah buku yang menurutnya sesuai untuk membantu pembuatan tugasnya. Ervin mengambil buku bersampul biru itu tepat saat seseorang juga mengambilnya. Mereka berdua menoleh. Ervin memberikan seulas senyum pada Dinda.
“Maaf, kamu juga ingin buku ini?” tanya Dinda. Ervin mengangguk pelan.
“Bagaimana kalau kita baca bareng-bareng?” usul Dinda.
“Buat kamu saja, Din, aku bisa cari buku lain,” tolak Ervin. Dinda memegang lengan Ervin ketika pria itu ingin pergi. Perlahan Ervin melepaskan tangan Dinda dengan lembut.
“Apa karena aku suka sama kamu jadinya kamu cuek?” tanya Dinda dengan kepala menunduk. Ervin mengusap tenguknya melihat sikap Dinda yang pantang menyerah mendekatinya.
“Maaf kalau kata-kata aku sedikit menyakitkan. Aku tidak suka sama kamu, Dinda. Aku sudah anggap kamu sebagai teman, sama seperti Isya dan teman lainnya. Lebih baik gunakan waktumu untuk belajar bukan untuk mengikutiku.” Ervin menepuk pundak Dinda. “Selamat belajar,” lanjut Ervin kemudian meninggalkan Dinda yang kecewa.
Ervin tahu ia sudah menyakiti hati Dinda atas ucapannya baru saja, tapi ia tidak bisa memberikan kata-kata manis yang menumbuhkan harapan dan cinta di hati Dinda. Cepat atau lambat Dinda akan bersyukur dengan ucapan yang ia lontarkan. Dengan cara seperti itu Dinda tidak akan berharap lebih pada Ervin, kecuali dia keras kepala.
Ponsel Ervin bergetar. Nama Tristan muncul di layar . Ervin sedang tidak ingin memikirkan hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan Elina, tapi sayang Ervin harus menerima panggilan itu karena bagaimana juga Tristan adalah mertuanya.
“Halo, Om Tristan,” kata Ervin ragu.
Bukan suara Tristan yang ia dengar melainkan suara Elina yang ketus dan menjengkelkan. Ervin memutar bola matanya kesal. Ia tahu ada sesuatu yang terjadi pada gadis itu.
“Iya, aku ke sana sekarang. Jangan bilang yang aneh-aneh sama papa kamu,” kata Ervin memperingati istri ‘tercintanya’. Ervin bergegas meninggalkan kampus. Ia punya waktu satu setengah jam sebelum kelas berikutnya di mulai. Ervin memacu ninja yang ditugganginya hingga sampai di depan rumah Tristan. Sekali lagi Ervin harus berdecak kagum dengan rumah itu.
Seorang pelayan menyambut Ervin ramah. Ia menuntun Ervin menuju sebuah ruangan yang menjadi penghubung antara kolam renang dan bagian dalam rumah. Dinding kaca yang membatasi halaman belakang dengan ruangan itu membuat Ervin bisa melihat hamparan rumput hijau serta kolam renang di luar sana.
Ini seperti resort, batin Ervin.
Pelayan cantik itu menyadarkan Ervin dari keterpesonaannya. Ervin segera duduk di sofa tepat di samping seorang gadis SMA yang memakai helm. Ervin bisa menebak kalau wanita itu adalah Elina. Gadis aneh, begitulah pikiran Ervin melihat Elina yang enggan melepas helm yang ada di kepalanya.
“Untunglah kamu sudah datang,” ujar Tristan sambil bersandar di sofa. Keadaan pria itu terlihat lebih baik dari terakhir kali mereka berjumpa.
“Iya, Om. Ada yang perlu dibicarakan?” tanya Ervin.
“Panggil aku papa. Saya adalah orang tua kamu juga,” ucap Tristan. Ervin menatap Elina namun gadis itu langsung menutup kaca helm-nya. Mode ngambek Elina kambuh. Ervin tersenyum melihat Elina kesal.
“Baik, Papa Tristan.”
“Saya mau bicara masalah kuliah Elina. Dia baru saja lulus dari SMA. Elina ingin kuliah di luar negeri. Lebih tepatnya Singapura. Apa kamu izinkan?” tanya Tristan. Ervin menatap Elina lekat. Ervin tahu ia tidak akan bisa mengekang Elina untuk mencapai mimpinya. Elina adalah dauh hijau yang baru tumbuh. Dia memiliki mimpinya sendiri. Ervin dengan senang hati mengizinkan walau ia mulai terbiasa akan hadirnya Elina dalam hidupnya.
“Saya izinkan,” kata Ervin tanpa ragu membuat Elina dan Tristan terkejut.
“Kenapa kamu izinkan Elina pergi? Dia istri kamu,” tanya Tristan.
“Saya yakin Elina punya mimpi yang ingin ia capai. Pernikahan ini terlalu dini, saya tidak ingin mimpinya pupus hanya karena pernikahan. Elina punya kesempatan yang sama untuk berkembang sama seperti gadis seusianya. Lagi pula saya belum bisa menjadi suami yang baik untuk Elina. “
Ervin meraih tangan Elina lalu menggenggamnya. “Suatu hari jika dia pulang nanti saya bisa menjadi suami yang pantas untuknya,” kata Ervin.
Tristan memejamkan matanya. Ia tersenyum haru mendengar ucapan Ervin. “Keputusan ada di tangan Elina, kalau tekadmu sudah bulat papa akan membiayai semuanya. Bahkan kalau kalian berdua mau kuliah di luar negeri pun akan papa tanggung.”
Ervin menggeleng. “Saat ini saya ingin menuntaskan kuliah di sini, mungkin jika ada kesempatan saya akan mempertimbangkan tawaran itu suatu hari nanti.”
Tristan mengangguk. Elina menatap Ervin yang sedang bicara dengan Tristan. Ada rasa ragu di hatinya untuk pergi. Padahal beberapa saat lalu keputusannya sudah bulat. Walau pun ia tidak mencintai Ervin, tapi sebagai seorag istri ia wajib mengurus rumah tangga dan suaminya.
“Maaf saya harus segera pergi, masih ada kelas lagi,” kata Ervin lalu menatap Elina yang sejak tadi diam.
“Kamu mau aku antar pulang, Elina?” tanya Ervin.
“Biar supir yang antar Elina pulang,” sahut Tristan.
“Tidak, Pa, aku mau pulang sama dia.” Elina berdiri lalu keluar begitu saja. Ervin berpamitan sebelum menyusul Elina.
“Jangan ngebut lagi. Hari ini aku masuk UKS karena pusing dan mual-mual setelah naik motor kamu. Kalau kamu ngebut aku bakalan mukul kamu,” ucap Elina.
“Iya, Mrs. Bawel. Cepat naik.”
“Ish… Mr. Pelit.”
Ervin mulai melajukan motornya perlahan meninggalkan rumah besar Elina. Ervin benar-benar kesal. Waktu yang biasa ia tempuh sekitar 20 menit untuk sampai di rumah kini terasa lebih lambat. Setiap kali ia menambah kecepatan Elina akan memukul kepalanya. Terpaksa Ervin melajukan motornya secepat becak. Sungguh ironis.
“Badanku rasanya remuk semua,” keluh Elina saat turun dari motor Ervin.
“Bukan cuma kamu, aku juga sama. Itu semua permintaan kamu,” sahut Ervin.
“Sudah sana pergi katanya ada kelas.”
Elina menyadarkan Ervin akan jadwalnya. Tanpa banyak debat Ervin meninggalkan Elina yang masih berdiri di depan rumah. Elina melambaikan tangannya walau ia tahu Ervin tidak akan melihatnya. Setelah Ervin menghilang dari pandangan, Elina pun masuk ke dalam rumah.
***
Untuk pertama kalinya dalam kamus hidupnya Ervin telat masuk kelas. Dosen killer yang terkenal di seluruh kampus kini sedang menatapnya penuh selidik. Ervin menelan ludahnya susah payah. Ia tidak pernah menyangka akan berurusan dengan dosen ini. Pak Supra namanya. Lebih tepat Supra George Sharp.
“Siang Pak Sup,” sapa Ervin.
“Sap, Sup, Sap, Sup, kamu kira saya makanan?”
Ervin segera menggeleng. Dosen satu ini sangat sensitif setiap kali ada orang yang menyebut namanya. Ervin menggenggam erat tas punggungnya.
“Kenapa telat?” Ervin memejamkan mata saat Pak Supra bicara di depan wajahnya. Percikan air ‘suci’ mengenai wajah Ervin membuat ia harus mengelapnya sesegera mungkin.
“Maaf sekali lagi, Pak. Saya siap menerima hukuman dari bapak. Tadi saya harus mengantar nenek-nenek pulang ke rumahnya. Kasihan Pak, nenek itu sudah tua, walau bawel tapi dia tetap nenek-nenek,” kata Ervin dengan wajah memelas. Ervin mengedarkan pandangan pada teman kelasnya. Ia tersenyum tipis melihat temannya menunduk sambil menutup mulut.
“Kamu mau ngecoh saya?” Pak Supra berkacak pinggang membuat Ervin menegang. Inilah detik-detik namanya akan dicoret dalam absen sebagai mahasiswa di mata kuliah kalkulus dosen Pak Supra.
“Kamu boleh duduk. Kali ini saya maafkan tapi jangan harap lain kali kamu selamat.” Ervin tersenyum senang lalu pergi ke tempat duduknya.
“Saya sudah katakan pada kalian semua usahakan tidak terlambat di kelas saya. Paham?”
“Paham Pak,” jawab mahasiswa serentak.
“Di awal perkuliahan saya sudah katakan kalau disiplin waktu itu adalah hal yang paling penting. Kalian akan merasakan betapa berharganya waktu itu ketika kalian tua nanti. Itulah kenapa yang diingat itu masa lalu bukan masa depan. Mengerti?”
“Mengerti, Pak.”
Ervin menghela napas panjang saat Pak Supra berbalik menghadap papan tulis. Ia akhirnya bisa lepas dari hukuman guru killer itu. Jarum jam terus berdetak. Ketegangan dalam ruangan itu terjadi sepanjang jam pelajaran. Pak Supra tidak membiarkan satu pun mahasiswanya menatap ke arah selain slide yang ada di depan. Satu saja ada mahasiswa yang menatap ke arah lain maka tamat sudah riwayatnya.
Ervin melirik jam digital di ponselnya. Dua menit waktu tersisa membuat Ervin tidak sabaran menunggu pelajaran berakhir. Isya yang ada di sampingnya juga melakukan hal yang sama. Ervin tidak heran kalau teman-teman yang lain dengan gerakan pelan memasukkan buku mereka ke dalam tas. Pandangan mereka tetap tertuju pada Pak Supra yang mendongeng kisah masa lalunya yang menurut dia berkesan.
“Maaf, Pak sudah waktu pulang,” kata Ervin sembari menunjukkan jam digital yang ada di ponselnya pada Pak Supra. “Bapak bilang kita harus menghargai waktu, jadi kita harus mengakhiri pelajaran hari ini dengan tepat waktu.”
Pak Supra melepas kacamatanya. “Baiklah, kalian bisa keluar.” Belum semenit Pak Supra mengatakannya, para mahasiswa sudah hilang dari hadapannya. Hanya ada kursi kosong yang menyaksikan Pak Supra di depan kelas.
“Mahasiswa gak ada akhlaknya,” gumamnya sambil melenggang pergi.
***
Ervin membaringkan tubuhnya di atas kursi yang ada di bawah pohon rindang. Angin bertiup sepoi-sepoi membuat matanya terasa berat. Sayang ia tidak bisa tidur sekarang karena ia harus bekerja.
“Kalau Elina jadi ke luar negeri itu artinya aku tidak perlu repot-repot siapin uang jajan. Aku bisa nabung,” gumam Ervin dengan senyum sumringah.
“Ervin!” Teriakan itu sukses membuat Ervin terbangun. Isya berlari tergopoh-gopoh diikuti oleh Bimo di belakangnya.
“Gue cariin lo keliling kampus malah di sini,” kata Isya.
“Ada apa emangnya?”
“Dicari sama pengurus BEM. Lo masuk ke DPO.”
“DPO? Kok bisa? Aku gak ada salah sama pihak mana pun,” kata Ervin kaget bahkan dia langsung duduk.
“Emang gak ada salah. Kamu masuk ke daftar panitia ospek tahun ini. Kamu dapat beasiswa,’kan?” Ervin mengangguk lega. Dia pikir akan menjadi salah satu daftar pencarian orang di lingkungan kampus.
“Sana ke ruang BEM biar singa betina itu gak marah?”
“Singa betina siapa?”
“Si Betty temannya Rendi yang jago bela diri,” jelas Isya.
“Tadi saja dia marah gara-gara kesal,” lanjut Bimo membuat perempatan muncul di kening Isya dan Ervin. Kata-kata itu sangat mirip dengan pernyataan kenapa why selalu always yang sering mereka debatkan.
“Oke, aku ke ruang BEM dulu.” Ervin menyampirkan tasnya ke bahu kiri. Ia bergegas pergi ke ruang BEM. Baru saja ia sampai di depan ruang BEM terdengar kericuhan di dalam sana. Tiba-tiba pintu terbuka, seekor kucing melompat ke arah Ervin. Dengan cepat Ervin berhasil menghindar dari serangan kucing oren.
“Yah kabur.”
“Itu kucing siapa?” tanya Ervin pada pria berkacamata yang baru keluar dari ruang BEM. Ervin yakin pria inilah yang membuka pintu.
“Itu kucing berdasi nyolong duit buat beli cilok.”
“Eh? Emang kucing bisa belanja?” tanya Ervin.
“Maksudnya uang itu mau dipakai beli cilok tapi keburu dirobek kucing,” jelas seorang wanita berambut pendek dengan wajah sangarnya. Dia Betty. Ervin sangat mengenalnya walau tidak akrab.
“Kamu Ervin?” tanya Betty. Ervin mengangguk. Betty langsung memberikannya selembar kertas. Ervin membacanya dengan seksama. Beberapa syarat harus ia penuhi sebelum resmi menjadi panitia Ospek. Walau pun Ervin tidak berniat sedikitpun ikut dalam kegiatan itu tapi demi mempertahankan beasiswa ia harus melakukannya. Salah satu syarat agar Ervin bisa mempertahankan beasiswanya adalah aktif di organisasi.
“Kapan pengumpulan terakhir?”
“Besok.”
Ervin menghembuskan napas kesal. Kenapa pemberitahuannya mendadak begini. Kalau saja Ervin tidak dapat beasiswa mungkin dia akan menolak mentah-mentah. Lebih baik dia bekerja dari pada ngurus mahasiswa baru yang jumlahnya ratusan yang sifatnya beda-beda. Ervin bergegas pergi setelah Betty dan temannya masuk ke ruang BEM.