Arseno terlihat menatap pantulan dirinya pada cermin sembari menyisir rambut hitam pekatnya ke belakang. Dokter muda itu menipiskan bibir lalu melangkah turun dengan menyempatkan menutup pintu kamarnya.
Setengah berlari ke arah bagasi, ia pun melesat masuk ke mobil dan bergegas menuju pasar malam.
Azura dan Alvaro mengajaknya untuk melepas penat karena masalah kemarin. Keduanya tidak hanya mengajaknya. Tapi beberapa teman mereka juga. Kalau tidak salah ada yang bernama Azzam, kembarannya Azura. Ada juga Bagas dan Maliq. Tiga orang yang sempat mengintrogasi Arseno karena pemuda itu dikira Alvaro yang menyamar jadi dokter.
Arseno menghentikan mobilnya dan memarkirkannya pelan. Dengan membuka pintu mobil ia pun melangkah keluar berjalan mencari keberadaan Alvaro yang sedari tadi sudah sampai bersama sang istri.
Pemuda itu hendak berbelok namun tersentak kaget saat melihat Metta juga berada di sana. Gadis berambut sebahu itu terlihat memakai dress selutut berwarna abu-abu terang hampir senada dengannya. Arseno mengerjap samar dengan perlahan mendekat membuat Metta sontak tersenyum manis.
"Di sini! Di sini!" Teriakan cempreng Azura membuat keduanya mengangguk lalu melangkah ke arah dua orang itu. Setelah Arseno dan Metta sampai terlihat Bagas dan Maliq mengekori. Bahkan, ada dua orang lagi. Mereka seperti pasangan, Arseno sempat mendengar Azura menyapanya. Oh iya, namanya Kevin dan Intan. Pasangan yang sedang harmonis-harmonisnya.
"Ayooo buruan, kita ke rumah hantu sekarang." Kata Azura tanpa basa-basi membuat Alvaro memutar mata jengah.
"Nanti disana nangis nangis, terus ujung ujungnya yang disalahin aku?" Sindir Alvaro dengan bibir mencuat kecil, Azura mendesis lalu menyenggol lengan suaminya kecil.
"Enggak. Dulu kan aku masih anak SMA makanya takut, kalau sekarang mah gak lagi." Katanya seakan yakin, Alvaro mengangguk saja membuat yang lain tertawa kecil melihat itu.
Mereka pun berbondong-bondong melangkah cepat sembari membeli tiket terlebih dahulu. Setelah itu, mereka berjalan menuju tempat dimana uji nyali akan dilaksanakan.
Azura dan Alvaro di depan yang memimpin, keduanya saling pandang lalu mengangguk seakan saling menguatkan. Berbeda dengan Arseno dan Metta yang hanya menatap tenang tempat gelap dengan cahaya remang-remang itu. Di belakangnya ada Kevin dan Intan yang sudah saling berpegangan tangan membuat Bagas dan Maliq menghela kasar melihat itu.
Azura melangkah lebih dulu diikuti Alvaro memasuki ambang pintu. Sesuatu menyentuh tangan gadis itu membuatnya sontak memekik kaget.
"Heh! Ini tangan gue," ujar Alvaro yang ikut latah kecil karena pekikan Azura yang tiba-tiba, "kalau mau pegang tuh bilang bilang. Jangan ngagetin," cerocosnya kesal walau kembali melangkah masuk membuat Alvaro mengekori.
Di dalam sana mereka terlihat melewati jalan setapak dengan pemandangan kiri kanannya yang begitu gelap. Ada banyak bercak darah berceceran di tanah basah itu membuat tempat itu makin menakutkan.
Suara tawa terdengar keras membuat Azura dan Alvaro kompak melompat kecil dan menelan saliva kasar. Saking takutnya Azura sudah meringis kecil ingin menangis.
Berbeda dengan Arseno yang sesekali melirik kearah Metta yang memekik kecil di sebelahnya. Pemuda itu mengulum senyum kecil melihat Metta yang sudah memejamkan matanya erat tidak ingin melihat hal menakutkan di hadapannya kini.
Arseno berdehem pelan dengan menjulurkan tangan meraih lengan Metta membuat gadis itu mendongak kearahnya, "gue pinjamin." Ujarnya santai dengan menaruh tangan Metta pada lengan kekarnya. Metta menggigit bibir, mendadak sikap Arseno yang membuat jantungnya berpacu cepat. Emang efek seorang Arseno itu begitu berpengaruh dalam hidupnya.
Di belakang keduanya, ada Kevin yang berusaha menutup mata Intan dengan tangannya melindungi penglihatan gadis itu dari hantu jadi-jadian yang mengangetkan mereka sepanjang perjalanan.
Sedangkan Maliq dan Bagas yang paling miris. Apalagi Bagas yang sesekali menempel pada Maliq membuat pemuda itu mendorongnya kasar.
"Allahu akbar!" Teriak Bagas saat sosok berambut panjang menyambutnya di belokan, Maliq yang melihat itu hanya menatapnya prihatin.
"Bohongan elah hantunya." Ujarnya tanpa merasa terusik dengan hantu-hantu yang bermunculan, pemuda itu malah sesekali melambai kecil kearah hantu-hantu itu membuat Bagas mengumpat samar.
Bagas kembali mengumpat saat Maliq mendekati salah satu hantu dan mengobrol santai dengannya.
"Ngapain lo ngobrol anjir?" Pekik Bagas tertahan ingin sekali menenggelamkan pemuda itu ke dalam tanah, Maliq tak menanggapi malah menatap lekat wajah sosok yang kini merunduk dengan luka bakar di wajahnya.
"Mas kenapa nunduk? Malu yah?" Celetuknya tak bermutu. IYA. Seorang Maliq mengajak setan mengobrol walau setannya cuma bohongan.
"Dia gak malu anjeeng, dia perannya emang begitu. Buruan jalan itu ketinggalan, yang lain udah jauh." Cerocos Bagas walau takut-takut melirik sosok yang terlihat kaget saat Maliq memukul pelan bahunya.
"Semangat mas jadi setannya." Ujarnya lalu melangkah tenang membuat Bagas melongo lalu kembali berlari mengekori pemuda berkulit agak gelap itu.
"Ini mendadak Maliq yang jadi setannya," ujar Bagas mendelik ngeri sendiri.
"WOIIIII MALIKA! TUNGGUIN!"
_____
Bagas mendengkus kasar. Pemuda jangkung itu masih kesal dengan ulah Maliq yang meninggalkannya di dalam rumah hantu tadi. Apalagi pemuda berkulit gelap itu malah mengajak beberapa hantu untuk mengobrol. Walaupun hantunya bohongan, yah tetap saja nyeremin.
Bagas mendongak kecil saat melihat Arseno dan Alvaro melangkah mendekat dengan menenteng makanan pesanan mereka semua. Kedua pemuda sekaligus adik-kakak itu sudah mendudukan diri pada kursi dengan sekilas meletakan nampan di atas meja.
Alvaro berdecak lirih lalu menyodorkan minuman dingin kearah Azura, "minum dulu biar gak marah marah terus," cibirnya dengan mendekatkan gelas minuman pada Azura.
"Ck. Kalau aku marah emangnya kenapa? Emang kamu pantas dimarahin? Siapa suruh tadi pas di dalam sana ikut teriak ketakutan? Bukannya nolongin aku malah heboh sendiri." Cerocos gadis itu masih kesal, "gak guna bangat jadi suami."
"Lah wajarlah aku teriak, siapa yang gak kaget coba pas ngelihat kembaran Maliq muncul tiba tiba?" Balas Alvaro dengan menumbalkan Maliq.
Maliq yang duduk berhadapan dengan Bagas hanya menggeleng lemah. Kevin dan Intan sudah saling menukar makanan mereka dengan sesekali saling menyuapi. Berbeda lagi dengan Arseno dan Metta yang hanya diam menikmati pasta garlic yang mereka pesan.
Arseno juga bingung harus ikut mengobrol. Tidak paham juga dengan obrolan mereka yang sulit otaknya pahami.
Azura mendelik lagi dengan menyedot minuman dinginnya sarkas.
"Seharusnya tadi lo tuh masuknya sama Maliq, Ra. Ni anak gak ada takut takutnya, malah dia ngajak setan ngobrol. Kan b**o," cibir Bagas ngeri sendiri membuat Azura melotot kaget.
"Bukan setan, cuma bohongan." Kata Maliq membela diri, "yah tetap aja anjir, nakutin." Balas Bagas tak mau kalah.
Azura memicingkan mata dengan menatap Intan dan Kevin yang sudah asik dengan dunia mereka sendiri.
"Ini anak dua sejak kapan lengket gini, sih?" Tanya Azura dengan kening mengkerut, Alvaro mengangguk membenarkan merasa kesal juga dengan dua orang itu yang sedari tadi mesraan di tempat umum begini. Kan kasian Bagas dan Maliq. Alvaro mah enak, ada Azura. Walau harus disiksa dulu.
Bagas ikut mencibir, "merinding gue lihatnya. Daritadi nempel bangat udah kayak perangko,"
Maliq malah tertawa kecil sembari mencolek kentang gorengnya pada sambal dan menggigitnya.
"Bilang aja lo sirik." Ujarnya tanpa dosa.
"Bukan sirik setan, geli gue lihatnya." Alibi Bagas membuat yang lain mentertawainya.
Arseno hanya tersenyum samar sembari memandangi jam tangannya lalu menghela pelan.
"Gue kayaknya harus pamit duluan. Soalnya ada operasi lagi malam ini," ujar pemuda itu merasa tidak enak hati, Metta yang duduk di hadapannya diam-diam mendesah kecewa mendengar itu.
Alvaro melemaskan bahu, "emang harus banget operasi malam? Gak bisa nunda besok aja?"
Arseno menggeleng dengan senyuman tipisnya.
"Gak bisa. Kalau ditunda malah numpuk pasiennya," jelasnya lalu beranjak berdiri membuat Metta mendongak dengan alis terangkat, gadis itu sudah hilang nafsu makan malah memainkan pastanya di piring.
"Yaudah hati hati. Kalau udah sampai di sana kabari, yah." Ujar Alvaro lagi membuat pemuda itu mengangguk lagi walau sekilas melirik kearah Metta yang sudah merunduk pada piringnya.
"Elo belum balik?" Ujar Arseno membuat yang lain terdiam sembari memperhatikan keduanya.
Metta yang menyadari kediaman teman-temannya jadi mendongak kaget.
"Eh? Gue?" Ujarnya linglung.
Azura mengulum senyum melihat itu.
"Hm. Iya," balas Arseno masih menunggu gadis itu, Metta mengangguk kecil, "yaudah ayo, sekalian gue antar." Ajak Arseno buat gadis itu membulatkan mata. Diam-diam mengulum senyum mendengar itu.
Arseno pun melangkah lebih dulu memimpin dengan Metta yang masih berjalan di belakangnya sembari berlari kecil.
Metta tersentak kaget saat Arseno mendadak membalikan tubuhnya membuat ia menarik diri kaget.
"Elo lain kali gak usah pake dress begini."
"Hng? Kenapa? Gak cocok ya?"
Arseno berdecak lirih dengan mendengus pelan melesat masuk ke mobil.
"Gak cocok apanya, cowok-cowok pada mupeng lihatin lo tadi,"