Ronald masih berusaha menarik tas tosca yang masih Arra genggam dengan begitu erat, membuat Ronald menggeram dan sekali lagi menampar wajah Arra, membuat gadis itu meringis dan reflek menggenggam wajahnya hingga tangannya terlepas pada tas tosca itu, Ronald tersenyum menang dan mencari dompet Arra, mengambil semua uang yang tersisa di dompet gadis itu, namun seketika senyumnya menghilang karena hanya sedikit yang bisa ia dapatkan dari pundi-pundi pencetak uangnya. Ia melemparkan kasar tas serta dompet itu tepat ke wajah Arra, berjongkok dan kembali mencengkram rahang gadis itu.
“Kau ingin bermain-main denganku?! Berikan uangnya sekarang!.” Ujar Ronald berteriak di depan wajah Arra.
“Aku tidak punya Daddy, semuanya telah kau ambil kemarin.” Ujar Arra lirih membuat Ronald semakin erat mencengkram rahang Arra lalu menghempaskannya.
“Jika besok kau tidak mendapatkan uang, jangan harap ibumu itu akan selamat.” Ronald keluar dengan membanting pintu kasar. Dan tepat saat itu Bianca keluar bersama Daisy yang langsung memeluknya.
“Tidak apa-apa Mommy, aku baik-baik saja, apa kalian sudah makan malam?” Tanya Arra tersenyum walau ia merasa nyeri saat berbicara karena tamparan Ronald yang entah berapa kali ke wajahnya.
“Kak,” Bianca langsung memeluk Arra dan terisak di bahu kakaknya itu, ia menyesal tidak membuka pintu lebih awal.
“Tidak apa-apa Bianca, ayo kita makan malam,” Arra beranjak dan menuntun Daisy menuju meja makan yang diikuti Bianca, gadis itu langsung membuka kulkas dan menghela napas panjang karena tidak ada apa apa di sana.
“Mommy, aku akan membeli beberapa bahan makanan, hanya tersisa sawi di sana, aku akan segera kembali.” Ujar Arra berlalu meninggalkan dapur dan menuju swalayan terdekat.
Gadis itu memilih berjalan ke swalayan yang jauhnya sekitar satu kilometer, menikmati angin malam yang menerpa wajahnya, hari-harinya selalu terasa melelahkan, namun semua lelah itu akan langsung hilang begitu melihat ibunya yang sakit baik-baik saja, ia harus mengumpulkan uang sedikit-demi sedikit untuk biaya operasi ibunya, walau ia sendiri tidak yakin uang itu akan terkumpul, namun setidaknya ia telah memiliki tekad.
Arra menghentikan langkahnya saat mendengar suara seseorang yang terasa familiar berasal dari LED TV yang ada di sisi jalan itu menarik perhatiaannya, ia semakin berjalan cepat agar mencapai LED TV itu lebih dekat, dan seketika air matanya merebak melihat siapa yang ada di balik layar kacanya. Seseorang yang sangat ia rindukan.
“Jadi Mr. Lewis, anda memutuskan untuk menjalankan perusahaan pusat di tanah kelahiran anda, Singapura, karena anakmu telah sembuh dari sakitnya?”
Berita yang sedang mewawancarai Daniel Isaac Lewis, pebisnis nomer satu Singapura yang baru kembali dari Jerman itu membuat Arra semakin membekap mulutnya.
“Ya, aku kembali karena memang sudah waktunya kembali, dan anakku Abella juga telah sembuh dari gagal jantungnya.”
Ujar pria paruh baya yang masih terlihat begitu kharismatik itu, setelah mengucapkan itu muncul seorang gadis yang berjalan dengan wanita paruh baya di sisi pebisnis bernama Isaac itu, gadis yang semakin membuat seorang gadis terisak di bawah LED TV jalan itu, gadis yang memiliki wajah yang sama dengannya.
“Kalian kembali? Kalian telah kembali?” Arra bermonolog dan semakin terisak di sana. Menatap pada layar LED yang menampilkan sebuah keluarga bahagia.
***
Pagi-pagi sekali Arra sudah berada di kampus, setiap pagi ia selalu bekerja dengan mengantar s**u dan koran ke komplek perumahan, dan setelah melakukan rutinitas seperti biasanya tadi dirinya langsung pergi ke kampus, karena ia tahu Dean memiliki kelas pagi hari ini dan ia tidak ingin membuang kesempatan, dalam dirinya selalu tertanam jika ia harus menyelesaikan amanah yang telah diberikan padanya, salah satunya menjadi Kepala Departement di eksekutif mahasiswa dan tugasnya di acara Dies Natalies kampusnya kelak.
Hari ini ia tampil sedikit berbeda dengan masker yang menutupi sebagian wajahnya, setiap ayahnya memukulnya ia akan menyamarkannya dengan bermacam foundation, namun terkadang foundation tidak bisa menghilangkan lebam karena terlalu hitam dan jika ia terus memakai foundation justru wajahnya terlihat seperti hantu karena terlalu putih.
Arra langsung beranjak dan menghampiri Dean yang berjalan santai dengan tas hitam di bahu kanannya, ia merentangkan tangannya agar Dean berhenti, membuat pria itu langsung menatap tajam ke arahnya.
“Kita harus bicara untuk membahas lagu yang akan kita bawakan di acara Dies Natalies, kapan kau mempunyai waktu?” Tanya Arra membuat Dean menatapnya semakin tajam.
“Aku tidak akan ikut acara bodoh itu dan tidak tertarik membahas apapun bersamamu.” Dean mendorong tubuh Arra membuat gadis itu terhuyung namun dengan cepat Arra menahan pergelangan tangan Dean.
“Kau tetap harus melakukannya suka atau tidak suka!” Ujar Arra tegas dan menatap Dean dengan tatapan keharusan, keharusan jika pria itu tidak boleh membantah ucapannya. Dean balik mencengkram tangan Arra membuat gadis itu meringis, ringisan Arra menarik Dean untuk menatap lengan Arra yang terlihat lebam keunguan, Arra yang menyadari itu berusaha melepaskan tangannya, hari ini dirinya hanya menggunakan kemeja polkadot tiga perempat yang tidak menutupi seluruh lengannya, ia lupa kapan luka itu ia dapatkan dari Ronald.
“Kau tidak berhak mengaturku Nona, pergi baik-baik sebelum kesabaranku hilang.” Dean mencengkram rahang Arra membuat masker gadis itu sedikit turun dan lagi-lagi Dean tertegun dengan lebam di wajah gadis itu serta kening gadis itu yang terluka. Namun cepat-cepat ia menguasai dirinya dan menghempaskan Arra begitu saja, meninggalkan gadis yang masih mematung setelah perlakuannya.
Arra memegangi dadanya yang berdetak tidak beraturan saat Dean menatapnya begitu dekat, bahkan ia bisa merasakan hembusan napas Dean yang beraroma mint dan kini dirinya seperti orang bodoh yang lupa daratan hanya karena Dean Keandre.
Dean menolehkan kepalanya sekali lagi, menatap gadis yang tadi menghalangi jalannya masih mematung di tempatnya. Pikirannya terus berspekulasi apa yang terjadi dengan gadis itu, dan entah sejak kapan ia tertarik dengan kehidupan orang lain, namun tatapan Arra yang terlihat lelah dan rapuh membuat pikiran-pikiran itu tidak mau menghilang dari otak Dean.
~*~
Gadis itu masih terdiam di kantin kampus menikmati secangkir caramel macchiato favoritnya setelah usaha keduanya gagal untuk bernegosiasi dengan Dean Keandre terkait dengan masalah Dies Natalies.
“Hai Arrabela,” sapaan riang yang terdengar oleh Arra membuat gadis itu mendongak dan tersenyum melihat kedua pria yang semalam baru saja menolongnya kini terlihat berjalan menghampirinya.
“Ooh hai, Samuel, hai Edward.” Arra tersenyum pada mereka dan melambaikan tangannya membuat kedua pria itu yang memang berniat menghampiri Arra tersenyum dan bergegas menuju gadis itu.
“Aku mempunyai hutang pada kalian, pagi ini aku yang akan mentraktir kalian sarapan.” Ujar Arra membuat Edward tersenyum, Edward sudah akan beranjak untuk memesan sarapan gratis itu, namun Samuel dengan cepat menarik ujung sweater jingga yang dikenakan pria itu.
“Ada apa Samuel, aku lapar.” Edward merengek seperti anak kecil membuat Arra terkekeh di balik masker yang menutupi wajahnya itu.
“Ck. Bukankah kau baru saja sarapan denganku tadi.” Samuel mendecak kesal sedangkan Edward hanya menunjukkan senyum tak berdosanya sambil melirik ke arah Arra dan tersenyum malu.
“Tadi bukan sarapan Samuel, kau hanya memberiku sepotong roti,” Ujar Edward dengan raut yang dibuat-buat.
“Sepotong roti dengan daging asap, telur, keju, tomat serta daun selada jika kau lupa, Sir.” Samuel meralat ucapan Edward, membuat pria yang memiliki dimple itu lagi-lagi tersenyum bodoh.
“Tidak apa-apa Samuel, biarkan Edward memesan sarapannya.” Arra masih tersenyum, walau tertutup oleh masker Samuel bisa melihat senyum gadis itu yang menyentuh mata hingga matanya menyipit.
“Sebelumnya akan lebih baik jika kita menggunakan sapaan informal,” Ujar Samuel yang langsung disetujui Arra karena menurutnya itu lebih baik. “Dan kenapa hari ini kau menggunakan masker? Kau sakit?” Tanya Samuel membuat Arra hanya menggelengkan kepalanya.
“Iya Arra, apa kau sakit?” Tanya Edward setelah memesan sarapannya kepada bibi pemilik kantin.
“Bukan apa-apa, aku hanya merasa sedikit flu dan tidak ingin menularkan virusnya pada orang lain.” Arra berusaha tertawa walau nyeri masih ia dapatkan di wajahnya. “Kalian tidak ada kelas?” Tanya Arra kembali.
“Sebenarnya kami ada kelas yang sama dengan Dean pagi ini, tapi saat kami melihat bagaimana Dean memperlakukanmu di depan ruangan tadi, kami jadi mengikutimu, biasanya wanita yang mendapatkan perlakuan seperti itu dari Dean akan menangis tapi nyatanya kau sedang menikmati latte-mu dengan tenangnya.” Samuel terkekeh membuat Arra ikut tersenyum.
“Ralat Tuan, aku bukan gadis yang mengejarnya karena tertarik padanya, ini sebatas amanah yang harus aku jalankan dan aku tidak melibatkan perasaanku jadi tidak ada alasan untukku menangis karena penolakannya, karena ya hidupku sudah terlalu banyak mendapat penolakan mungkin haha.” Ujar Arra tertawa kecil membuat kedua pria tampan di hadapannya ikut tertawa, ternyata mengobrol dengan Arra menjadi hal yang menyenangkan untuk keduanya.
“Astaga, apa di sini ada seorang single yang sedang curhat karena sering ditolak? Tapi tenang saja, aku tidak akan menolak gadis manis sepertimu.” Ujar Edward menggoda Arra dengan mengedipkan sebelah matanya membuat Arra memukul lengan pria itu.
“Ck kenapa pikiran kalian tidak pernah jauh-jauh dari asmara, aku curiga kalian yang lebih sering ditolak, maksudku aku sering ditolak saat melamar kerja paruh waktu dan itu jauh berbeda dengan yang ada di otak kalian.” Samuel dan Edward hanya tersenyum kikuk dan kompak memegang belakang kepala mereka. “Aahh sepertinya aku harus pergi, aku ada rapat dengan anggota eksekutif mahasiswa lain.” Arra melirik arlojinya dan menatap keduanya dengan tatapan menyesal.
“Ooh tidak apa-apa, kami juga akan ada kelas lima belas menit lagi.” Ujar Samuel yang juga ikut melirik arloji di tangan kirinya, Arra beranjak begitu juga dengan yang dilakukan Samuel, namun Edward yang masih menikmati sarapannya menahan lengan Samuel.
“Temani aku menghabiskan sarapan ini, Samuel,” ujar Edward dengan mulut penuhnya, membuat Samuel menatap kesal ke arah Edward, sedangkan Arra hanya terkekeh, melambaikan tangannya meninggalkan mereka berdua menuju kasir lalu berlalu meninggalkan kantin.
~*~
Dean hanya menatap malas dosen yang sedang menjelaskan materi, entah kenapa pikirannya justru terus tertuju pada gadis itu, gadis yang baru dua kali ia lihat namun dengan kurang ajarnya pagi ini justru merusak hari Dean.
“Dean, Dean,” Edward menyenggol bahu pria itu membuat Dean tersentak kaget dan menatap tajam ke arah Edward, sedangkan Edward hanya tersenyum kikuk. “Kau di panggil Dosen Aldrich untuk menjelaskan apa yang ia katakan tadi.” Perkataan Edward membuat Dean sedikit gelagapan, ia membuka bukunya seolah sedang mencari materi yang baru saja dijelaskan dosen dengan rambut yang memutih hampir semuanya.
“Hari ini membahas karya Chopin yang berjudul Tristesse,” Ujar Samuel berbisik, pria itu duduk di samping Dean, dan memang sudah menjadi kebiasaan dua bersaudra itu selalu duduk di samping kiri dan kanan Dean.
“Etude No.3, Op. 10 In E Major, banyak orang menyebut piece ini Tristesse karena menggambarkan kesedihan yang diambil dari bahasa Prancis jika arti dari Tristesse ini adalah kesedihan. Piece ini merupakan Etude dari Chopin yang paling terkenal, bahkan tergolong sebagai salah satu karya terbaik Chopin. Bermain di nada dasar E mayor yang terkenal sebagai nada sedih dan sendu, selain itu sebagai tambahan, Etude itu merupakan karya yang dibuat untuk melatih tangan para pianis agar lihai menari–nari di atas tuts piano.” Ujar Dean hanya menjelaskan dasar dari penjelasan panjang lebar dan mendalam dari sang dosen, membuat Dosen Yoon hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Tolong perhatikan penjelasan saya, jika kau sudah bosan silahkan keluar, saya tidak mengajar mahasiswa yang melamun di sini.” Ujar Aldrich menatap Dean tajam membuat pria itu hanya membuang wajahnya dan mendengus kesal.
“Hei siapa yang kau pikirkan Dean Keandre? Jarang sekali kau tidak fokus pada kuliahmu? Apa gadis yang mengajakmu berduet itu?” Tanya Edward dengan menaik turunkan alisnya membuat Samuel ikut tersenyum, namun lagi-lagi Dean mengacuhkannya seolah mereka berdua adalah hal yang tak terlihat.
~*~
Ucapan selamat siang dari dosen yang menandakan berakhirnya kelas hari itu membuat semua mahasiswa segera bergegas membereskan alat tulis mereka dan menghambur keluar kelas, begitu juga dengan gadis yang hari ini mengenakan hoodie biru dongker, ia berjalan dengan tergesa untuk menuju gedung lain tempat di mana pria itu memiliki kelas yang berakhir sama dengan jam kuliahnya.
“Dean Keandre,” teriakan Arra yang begitu menggema di sepanjang koridor lantai satu gedung F itu membuat semua mata menatap horor ke arahnya, sedangkan gadis itu tidak mempedulikan tatapan aneh mahasiswa lain, ia sibuk mengatur napasnya yang berlari dari gedung D dan beruntung menemukan Dean yang sedang berjalan santai akan meninggalkan kampus. Ia berjalan mendekati pria itu dan tanpa aba-aba langsung menyeret Dean keluar.
Dean yang seolah kehilangan kendali terlihat pasrah saat Arra menyeretnya, entah kemana pikiran pria itu yang selalu bersikap otoriter namun kini dengan mudahnya ia diseret oleh seorang gadis, dan saat pikirannya kembali ia langsung menyentak tangan Arra kasar membuat gadis itu terkejut.
“Berapa kali kubilang berhenti menggangguku!” Dean menatap nyalang Arra dan meninggalkan gadis itu begitu saja.
“Aku tidak merasa mengganggumu Dean Keandre, aku hanya mengingatkanmu jika kau memiliki kewajiban sebagai mahasiswa di sini untuk mengisi acara Dies Natalies.” Arra berkata tidak kalah ketusnya, membuat Dean menatap gadis itu intens dari atas hingga bawah, Arra yang ditatap dengan begitu nyalang menggigit bibirnya gugup.
“Persetan dengan acaramu. Dengar baik-baik,” Dean mengarahkan telunjuknya tepat di depan mata gadis itu. “Berhenti menggangguku jika kau ingin hidupmu tenang,” Dean berlalu pergi.
“Bahkan tanpa kehadiran dirimu hidupku tidak pernah tenang.” Arra melemaskan bahunya dan menggumam lirih namun gumaman itu masih bisa terdengar oleh Dean, membuat pria itu menahan dorongan dalam dirinya untuk tidak berbalik dan melihat bagaimana wajah sendu gadis yang masih tertutup masker itu, dan setan egois dalam dirinya memenangkan pergulatan batin itu, ia terus melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi ke belakang.
Arra berjalan dengan kepala tertunduk setelah Dean meninggalkannya, kepalanya dipenuhi pemikiran agar Dean mau berduet dengannya, rapat tadi siang membahas jika banyak sekali mahasiswa yang sangat antusias menanti penampilan Dean, bahkan banyak dari beberapa stasiun TV yang akan meliput acara tersebut dan sponsor juga berdatangan jika Dean benar-benar akan tampil, dan itu semua membuat kepalanya pening karena secara tidak langsung satu-satunya orang yang bertanggung jawab hanya dirinya.
Sibuk dengan pemikirannya yang bercabang tentang Dean membuat gadis itu tidak memperhatikan jalannya hingga ia merasakan sakit saat kepalanya membentur sesuatu yang terasa keras, ia mendongak dan melihat tubuh tinggi yang menjulang di depannya memberikan killer smile yang membuat semua gadis pasti akan meleleh melihatnya.
“Apa yang dipikirkan otak cantikmu ini hingga kau mengorbankan tubuhmu untuk terluka?” Samuel bertanya dengan santainya masih dengan senyum mautnya tanpa rasa berdosa karena telah membuat hati gadis itu berdesir.
“Apa ini ada hubungannya dengan Dean?” Suara lain di samping Samuel membuat Arra mengalihkan perhatiannya dan menatap Edward yang tersenyum begitu manisnya, jika setiap hari seperti ini ia yakin akan terkena diabetes karena mendapat senyum manis kedua pria tampan itu.
“Ya begitulah, tidak bisakah kalian membantuku?” Arra bertanya dengan nada putus asa membuat kedua pria itu menatapnya simpati.
“Mungkin jika di kampus kau tidak berhasil kau bisa ke rumahnya dan lebih gencar lagi untuk membujuknya.” Ucapan dari Samuel seolah bagaikan setetes air di padang gersang yang langsung memberikan sebuah kehidupan untuk gadis itu, ia tersenyum dan menatap Samuel penuh terima kasih.
“Kami bisa mengantarmu ke rumah Dean jika kau mau?” Sekali lagi tawaran dari Edward membuat gadis itu tersenyum dan mengangguk antusias.
“Tapi apa aku tidak mengganggu waktu kalian?” Tanya Arra saat mereka menuju tempat parkir.
“Tidak, kami sudah tidak ada kelas hari ini.” Edward mengedipkan matanya dan menarik Arra untuk segera masuk ke mobilnya yang diikuti Samuel.