Chapter 1

2155 Kata
Gadis itu menjatuhkan bokongnya di rerumputan yang telah mati, mulai memetik senar-senar gitarnya menjadi dentingan nada yang menyayat-nyayat hati. Meliuk dari nada rendah, merambat naik semakin tinggi , jemarinya lincah menari-nari di atas fret gitar, berpindah dari minor ke mayor, ia memejamkan mata meresapi alunan yang memeluknya dalam rasa pilu yang mencekam, Romance D'amoure yang ia mainkan begitu apik hingga siapa pun yang mendengarnya akan terhanyut dalam nada-nada kesedihan yang berkepanjangan namun juga memiliki nuansa romantika cinta serta perasaan rindu yang mengaduk-aduk hati.                 Saat ia selesai memainkan musik klasik itu ponsel di saku celananya bergetar, perasaan menyejukkan yang ia dapatkan langsung berubah menjadi rasa kesal, ia mengangkat ponselnya dan langsung mendapat teriakan dari seberang sana.                "Arrabela di mana dirimu? Kau lupa kita memiliki rapat sejak dua jam yang lalu untuk membahas Dies Natalies kampus kita. Di mana kau sekarang hah?!"                Gadis itu langsung mematikan sambungan teleponnya dan mengumpat karena melupakan rapat anggota panitia yang telah terpilih sebagai tim sukses Dies Natalies fakultas, dan hari ini mereka akan membahas lebih lanjut Dies Natalies itu. Sayangnya, Arra justru melupakan agenda penting itu.  Ia segera memasukkan gitarnya pada case berwarna cream itu dan bergegas menuju kampus. Kebiasaan bodohnya jika sudah bermain gitar akan melupakan semua urusannya.    ~*~              Dua puluh menit perjalanan ke kampus dan ia langsung mendapat berita yang mengejutkan, rapat telah berakhir dan keputusan gila yang harus ia dapatkan benar-benar di luar nalarnya.                "Kau akan menjadi salah satu 'guest star' bersama Dean Keandre dari Department of Vocal Music, kalian akan berduet. Ahh dan kau punya misi khusus untuk membuat pria itu mau mengisi acara di Dies Natalies tahun ini. Semangat Arrabela." ucapan salah satu teman kepanitiaannya di Dies Natalies itu terus berputar di kepalanya. Dean Keandre? Pria gila, tak tersentuh, dan menakutkan itu. Astaga. Bunuh aku saja jika begini. Arra membatin dan melemaskan bahunya, sialannya dia tidak bisa menyanggah karena dirinya tidak ikut rapat tadi.                Dengan lemas ia berjalan menuju kantin, memikirkan cara untuk membuat Dean harus mau berduet dengannya di acara itu tiga bulan lagi. Sialan. Bebannya bertambah sekarang. Umpat Arra kembali dan menendang angin kosong dengan sneaker-nya.                Dean Keandre, Dean Keandre, Dean Keandre. Nama itu yang sejak tadi terus berputar-putar di otaknya, bagaimana ia membujuk robot es itu untuk berduet dengannya? Bisa berbicara dengannya saja dia sanksi.                “Hei ada yang mengganggumu?” Nana merangkul bahu temannya itu membuat Arra menghela napas panjang.                “Ya. Sangat menggangguku.” Arra melemaskan bahunya dan menatap Nana dengan tatapan lelah.                “Ada apa ceritakan padaku? Apa ayahmu kembali membuat masalah?” Gelengan dari Arra membuat Nana menghela napasnya lega.                “Lebih dari itu Nana, ahh bagaimana ini, aku harus mengajak Dean Keandre untuk berduet denganku di acar Dies Natalies.”                “Apa? Dean Keandre? Kau gila? Astaga bagaimana mungkin? Kau sama saja masuk ke kandang harimau.” Nana menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya dengan matanya yang menatap prihatin ke arah Arra, siapa yang tidak kenal Dean Keandre? Si batu es berjalan yang tidak pernah bersosialisasi atau pun terlihat memiliki teman, pria yang seolah menganggap dirinya satu-satunya makhluk hidup di dunia ini, otoriter dan tak tersentuh, selama ini tidak ada anak kampus yang berani mendekatinya walaupun pria itu memiliki wajah setampan dewa-dewa Yunani, sayang tatapan matanya yang memancarkan aura membunuh membuat setiap wanita yang ingin mendekatinya langsung menciut.                “Bukankah sudah kukatakan ini lebih besar dari masalah ayahku. Astaga bunuh aku saja.” Arra mengacak-acak rambutnya frustasi. Melirik jam tangannya dan menghembuskan napas lelah saat mengingat ia ada kelas jam ini, mungkin setelah kelas ia akan mencari informasi tentang jadwal Dean agar ia lebih mudah mendekati pria itu.   ~*~                “Hai, kau anak Department of Vocal Music kan? Apa kau mengenal Dean Keandre?” Arra yang baru saja menyelesaikan kelasnya langsung berlari menuju gedung Department of Vocal Music.                “Dean Keandre? Tentu saja aku mengenalnya, ada apa kau mencari pria paling tampan abad ini?” Ujar gadis dengan rambut ikal yang dicat menjadi merah kecoklatan itu.                “Ahh ya, kau mengenalnya?”                “Tentu saja, siapa yang tidak mengenal voice of angel Departement ini? Ada perlu apa kau mencarinya? Kau bukan anak Vocal Music kan?” Gadis yang belum Arra ketahui namanya itu menatap sanksi ke arah Arra dengan intonasi yang sedikit sinis.                “Ahh bisakah kau memberikanku info tentangnya?”                “Siapa dirimu dan kenapa aku harus membantumu?” Gadis itu semakin sinis menatap ke arah Arra.                “Ahh sebelumnya perkenalkan, aku Arrabela dari Department of Classical Music, “                “Kau Arrabela? Mahasiswa yang akan berduet dengan Dean di acara Dies Natalies?” Tanya gadis itu yang terlihat begitu antusias, berbeda sekali dengan ekspresi yang ia tunjukkan beberapa menit yang lalu.                “Bagaimana kau tahu?” Arra hanya tersenyum kikuk, bagaimana mungkin hal ini sudah menyebar sejauh ini, Arra semakin penasaran sebenarnya sehebat apa sosok Dean itu.                “Tentu saja, semua yang berhubungan dengan dewa Yunani tampan kita pasti akan cepat menyebar, ayo, aku akan membantumu untuk membuat Dean mau menjadi guest star di acara Dies Natalies. Ahh namaku Adela. Kau bisa memanggilku Adel.” Gadis itu menyeret Arra menuju taman kampus untuk menceritakan tentang Dean.                “Jadi apa yang harus kulakukan untuk membuat Dean mau berduet denganku? Bisakah kau menjelaskan padaku bagaimana Dewa Yunani-mu itu?” Arra sedikit menekankan kata Dewa Yunani dengan nada sedikit mengejek, membuat Adel menatapnya sebal sekaligus menatap tak percaya pada Arra.                “Kau tidak mengenal Dean? Dean Keandre? Bahkan seantero kampus ini mengenalnya, astaga kau hidup di jaman apa?” Adel masih dengan wajah terkejutnya mengguncang sedikit bahu Arra.                “Bukan, bukan, aku mengenalnya, ahh tidak, aku mengetahuinya, karena definisi mengenal jika kita mengetahui satu sama lain, tapi di sini aku hanya mengetahuinya tanpa dia mengetahuiku, dan aku mengetahuinya hanya sebatas dia voice of angel, manusia dingin, pria gila, tak tersentuh, dan menakutkan serta rekornya yang berhasil membuat seorang anak perdana menteri di opname karena pukulannya.” Arra menggidikkan bahunya acuh kembali mengingat kejadian satu tahun lalu yang menggemparkan kampusnya, pria bernama Dean Keandre yang memukul anak perdana menteri, sejak itu mulai banyak gosip yang menyebar di jurusan bahkan dari teman sekelasnya, dan ia hanya mengetahui sebatas itu, karena setelahnya gosip itu hilang dengan sendirinya dan yang ia ingat tentang Dean hanya pria gila tak berperasaan, dan hari ini ia justru di hadapkan dengan kenyataan harus berhubungan dengan pria itu.                “Baiklah, kurang lebih memang seperti itu dirinya, selama di kampus ini, terhitung ini memasuki tahun ke tiga, tidak ada orang yang berani mendekatinya, baik wanita maupun pria, kecuali dua saudara aneh itu. Samuel dan Edward. Mereka selalu mengikuti Dean bahkan walaupun Dean menolak mereka secara terang-terangan. Dan yahh seperti yang sudah diketahui oleh umum, dia memiliki suara yang akan membuatmu terkesan hingga ke tulang-tulang, namun suaranya itu sangat mahal, aku bahkan hanya pernah sekali mendengarnya saat dia membawakan lagu A Million Pieces di acara amal terbesar perusahaan keluarganya, setelahnya aku tidak pernah mendengarnya lagi.” Penjelasan panjang lebar Adel membuat bermacam ekspresi muncul di wajah cantik gadis berkaca mata dengan lesung pipit itu.                “Bagaimana mungkin anak dari jurusan vocal tidak pernah menunjukkan kemampuan vocal-nya? Bukankah kalian pasti ada ujian vocal dan semacamnya?” Ini yang sejak tadi bercokol di otak Arra.                “Ya tentu saja, tapi Dean selalu menggunakan voice recorder miliknya saat ujian dan menyerahkannya pada dosen.”                “Apa? Bagaimana bisa ujian seperti itu hanya menggunakan voice recorder, bagaimana jika ia melakukan kecurangan dengan melakukan pengeditan di mana-mana? Bagaimana kau bisa menerima ini? Ini tidak adil untuk kalian!” Arra seakan tidak terima walaupun ia berasal dari jurusan yang berbeda dengan pria itu, yang artinya, tidak akan berpengaruh untuk nilainya, namun gadis itu hanya merasa prihatin dengan mahasiswa lain yang pasti menyiapkan semaksimal mungkin untuk ujian, sedangkan pria kurang ajar itu hanya perlu menyerahkan voice recorder yang sama berkali-kali.                “Ya bagaimana? Semua dosen memang sudah mengakui kemampuannya dan kami para mahasiswa pun juga begitu, jadi tidak ada masalah.” Adel tersenyum dengan tatapan menerawang jauh seolah-olah sedang membayangkan Dean yang sedang bernyanyi.                “Cihh, menggelikan.” Arra mencibir, baginya Dean tidak lebih dari seorang yang sombong dan terlalu mengagungkan kemampuannya. “Jadi apa yang harus kulakukan untuk membuat dia mau berduet denganku?” Dan sialnya ia harus berurusan dengan si sombong itu.                “Aku akan memberi tahukan jadwal Dean padamu, dan juga di semester ini aku mengambil kelas yang sama dengannya.” Adel tersenyum dan menepuk bahu Arra dua kali, membuat Arra membeo.                “Bagaimana bisa kau menyamakan jadwalmu dengan Dean, bukankah pengisian jadwal di akademik sesuai dengan keinginan masing-masing dan dilakukan secara online?” Arra menautkan kedua alisnya bingung.                “Hahaha, ayahku profesor di sini, aku menggunakan akunnya untuk melihat kelas apa yang di ambil oleh Dean Keandre dan aku hanya mengikutinya dengan mengambil mata kuliah yang sama.” Gila, itu yang Arra pikirkan tentang Adel, jika masuk dalam stalker maka Adel akan masuk dalam stalker garis keras.                “Apa kau juga mengikuti ke mana pun pria itu pergi?” Tanya Arra was-was, jika jawaban gadis itu adalah ‘iya’, maka Adel tipe gadis yang sedikit berbahaya tentang obsesinya pada sesuatu.                “Ya. Aku selalu berusaha mengikutinya setelah kelas kami selesai, tapi aku juga selalu kehilangan jejaknya, ia seperti setan yang menghilang tiba-tiba.” Adel melemaskan bahunya dan wajahnya juga berubah ekspresi menjadi lesu, membuat Arra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, apa gadis ini tidak memiliki pekerjaan selain membuntuti Dean?                “Jadi informasi apa yang ingin kau berikan padaku? Setidaknya aku harus bertemu dengan pria itu untuk mengatakan jika dirinya terpilih menjadi guest star untuk acara Dies Natalies ini.”                “Aah iya, berikan aku Id Line-mu, aku akan mengirimkan jadwal kuliah Dean, dan satu lagi dia memiliki nama bukan ‘pria itu.’ Oke?” Adel menekankan tiga kata terakhirnya membuat Arra tersenyum kikuk dan hanya mengucapkan oke tanpa suara. Dan setelah ia memberikan Id Line-nya pada Adel, sebuah pesan masuk berupa foto jadwal Dean.                “Mungkin kau bisa menemuinya setelah kelasnya berakhir dua jam lagi, atau kau mau ikut aku masuk kelas?” Adel melirik arloji di tangan kirinya menyadari jika kelas keduanya hari ini lima belas menit lagi akan dimulai dan itu artinya ia akan bertemu dengan Dean lima belas menit lagi.                “Tidak. Terima kasih, dari pada mendengar penjelasan dosen lebih baik aku ke studio musik dan bermain sepuasnya di sana.” Ujar Arra beranjak dari duduknya di atas rumput taman yang diikuti oleh Adel.                “Baiklah, sampai jumpa Arrabela. Semoga aku bisa lagi mendengar suara emas Dean di acara kampus kita.” Arra hanya terseyum seadanya dan berlalu meninggalkan Adel, dirinya saja yang tidak tahu menahu wajah Dean sudah malas untuk menemuinya, jika mempunyai pilihan, lebih baik ia tidak bertemu dengan pria itu, sayangnya dirinya tidak memiliki hak untuk memilih.   ~*~                Arra memilih menuju studio musik sambil menunggu kelas Dean selesai, studio musik fakultasnya memang terbuka untuk siapa saja yang ingin berlatih di sana, tapi sayang studio musik yang cukup besar itu tidak terlalu dimanfaatkan oleh mahasiswa, karena sebagian besar dari mereka memiliki studio di rumah masing-masing, jadi hanya orang-orang seperti Arra lah yang menggunakan studio yang menurut sebagian mahasiswa kaya disana hanya gudang tempat rongsokan.                Arra membuka ruangan yang jarang digunakan kecuali memang ada praktik itu, menuju ke grand piano yang terlihat begitu menggoda untuk dimainkan, dulu, dulu sekali saat usianya baru lima tahun, ia sudah bisa memainkan piano karena sang ayah sendiri yang mengajarinya, namun semuanya berubah tak lama setelah itu, ia lebih menyukai gitar dan mempelajarinya secara otodidak, baginya gitar adalah alat musik yang mampu menyalurkan apa yang ia rasakan, walaupun ia tahu semua alat musik bisa dimainkan sesuai dengan perasaan si pemain, namun baginya gitar lebih dari itu, gitarnya yang dibelikan oleh ibunya saat ia berumur sepuluh tahun memiliki banyak kenangan tentang perjuangan, pengorbanan dan rasa sakit, semua yang ia rasakan selama hidupnya yang menuntunnya untuk menjadi gadis mandiri yang tidak bergantung pada siapa pun, dan harus menanggung biaya sekolah adiknya juga yang berusia enam belas tahun saat ini, membuatnya tidak pernah memikirkan tentang perasaan atau seseorang yang ia sukai, karena untuk saat ini fokusnya hanya untuk pendidikan Bianca adiknya dan ibunya Jung Daisy.                Ia menuju piano tersebut dan mulai menekan tuts-tuts yang yang menghasilkan nada indah, kini entah mengapa ia ingin memainkan piano, piano yang mengingatkannya jika ia memiliki kehidupan yang sempurna dulu, simphoni nomer lima beethoven yang menjadi pilihannya, simphoni yang memiliki ide dasar “per aspera ad astra“, atau melalui kegelapan malam menuju cahaya, yang maknanya melalui kesulitan untuk mencapai kebahagiaan. Sama seperti hidupnya yang lebih banyak melalui kegelapan, dan ia hanya berharap cahaya itu segera datang menjemputnya dan membawanya pada kebahagiaan.           Seorang pria terlihat berhenti di depan ruang musik, memperhatikan bagaimana seorang gadis begitu menjiwai permainan pianonya, untuk beberapa saat ia terhanyut dengan permainan gadis itu, namun dirinya langsung mengusai diri dan pergi meninggalkan ruang musik itu, niatnya tadi hanya ingin ke kamar mandi, tapi justru terhenti karena mendengar suara dari ruang musik yang jarang sekali digunakan oleh mahasiswa, ia melanjutkan langkahnya untuk kembali ke kelas yang tersisa satu setengah jam lagi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN