"Gisel, kamu kenapa?" teriak Yuza dari luar. Mengetuk pintu berkali-kali tapi tidak ada jawaban.
Pria itu tidak habis akal, ponsel yang dia pakai untuk menjadi senter dia pakai menghubungi nomer Gisel.
Sekali nada tunggu langsung tersambung.
"Pa-pak Yuza," panggil Gisel terbata dan suaranya gemetar.
"Kamu kenapa? Buka pintunya, Sel. Saya di depan," sahut Yuza.
"Sa-saya nyctophobia," jawab Gisel dalam isak tangisnya.
Yuza menepuk keningnya.
"Kamu tenang ya, nyalahin senter di ponsel kamu dan kamu keluar kamar terus buka pintu depan," pinta Yuza memberi bimbingan pada mahasiswinya yang sedang menangis itu.
"Gak mau, aku takut," jawabnya lirih.
Yuza masih coba terus membujuk mahasiswinya dan akhirnya Gisel mengikuti instruksi yang Yuza berikan sambil di tuntun Yuza lewat speaker ponselnya.
"Jangan takut, aku di sini." Yuza terus membujuk Gisel sampai gadis itu keluar kamar dan membuka pintu unitnya.
Yuza terkejut saat pintu unit gadis itu terbuka dan Gisel langsung menghambur memeluk Yuza.
Gisel memiliki Fobia gelap atau nyctophobia, gangguan psikologis sejak kecil yang dia alami dan sulit sembuh, dia memiliki rasa takut yang berlebihan terhadap kegelapan. Pantas saja gadis itu berteriak karena di tempatnya tak bercahaya, bahkan di kamar tidurnya sendiri, itu yang Gisel rasakan.
Yuza memeluknya dan menggiringnya masuk ke dalam unit Gisel, membawanya duduk di sofa. Gisel tidak sedetikpun melepas pelukannya pada Yuza.
"It's okay, Sel. Anggap saja kamu sedang memejamkan mata saat mau tidur, gelap bukan?" bujuk Yuza namun tidak berhasil. Gadis itu masuk terisak dan tubuhnya bergetar.
"Aku akan menghidupkan senter diponselku ditambah senter dari ponsel kamu, maka ruangan ini akan semakin terang," lanjut Yuza membujuk Gisel lagi.
Namun, dua ponsel tidaklah cukup terang untuknya karena sekelilingnya masih gelap.
"Sel, di unit aku ada lampu darurat aku akan -"
"Jangan! Jangan pergi!" pekik Gisel yang tangan mengencangkan pelukannya.
"O-okay," balas Yuza.
Hening, tidak ada yang keduanya lakukan kecuali duduk sambil berpelukan, tepatnya Gisel yang memeluk Yuza.
"Kok mati lampunya lama banget sih?" protes Gisel dengan suara serak.
"Sampai pagi, Sel," jawab Yuza singkat.
Kepala Gisel mendongak mengintip sedikit wajah Yuza tapi tidak berhasil karena dia takut, walaupun sudah ada penerangan dari lampu senter di ponsel Yuza dan Gisel.
"Pasti kamu gak baca pesan group apartement yah?" tanya Yuza.
Gisel menggeleng.
Pantas!
Management Apartement sudah memberitahu kalau akan ada pemadam listrik bergilir di daerah mereka, dan genset apartement sedang perbaikan maka dari itu management memberitahu, menghimbau agar penghuninya menyiapkan genset pribadi yang kecil atau lampu darurat agar tidak kegelapan. Itu yang sedang Yuza lakukan tadi, pria itu hendak mengambil lampu darurat sebelum mendengar suara teriakan dari unit Gisel dan berlari keluar.
"Kita akan seperti ini sampai pagi kalau kamu tidak mengijinkan saya mengambil lampu darurat," bujuk Yuza.
"Biar! Biar seperti ini, setidaknya sampai lampu menyala sendiri atau ada sinar matahari," sahut Gisel.
"Baiklah." Yuza pasrah.
Perlahan dia mengusap punggung Gisel, mencoba menenangkan mahasiswinya itu. Sampai akhirnya keduanya tertidur karena rasa kantuk menyelimuti keduanya.
***
Paginya, Yuza lebih dulu membuka mata, menyerjap beberapa kali karena menyesuaikan terang sinar matahari yang masuk dari sela tirai.
Matanya meneliti wajah gadis yang saat ini masih nyenyak tidur dalam pelukannya. Mengagumi kecantikan dan keindahan yang akhir-akhir ini membuat setiap hari yang dia lalui selalu gelisah.
Beruntung sofa di unit Gisel empuk dan besar hingga muat untuk mereka berdua tidur.
Yuza kembali memejamkan matanya dan berpura-pura tidur karena dia merasa pergerakan tubuh Gisel.
Bukannya bangun tapi gadis itu malah mengencangkan pelukannya seolah enggan melepas tubuh Yuza.
Beberapa saat kemudian Gisel terbangun, perlahan dia membuka matanya melihat apakah masih gelap atau sudah terang.
Gadis itu meringis karena kepalanya sedikit sakit, menangis terlalu lama karena ketakutannya akan gelap membuat kepalanya sekarang menjadi pusing. Gisel ingin bangun tapi terhalang oleh tangan seseorang, tangan dosennya yang melingkar di tubuhnya, memeluknya.
Gisel mendongak menatap wajah Yuza, pria itu masih bernapas dengan teratur. Gisel akui Yuza sangat tampan terlebih di lihat dari jarak sedekat ini.
Gadis itu tersentak saat mata Yuza terbuka dan tatapan mereka bertemu, saling mengunci.
Pria tampan itu tersenyum. " Selamat pagi," ucapnya.
"Pa-pagi," balas Gisel gugup, posisi mereka saat ini membuat Gisel malu dan wajahnya merona.
Yuza menyingkap rambut Gisel, menyentuh pipi gadis itu dengan ibu jarinya, lembut. Membuat gadis itu diam membeku menahan nafas. Wajah Yuza mendekat, mengikuti nalurinya sebagai pria dewasa meraih bibir Gisel yang menggodanya sejak tadi.
Kedua mata Gisel terpejam merasakan sentuhan lembut bibir Yuza, gadis itu tidak bisa menolak pesona Yuza terlebih ciumannya. Gisel mengutuk dirinya dalam hati, kenapa bisanya dia membalas ciuman sang dosen. Keduanya terbawa suasana, indra pengecap mereka saling bertautan di dalam semakin panas. Hingga Yuza lebih dulu melepas tautan keduanya karena merasa lawannya hampir kehabisan napas.
Keduanya terengah, dengan detak jantung yang tidak beraturan. Tatapan mata Yuza dan Gisel bertemu dan kembali saling mengunci.
Yuza mengulum senyumnya dan mengusap area bibir Gisel dengan ibu jarinya, bibir itu sedikit merah dan membengkak tambah terlihat seksi.
"Aku akan meminta Management Apartement untuk mematikan listrik setiap malam agar bisa seperti ini terus," goda Yuza.
Gisel mendelik dan sontak memukul d**a bidang Yuza, pria itu tampak senang karena berhasil membuat Gisel salah tingkah.
Gadis itu langsung melepas pelukannya dari tubuh Yuza dan menggulung asal rambutnya ke atas. Dan langsung berdiri.
"Gisel!" pekik Yuza dan dia langsung menangkap tubuh gadis itu yang hendak tumbang.
Gisel meringis meremas rambutnya, kepalanya pusing.
"Duduk dulu sini, aku akan buatkan minuman hangat dan carikan obat untukmu," titah Yuza.
Karena bukan di unitnya, Yuza kesulitan mencari obat.
"Di laci kamar ada kotak obat-obatan," ucap Gisel pelan.
Yuza membuat air putih hangat dan membawakan kotak obat yang Gisel maksud. Gadis itu memilih obatnya sendiri dan meminumnya.
Ditariknya kedua pundak Gisel agar berbaring dengan kepala di pangkuan Yuza, pria itu memijat lembut pelipis mahasiswinya itu dan membuat nyaman Gisel.
Gisel memejamkan matanya menikmati pijatan dari tangan Yuza di kepalanya.
"Sejak kapan kamu phobia gelap?" selidik Yuza.
"Sejak kecil aku memang tidak pernah suka dengan gelap," jawab Gisel. Jadi kalau di tanya pastinya kapan phobia itu tumbuh di dirinya Gisel tidak tahu karena rasa takut akan gelap itu perlahan menghantuinya.
Yuza kesulitan menelan saliva-nya, melihat bibir milik Gisel yang alami berwarna merah muda terus bergerak saat berbicara, Yuza tertantang untuk mencicipnya lagi, belum lama tapi dia sudah merindukan rasa manis dari bibir Gisel.
Yuza menunduk dan kembali dilumatnya bibir Gisel, dan mengulang kenikmatan mereka untuk kedua kali.