"Ayah ... Ayah, Maira mau bertemu ... hiks ... hiks ... "
Gadis itu meremas rerumputan dan daun-daun kering yang mengelilingi tubuhnya. Dia tidak kuat lagi menegakkan tubuh, apalagi keluar dari tempat itu. Maira kehabisan seluruh tenaganya.
"Ayah ... Maira mau sama ayah ... hiks ...."
***
Beberapa hari sebelum kepergian Sang Ayah. Maira mendapat tamu, seorang pria tampan yang terlihat begitu hangat saat pertama kali Maira melihatnya. Gadis itu membukakan pintu setelah memakai cadarnya.
"Assalamualaikum."
"Wa-waalaikumussalam warahmatullah wabarakatuh," jawab Maira.
"Boleh saya masuk?" tanya pria itu sebab Maira tidak segera mempersilahkannya masuk.
"Maaf, tapi ayah saya sedang sakit. Saya tidak bisa menerima tamu," jawab Maira.
"Saya Alian Prameswari."
Maira tidak akan mengerti kalau saja Sang Ayah tidak datang menghampiri mereka dengan kursi rodanya.
"Biarkan dia masuk, Maira," sahut Adam dengan suara rendahnya.
Maira menoleh pada ayahnya yang sudah berada di atas kursi roda, padahal sebelumnya Maira baru saja mengecek kondisinya yang tertidur di kamarnya.
"Ayah, biar Maira bantu." Gadis itu menghampiri ayahnya lantas mendorong kursi rodanya.
"Silahkan, Lian," ucap Ayah Maira pada pria yang masih berdiri di ambang pintu.
"Terima kasih, Om Adam. Assalamualaikum," sapa Lian sambil melangkah masuk ke rumah itu.
Pria itu bersalaman pada Adam sebelum mendaratkan tubuhnya di kursi ruang tamu. Maira tetap berdiri di belakang kursi roda ayahnya.
"Maira, ini Lian. Dia datang mau melamar kamu," ucap Adam yang membuat Maira terkejut.
"Be-benarkah begitu, Ayah?" tanya Maira sedikit tak percaya. Ayahnya itu tidak pernah berkata apa-apa sebelumnya, dan ini pertama kalinya dia mendengar hal itu dari ayahnya.
"Duduklah, Nak," pinta Adam pada putri semata wayangnya itu.
Mendengar permintaan Sang Ayah, Maira melangkahkan kakinya menuju kursi. Dia duduk di samping kursi roda ayahnya. Sedangkan Lian duduk di kursi seberangnya.
"Jadi ini putri Om Adam, Lian. Namanya Maira, lengkapnya Humaira Umayah. Ibunya yang memberi nama indah itu," ucap Adam mengingat istrinya yang pergi meninggalkan dunia setelah melahirkan Maira.
Maira menundukkan wajahnya, setiap kali ayahnya itu bercerita tentang ibu, Maira selalu menitikkan air mata. Betapa besar perjuangan ayah dalam merawat dan mendidiknya seorang diri, Maira sungguh menyayangi pria itu. Ayah, satu orang yang merangkap dua tugas sekaligus selama membesarkannya.
Maira tidak pernah ingin mengecewakannya.
Lian tersenyum hangat, menatap sorot teduh milik Om Adam. Dia sudah banyak berlatih untuk hari ini.
"Assalamualaikum, Maira. Saya Alian Prameswari. Kedatangan saya kemari untuk melamar kamu menjadi istriku," ucap Lian tanpa terbata sedikit pun.
Adam tampak tersenyum haru mendengarnya, juga melihat Maira yang tidak menampilkan penolakan.
"Aku harap kamu bersedia, Maira," ucap Lian lagi.
Maira masih menundukkan kepalanya. Dia masih terbawa perasaan sedih saat mengingat ibunya. Adam tahu jika putrinya itu sedang memikirkan jawaban.
"Bagaimana, Maira? Apa kamu bersedia?" ucap Adam mengulangi.
Maira tampak mengangguk. Jika itu adalah pilihan dan keinginan ayahnya, dia tidak bisa menolaknya. Setelah mengingat betapa banyak hal yang ayah berikan padanya. Maira tidak pernah kecewa dengan pilihan ayahnya sampai sejauh ini.
Senyum terukir jelas di wajah Adam dan Lian. Namun, ada perbedaan yang tampak jelas pula dalam senyum keduanya.
"Ternyata mudah sekali, untuk apa aku latihan," batin Lian menyayangkan waktu latihannya bersama Sieera hari itu. Harusnya dia bisa melakukan hal yang lebih bermanfaat untuk mereka berdua.
"Alhamdulillah, Maira sudah bersedia."
"Alhamdulillah, Om. Kalau begitu, Lian akan urus pernikahan secepatnya."
Pernikahan mereka berlangsung seminggu setelah lamaran Lian. Hari itu, kondisi Adam tidak kunjung membaik. Namun, dia tetap bahagia bisa melihat putrinya akhirnya bahagia bersama pilihan hidupnya. Dia berharap dapat pergi dengan tenang.
"Ayah, ayah," panggil Maira saat ayahnya terbaring di rumah sakit.
Meswa, mamanya Lian, memeluk erat tubuh menantunya yang lemah di sisi ranjang. Dia mengelus-elus pundak gadis itu penuh kasih sayang, dan membantunya meringankan kesedihan hatinya. Maira memeluk ibu mertuanya kembali.
"Ayah Maira mau pergi juga ya, Ma ... hiks," isaknya sebab tidak mendapat jawaban dari pria itu.
"Maira sabar, ya. Ayah Maira masih kritis," ucap Meswa. "Kita berdoa yang terbaik untuk beliau," sambungnya.
Gadis itu hanya bisa menangis di pelukan ibu mertuanya. Berulang kali hatinya berdoa, meminta kebaikan untuk ayahnya. Maira menggenggam tangan dingin pria itu.
"Lian, sini," bisik Meswa, memanggil putranya yang duduk di sofa.
Lian menghembuskan napasnya sebelum menegakkan tubuhnya. Tanpa niat, dia melangkah mendekat ke arah mereka. Wajahnya terlihat tidak berselera sedikit pun.
"Kamu tungguin Maira di sini, mama mau panggil dokter."
"Biar Lian aja yang panggil, Ma." Pria itu sudah hendak melangkah meninggalkan ruangan. Namun, bisikan tegas mamanya menghentikannya.
"Lian!" bisiknya tegas, manik mata Meswa pun nyalang ke arah putranya.
Hal itu membuat Lian pasrah, dan menuruti keinginan mamanya. Dia menggantikan posisi Meswa di samping Maira.
"Mama panggil dokter sebentar ya, Sayang," ucap Meswa. "Sudah, jangan sedih, Ayah Maira juga pasti tidak mau melihat Maira sedih," sambungnya.
Maira mengusap matanya. "Makasih, Ma."
Meswa melangkah ke luar ruangan. Namun, dia belum benar-benar pergi, malah memerhatikan pasangan suami istri itu dari depan pintu. Sengaja dia melakukan ini, hendak melihat seperti apa kesungguhan putra keduanya itu.
Lian meraih tangan Maira yang menggenggam erat lengan ayahnya. Gadis itu menangis lagi, tak kuasa dia melihat ayahnya terbaring tak berdaya di tempat itu.
"Sudah, jangan menangis," ucap Lian menenangkan. Dia membawa kepala gadis itu ke dalam pelukannya, persis seperti yang dilakukan mamanya tadi.
"Mas Lian, apa ayah akan pergi ...?"
"Dia akan tetap bersamamu sampai kapan pun."
Meswa tampak tersenyum dari depan sana. Dia seperti melihat keajaiban barusan. Setelah puas membuktikan sendiri perubahan pada putranya itu, Meswa melangkah melanjutkan niatnya yang sempat tertunda.
Lalu peristiwa mengejutkan terjadi. Tiba-tiba saja terdengar suara bip panjang. Maira dan Lian segera memusatkan pandangannya pada alat perekam sistol diastol. Tampak garis lurus yang memanjang pada monitor jantung itu.
"Ayah ...!" teriak Maira, meskipun begitu suaranya tetap terdengar rendah.
Lian menyadari mamanya yang sudah pergi dari depan pintu. Pria itu cukup lega karenanya. Namun, melihat kondisi genting sebab monitor jantung itu bergaris lurus, Lian sedikit mengambil simpati.
"Tenang Mai, mama lagi panggil dokter," ucap Lian sambil menghentikan Maira yang mengguncang-guncangkan tubuh ayahnya.
Gadis yang semula terlihat tenang itu kini menjadi tak terkendali. Maira tidak percaya jika ayah pergi meninggalkannya, dan dia tidak ingin percaya. Air mata berderai membasahi wajah hingga kain cadarnya. Maira memaksa ayahnya untuk bangun. Namun apalah daya, takdir sudah memanggilnya. Maira resmi menjadi yatim piatu saat itu.
Lian memeluk tubuh Maira saat dokter, suster, juga mamanya masuk ke ruangan itu. Para tenaga medis sedang melakukan percobaan untuk mengembalikan detak jantung. Berkali-kali mereka mencoba, pemandangan itu membuat Maira tidak bisa menghentikan tangisnya.
"Innalillahi wainnaillahi rojiun."
Tangis Maira semakin pecah saat mendengar kalimat itu. Dia meracau meski gerakannya masih bisa diredam oleh suaminya. Bergetar hatinya saat menyebutkan kalimat itu untuk ayahnya.
Maira tidak sempat mengatakan apa-apa pada ayahnya. Dia pun tidak sempat mengucapkan salam perpisahan, juga menuntun pria kesayangannya itu mengucap kalimat terakhir.
Meswa memeluknya. "Sabar ya Maira Sayang. Kamu masih punya mama dan Lian. Ayahmu itu orang baik, kamu juga. Mama yakin Maira kuat."
"Lian akan jadi pengganti ayahmu, juga penanggung jawab hidupmu. Mama tidak akan membiarkanmu, Sayang."
"Maira sayang ayah, sekarang ayah udah bersama ibu." Gadis itu menumpahkan seluruh kesedihannya. "Maira berterima kasih sebesar-besarnya sama Mama sebab mau menerima Maira. Maira janji akan jadi istri yang baik."