1. So...
Pelatih basket SMA Diamante terpaksa meniup peluit panjang karena seorang siswi menghampirinya dan terlihat sangat panik. Beberapa siswa kelas sebelas yang sedang asyik bermain basket di tengah lapangan juga terpaksa menghentikan segala aktivitas mereka. Menatap Mr. Dame dengan beragam tatapan. Ada yang bersyukur karena sudah kelelahan berlarian mengejar bola. Ada yang biasa aja. Juga ada yang mengumpat dengan beraneka ragam umpatan.
Seperti pemain bernomor punggung 24. Gimana enggak ngumpat ? Dia sudah bersiap melakukan tembakan 3 angka yang pastinya akan membuat timnya menang. Mengalahkan tim bebek goreng dengan skor yang tertinggal jauh dari tim bebek rica-rica. Timnya.
"s**t. Padahal gue udah mau lempar ini bola ke ring, Du." Umpatnya lumayan keras. Tangannya memegang bola basket yang hendak dia lemparkan tadi.
"Heh kampret. Nama gue Duwi, lo bisa panggil gue WI kayak anak lain biar lebih manusiawi. Bukan panggil DU. Lo kata nama gue dadu ?" Cowok bernomor punggung 11 itu mengomel dengan logat Jawa, bahasa kebanggaannya.
"Yaudahlah Duwik, gausah emosi. Mungkin Mr. Dame memang lagi penting." cowok bernomor punggung 4 melerai.
"Malah panggil gue Duwik. Heh duwik itu dalam bahasa Jawa artinya uang, Lames."
"Lames, nama gue James. JE A EM E ES. JAMES. Jangan panggil jems juga. Karena gue bukan orang hollywood meski tampang gue bule." pinta cowok berwajah bule dengan postur lumayan tinggi. "Lagian tuh liat, wajahnya murid yang ngajak ngomong Mr. Dame, panik banget. Pasti terjadi sesuatu." James menunjuk ke pinggir lapangan. Tempat dimana Mr Dame yang hensom berdiri. Wajah panik siswi yang tadi menghampiri Mr. Dame kini menular pada Mr. Dame.
Seperti siswa lainnya yang mengikuti arah telunjuk James, cowok bernomor punggung 24 kini juga menatap ke arah Mr. Dame berdiri. Dengan tatapan tidak minat. Namun untuk 4 detik kedua bola mata cowok ini menyipit. Melihat siswi berjaket abu tua yang menghampiri Mr. Dame.
Cantik. Puji cowok itu dalam hati. Matanya tetap terpaut pada cewek itu. Bahkan hingga cewek itu mulai beranjak meninggalkan Mr. Dame. Berjalan pelan keluar lapangan. Tangan cewek itu mengeluarkan ponselnya. Menempelkan pada telinganya.
"Anak-anak, maaf, untuk ekstra basketnya sampe disini dulu ya. Istri saya mendadak mulas, saya harus segera membawanya ke rumah sakit." Ucap Mr. Dame. Raut wajahnya sudah mulai normal. Kepanikan sudah terhapus dari wajah orientalnya.
"Yaelah Pak, kalo istri bapak mulas, ya bawa ke toilet. Kenapa dibawa ke rumah sakit ?" tanya cowok bernomor punggung 24 itu. Terlihat dendam dengan Mr. Dame yang menggagalkan acara nembak 3 point-nya.
TEPLAKK !!! Tangan Duwi mendarat dengan keras pada bahu cowok nomor punggung 24. Membuat cowok itu menatap Duwi dengan tatapan ingin membunuh.
"Bego, istrinya Mr. Dame kan lagi hamil tua. Bisa aja ini tandanya mau lairan. Lo anak IPA masak gitu aja gak ngerti. Ganteng boleh, bego jangan dong, Mas." Duwi membalas tatapan cowok itu tak kalah kejam.
Ah iya. Mrs. Dame, guru Biologi SMA Diamante yang lumayan cantik itu kan memang lagi hamil besar. Bisa-bisanya gue lupa. Cowok itu membatin.
"Ya udah, kita lanjut latian ini minggu depan ya. Saya pamit dulu." Mr. Dame tersenyum ramah. Seolah tak mempedulikan ucapan cowok nomor punggung 24.
"Baik, Mr. Dame. Semoga istri Mr. Dame diberi kelancaran saat melahirkan ya." Kini James buka suara. Diikuti kata -Aminn- dari siswa lainnya.
"Thanks." Mr. Dame siap melangkah menuju pelaminan. Eh salah. Melangkah menuju ruang kelas yang dimaksud siswi berjaket abu tua tadi. Langkahnya terhenti saat siswi tadi tiba-tiba sudah berdiri di depannya. Mengatakan sesuatu yang membuat Mr. Dame mengambil langkah seribu. Meninggalkan siswi itu.
~~ Mr. Dame, Mrs Dame sudah pembukaan delapan kata dokter UKS.~~
Siswi itu menghela napas. Tidak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Dia menutup mata sejenak. Kemudian kembali melangkah menuju Lab Biologi, dimana seharusnya dia berada.
"Hey, cewek yang pake jaket abu-abu." Seru seorang cowok dari arah lapangan. Seketika menghentikan langkah siswi itu. Dia melihat keseluruh penjuru sekolah yang dapat dijangkau oleh matanya. Memastikan bahwa panggilan merdu itu tertuju padanya.
Tidak ada cewek lain yang memakai jaket abu-abu selain dirinya. Bahkan mungkin dia satu-satunya cewek yang memakai jaket di sore yang mendung ini.
"Iya kamu, yang pake jaket abu tua, sneakers abu tua dan tas abu tua." Lanjut suara itu. Membuat siswi tadi menoleh ke arah lapangan. Mencari sumber suara.
Ada 12 orang di tengah lapangan. Sekitar 20-an orang dipinggir lapangan yang dapat dipastikan adalah tim hore. Dahi siswi itu berkerut. Gimana gak, ada 30 lebih pasang mata yang sedang memandangnya. Okey, meskipun sebelumnya dia pernah mendapat pandangan dari lebih 100 pasang mata sebelumnya. Tapi kali ini beda. Bukan pandangan seperti ini yang pernah dia terima.
"Sini kamu." Suruh cowok berperawakan tinggi. Berkulit putih, berbadan atletis ? Sudah tidak diragukan karena jelas dia pemain basket. Rambutnya hitam kecoklatan dan sedikit berjambul. Oh jangan lupakan bibir merah cowok itu yang kissable banget. Tangan kiri cowok itu memegang bola basket.
Oke fix, ini cowok yang manggil gue. Suaranya sama kayak yang tadi. Siswi itu mau saja disuruh mendekat.
"Kenapa ?" Seru siswi itu ketus. Cowok bernomor punggung 24 itu mendekati si cewek. Sambil masih memegang bola basketnya. Senyumnya terurai saat melihat kedua bola mata cewek di depannya ini.
SUMPAH ini cewek depan gue cantik banget.
Matanya. Hidungnya. Pipi meronanya. Bahkan bibir tipisnya. Juga rambut dengan warna yang sama dengan warna rambut si cowok.
"Kamu mau jadi pacar aku ?" Jeda sejenak, "atau mau aku lempar kepala kamu pake ini bola ?" Tanya si cowok santai. Namun sukses membuat semua manusia yang kebetulan mendengar suara merdu cowok itu menoleh. Bahkan kaget. Apalagi si Duwi dan James.
"Tuh kapten kenapa ngomongnya jadi aku-kamu kayak cowok cemen aja." Bisik James di telinga Duwi. Duwi mengangguk. Masih gak percaya apa yang barusan ditanyakan Kapten tim basket SMA Diamante.
"Dia lagi ngomong sama cewek. Ya biar terkesan lembut."
"Maksud lo lagi nembak cewek ?" James masih berbisik.
"Mana ada dia nembak cewek. Dia gak bawa pistol James, dia bawa bola."
Sementara di tempat siswi berjaket abu-abu berdiri. Cowok di depannya masih berdiri dengan tatapan sendu tepat mengarah pada mata biru si Cewek.
"Coba buka jaket kamu." Suruh si cowok lagi. Mata si cewek kian melebar. Terlalu mengejutkan kejadian yang sedang dia alami saat ini.
"Apaan sih Lo. Gak jelas." Dan kemudian kaki si cewek terayun. Hendak melangkah. Namun gagal saat tangan kanan kekar milik si cowok menariknya. Membuat cewek itu berbalik dengan keras menabrak d**a bidang si cowok. Buru-buru si cewek menjauh. Menepis tangan si cowok.
"Buruan, kamu buka jaket kamu, atau aku yang buka paksa jaket kamu ?" Suara merdu cowok itu masih terkesan santai.
"Gak mau."
"Oke." Dan tanpa permisi tangan kanan si cowok menarik risleting jaket si cewek.
"Ih, gak sopan." PLAKK. Mendaratlah tangan kanan si cewek pada tangan kanan si cowok yang menempel di jaketnya. "Lo mau apa sih ?" tanya si cewek kesal.
"Aku cuma pingin tau nama kamu siapa ?" Suara merdu itu melembut. Sejenak sukses menyihir si cewek. Hingga tanpa disadari tangan kanan si cowok yang masih di jaketnya berhasil menurunkan risleting jaket si cewek. Membuat si cewek kaget.
SIAL. Kenapa lo pake acara terpesona ?? Marahnya dalam hati.
"Alexandra Eleanor." Ucap si cowok pelan. Kepalanya bergerak naik turun sebentar sebelum mata abu-abu si cowok kembali menatap sendu mata biru si cewek yang telah diketahui bernama Alexandra Eleanor.
Inget. Alexandra Eleanor. "Jadi--"
"Lo kok seenaknya banget sih." Potong Lexa, begitulah dia terbiasa dipanggil. Lexa menepis tangan cowok itu agar menjauh dari jaketnya. "Siapa sih Lo ?" Lexa masih dalam mode kesal.
Dan tanpa Lexa duga, bukannya mendapat jawaban nama itu cowok dari mulut, si cowok malah menaikkan kaos olahraganya hingga memperlihatkan bagian perutnya yang terpetak indah. Lexa segera menutup mukanya dengan tangan.
"Buka mata kamu, ini namaku." ujar si cowok. Membuat Lexa mengintip dari sela jari yang menutup matanya. Lexa memperhatikan deretan huruf berwarna hitam yang terukir indah membentuk sebuah kata. Lucas.
Ya Lucas sang kapten Basket SMA Diamante. Lexa pernah beberapa kali mendengar nama itu.
Lucas menarik tangan Lexa yang menutupi sebagian wajah Lexa. Kaosnya sudah turun kembali, menutup perut menggoda Lucas. Sadar Lexa, ini masih jam 4. Lexa memarahi dirinya sendiri.
"Jadi Alexandra Eleanor. Kamu jadi pacarku atau mau aku lempar kepala kamu pake bola ini."
***