HAPPY READING
***
“Because I am me, I see things through my eyes,” ucap Medina sakartis.
Dewa menarik nafas, “I know, pada dasarnya manusia memang sulit memahami diri sendiri. Bahkan untuk menemukan keinginan diri sendiripun sangat kesulitan.”
“Yang kita butuhkan saat ini itu komunikasi Medina. Agar aku bisa memahami kamu dan diri aku.”
“Aku ibarat sedang berjalan di tempat gelap pakai lilin. Aku cuma bisa melihat beberapa langkah ke depan.”
Dewa akui bahwa wanita itu adalah makhluk yang paling rumit dan misterius. Lebih rumit dari filsafat, dan lebih misterius dari statisti. Dewa menarik nafas dan mengerang dalam hati. Ia menatap Medina, wanita itu masih memandangnya.
Medina menarik nafas ia membuka hendel pintu, namun pintu masih terkunci otomatis oleh Dewa. Medina menoleh menatap Dewa. Pria itu memegang pedal gas, dan mundur. Mobil itu lalu meninggalkan area rumahnya.
“Kamu mau bawa aku ke mana?” Tanya Medina.
Dewa melirik Medina sekilas, terlihat jelas tatapan cemas wanita itu.
“Kita perlu saling memahami satu sama lain.”
“Memahami apa?”
“Keinginan aku dan kamu.”
“Dewa !”
Dewa memacu mobilnya dengan cepat. Rahangnya mengeras, ia menekan pedal gas melaju,
“Dengar Medina ! You know me !. Aku menyukai kamu lebih dari apa yang kamu tau !”
“Aku suka kamu sejak kita pakai putih abu-abu !”
“Apa kamu tidak merasakannya?”
“I have deep feelings for you !”
“But now everything is different, Dewa !” Ucap Medina keras.
“Nothing is different ! Aku masih sama seperti yang dulu. Perasaan kamu dan aku tidak berubah !” Dewa lepas control.
Medina mengusap wajahnya dengan tangan, ia memejamkan mata menghembuskan nafas, ia menatap Dewa,
“Oh God. Tapi kamu sekarang kamu sudah bertunangan Dewa ! itu alasan utama aku menghindari kamu,” ucap Medina.
“Kamu juga akan menikah sebentar lagi! Aku hanya bermaksud agar kita ada jarak. Bukan seperti ini !”
“I don't care, I want !” Ucap Dewa keras.
Sebenarnya ia bukan pria yang senang berdebat, namun wanita inilah yang memancing emosinya. Susah di ajak kerja sama, apa salahnya jika ingin bernostalgia, menciptakan kenang-kenangan berdua.
Medina menarik nafas panjang, ia memejam kan mata. Ia hampir gila memikirkan Dewa, ternyata pria itu keras kepala. Menghindarinya agar hati ia dan Dewa tenang. Menjaga jarak dengan pria yang sudah berstatus tunangan demi kebaikan Dewa juga, bukan seperti ini.
“Oke ! oke ! aku setuju,” ucap Medina pada akhirnya, ia hanya tidak ingin memperumit masalah. Ia mengikuti keinginan Dewa. Saat ini mereka sama-sama dalam keadaan emosi, ia tidak ingin membakarnya lagi dengan emosi.
Dewa lalu menoleh mendengar kata setuju dari bibir Medina. Ia menyungging senyum, wanita itu hanya perlu dikeraskan jika ingin memenuhi keinginannya. Ia menahan amarahnya, dan mengontrol emosi agar tetap tenang.
“Tapi tidak ke Puncak. Aku ingin keliling kota Jakarta menggunakan motor,” ucap Medina lagi. Itu lah yang ia inginkan dari Dewa.
“Hemmm.”
“Antar aku pulang, kita perlu istirahat.”
Dewa membanting setir, ia lalu mengantar Medina pulang ke rumahnya. Dewa menatap sekali lagi wanita itu, dia hanya diam menghadap ke arah jendela. Ada tatapan gelisah yang disembunyikan Medina, dia terlihat gugup dan cemas. Namun ia tidak bertanya, karena ia tahu bahwa jika mereka bersama, maka akan menciptakan ketenangan dan menjawab rasa kegelisahan mereka berdua. Andai saja dia mengatakan rindu secara nyata, maka ia akan berlari lalu menemuinya. Sejujurnya ia ingin menghambakan diri dalam pelukannya.
Beberapa menit berlalu, mobilnya kini sudah tiba di rumah Medina. Medina merasa lega, ia memandang Dewa menghidupkan lampu dasbor, agar bisa menatap wajah cantik itu.
“Medina.”
“Iya.”
“Minggu ini …”
“Kenapa dengan Minggu?”
“Aku ingin kita ke ibadah bersama”
Medina menelan ludah ketika Dewa mengajaknya ibadah bersama. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana Dewa bisa mengajaknya beribadahh bersama. Ini merupakan tindakan serius menemukan seseorang yang kompetibel dan juga serius soal imannya.
“Aku mau kita menghadiri ibadah gereja bersama kamu,” Dewa mengulang ucapannya.
Dewa tahu bahwa ia bukanlah pria relegius yang setiap Minggu pergi beribadah, bahkan ia jarang melakukannya. Namun ia ingin melakukan ini secara terbuka. Dengan begitu ia yakin, ia dan Medina bisa membangun peluang percakapan yang lebih insteraktif dan terbuka. Bagaimanapun gereja merupakan tempat di mana ia bisa duduk berdampingan dengan wanita yang ia cintai. Hal ini bisa membangun koneksi ia dan Medina.
“Iya,” ucap Medina pada akhirnya.
“Besok siang, aku jemput kamu.”
Medina mengangguk, “Oke.”
Medina membuka hendel pintu namun Dewa dengan cepat menahannya, otomatis Medina menoleh menatap Dewa. Mereka saling berpandangan berberapa detik. Mereka bergeming, rindu mereka melampaui batas logika, namun tetap sia-sia.
Boleh aku pesan hatimu? Untuk menghangatkan hatiku yang nyaris beku bila tanpamu? teriak Dewa dalam hati. Boleh aku pesan senyummu? Senyumu seperti candu, membuatku sulit memejamkan mata, ucap Dewa dalam hati.
Dewa menarik nafas, ia memandang Medina,
“Maaf, tadi aku udah emosi.”
“Enggak apa-apa.”
“Boleh aku bertanya sekali lagi?” Tanya Dewa.
“Apa?”
“Kenapa kamu menolakku?”
Medina menatap iris mata tajam Dewa, ia sebenarnya ingin menangis jika ingin menanyakan hatinya. Ia berbohong bahwa sejujurnya ia takut kehilangan sosok yang belum benar-benar ia miliki. Ia tahu bahwa mereka dua orang yang tak selalu berdampingan, tak selalu bertukar kabar dengannya, tapi rindu seperti punya kendali khusus. Ia adalah wanita tidak bisa menolak untuk tidak mencintai dan merindukannya.
Medina menarik nafas, ia memandang Dewa, “Mungkin aku salah satu gadis naif yang menolak cintamu. Aku juga tidak tau alasan kenapa aku menolakmu, rasanya kepalaku hampir pecah memikirkannya. Bisakah kamu tidak bertanya hal itu lagi?”
“Apa kamu menyesal?”
“Stop asking !”
“But, I want to know, why? Medina !”
Dewa menatap Medina intens, ia selalu lepas control emosi ketika bersama Medina. Ia tidak bertanya kenapa lagi, ia lupakan sejenak pertanyaan itu.
Dewa memperlihatkan jam tangan pemberian gadis itu,
“Kamu tahu?”
“Sejak kamu memberikan jam tangan ini untukku. Sejak saat itu aku selalu menggunakannya setiap hari, bukan karena aku suka modelnya. Namun ini dari kamu, aku selalu ingin dekat dengan kamu.”
Jantung Medina maraton, ia tidak tahu akan berkata apa. Ia membalas tatapan Dewa, ia tahu bahwa pria itu berkata dengan hatinya.
“Istirahatlah, besok aku jemput kamu siang.”
“Jemput di Senayan City, karena ada beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan di sana.”
“Iya.”
Dewa mengangguk, ia melepaskan tangan Medina, “Good night,” ucap Dewa pelan.
Dewa melihat pintu mobilnya tertutup, ia membuka kaca mobil, menatap tubuh Medina dari belakang. Wanita itu menoleh sebentar dan lalu melanjutkan langkahnya. Dewa bersandar dan merenggangkan otot tubuh. Mobil lalu meninggalkan area rumah Medina. Di kilometer tanpa nama, tiba-tiba ia teringat segala tentang Medina, menampar nalar. Ada sentuhan rindu pada satu waktu, tampak samar, namun memohon temu tak henti-henti.
***
Armand menatap Amber, wanita itu mengenakan mini dress bermotif flower tanpa lengan, dengan detail ruffles dengan potongan leher yang rendah dan kalung rantai membuat penampilan wanita itu semakin cantik. Rambut panjangnya terlihat sehat dan bergelombang. Ia yakin Amber merawatnya dengan baik. Ia dapat mencium aroma parfume gardenia, violet dan jasmine khas dari tubuh Amber. Kini berada tepat di sampingnya, koper berwarna rose kini beralih ke tangannya.
“Aku sudah tahu siapa Damon Salvatore,” ucap Armand membuka topik pembicaraan.
“Aku nggak nyangka kamu menontonnya juga,” Amber terkekeh.
“Tapi aku menonton beberapa episode saja, dan lalu aku tertidur karena ngantuk sekali.”
“Terus, menurutmu bagaimana?” Tanya Amber.
Armand menatap pintu lift terbuka, ia dan Amber melangkah menuju koridor, “Aku baru menonton season pertama. Elena Gilbert jatuh cinta dengan vampire tampan bernama Stevan Salvatore. menceritakan karakter-karakter lain seperti sang 'drama queen' Caroline, Bonnie si gadis takhayul, Matt yang merupakan mantan kekasih Elena, hingga adik satu-satunya Elena yakni Jeremy Gilbert yang terkenal urakan dan tengah jatuh hati kepada kakak Matt yang bernama Vicky.”
“Perjalanan kisah ini seperti The Twillight Saga, ceritanya manis tiba-tiba datangnya Damon Salvatore, sehingga terjadi kekacauan di Mystic Falls. Yup, Damon seorang vampire muda peringainya jauh dari kata baik. Tapi aku suka karakter Damon dibanding dengan Stevan.”
“I haven't finished watching it yet, dan aku cukup tau siapa Damon Salvatore. Aku speechlees kamu mengatakan bahwa aku mirip Damon.”
Amber tertawa, “Mirip sedikit.”
“Berarti aku keren banget dong.”
“Lumayan,” Amber terkekeh.
“Thank you.”
“What for.”
“Udah ngatain aku keren mirip Damon Salvatore.”
Amber tertawa begitu juga dengan Armand.
Armand menghentikan langkah begitu juga dengan Amber, mereka saling berpandangan satu sama lain, lalu berbagi senyum. Armand mengeluarkan kunci akses dan menempelkan kartu akses, seketika kunci terbuka. Armand membuka hendel pintu kamar untuk Amber.
Armand mempersilahkan Amber masuk ke dalam kamar. Amber tersenyum ia melangkah. Amber mengedarkan pandangannya kesegala penjuru ruangan. Kamar yang akan ia tempati lebih luas dan mewah dari kamar yang ia tempati kemarin. Tempat tidur berukuran king size, karpet tebal berwarna coklat senada dengan gorden dan sofa. Kamar mandi terdapat bathup dinding kamar mandi full marmer.
Amber menatap Armand pria itu terlihat sangat tampan dia mengenakan sweter berlengan panjang dengan kerah tinggi. Otot tubuh pria itu terlihat, rambutnya disisir kebelakang dan celana jins perpaduan yang sangat sempurna.
“Kenapa?” Tanya Armand.
“Perfect,” gumam Armand.
“Who?”
“Kamarnya,” ucap Amber pada akhirnya, sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa Armand lah yang sempurna.
“Kamarnya nyaman, aku suka. Aku di sebelah.”
Armand lalu duduk di sisi tempat tidur, ia mengambil remote TV dan menghidupkan tombol power. Otomatis TV menyala, ia melirik Amber membuka high heels dan menaruhnya di dekat pintu.
“Kamu cantik hari ini.”
Amber tersenyum ia melangkah menuju tempat tidur, ia ingin merasakan nyamannya tidur di hotel ini.
“Terima kasih.”
Amber membaringkan tubuhnya di bantal, ia memandang ke arah layar tv, melihat Armand mencari siaran Tv yang menarik. Armand menghentikan pencariannya di salah satu program music. Armand membaringkan tubuhnya di samping Amber. Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“Kamu tahu nggak kenapa hotel nggak ada guling dan jam dinding?”
Armand mulai berpikir, “Hotel itu tempat istirahat Amber, di mana para tamu diharapkan untuk rilexs, menikmati tidurnya. Kebanyakan pengunjung yang datang cenderung mengalami kesulitan tidur berada ditempat asing, kebanyang dong betapa ganggunya detak jarum jam dan lagi pula jam dinding juga akan membuat tamu cepat pulang. Pengelola hotel pasti ingin pengunjungnya extended stay atau memperpanjang masa tinggal di hotel mereka.”
“Guling juga menurutku tidak diperlukan berada di tengah-tengah Kasur hanya membuat kesan tempat tidur teras lebih sempit dan menggangu ruang gerak. Pihak hotel jenis semua kamar, mau single atau family room, pasti sasaran utama untuk pasangan. Yaudah, kalau mau gulik peluk pasangan aja.”
“Kamar kamu ada guling?”
“Enggak ada, nggak pernah pakai guling,” Armand terkekeh.
“Kamar kamu pasti mewah banget.”
“Biasa aja sih, mau ke apartemenku?”
“Enggak.”
“Kenapa?”
“Bahaya,” Amber tertawa,
Armand ikut tertawa, “Ini kita di kamar hotel loh, seharusnya lebih bahaya.”
Armand menatap Amber lagi, menatap iris mata bening itu, “Menurut aku nggak bahaya sih, kalau sama-sama ingin. Itu kegiatan yang menyenangkan, baik secara emosional, lebih sehat dan membuat bahagia.”
“Apalagi ketika kita mengalami ejakulasi, rasanya sangat nikmat, tubuh kita ada sensasi getaran.”
“Maaf, aku berkata seperti ini karena kita sama-sama dewasa, dan pembicaraan ini bukan hal yang tabu lagi,” ucap Armand, ia tidak ingin Amber salah paham.
“Iya kamu benar.”
Amber menelan ludah pembicaraan mereka sudah masuk ke obrolan tentang seputar seks. Ia tidak munafik bahwa ucapan Armand benar adanya.
“Apa kamu sering tidur dengan wanita?”
“Ya nggak lah, aku nggak bisa sembarangan tidur dengan wanita Amber. Aku dulu terakhir tidur dengan mantanku.”
“Mantan kamu siapa?”
“Dia lumayan terkenal, kalau aku sebutkan kamu pasti kenal.”
“Artis?”
“Hemmm, bisa dibilang begitu,” gumam Armand.
“High class banget wanita kamu.”
Armand tertawa, “Iya lah, untuk wanita aku nggak sambarangan. Kalau yang naksir banyak, cuma ya pilih-pilih. Tidur dengan seorang wanita merupakan kegiatan intim, aku harus melakukannya dengan rasa. Karean efeknya membuat kita merasa dicintai, tenang dan nyaman.”
Armand menarik nafas, ia menatap Amber lagi, “Berhubungan intim dan menikmati makan malam bersama pasangan dengan cara romantis, itu membuat efek bahagia”.
Amber tersenyum, “Udah ah, jangan ngomongin seks, entar pengen lagi.”
Armand tertawa, “Kalau pengen juga nggak apa-apa Amber.”
“Aku paling suka posisi duduk mendekap, itu merupakan posisi paling intim yang akan membuat kita saling terikat.”
“Kamu suka posisi apa? Kalau aku sih suka semua,” Armand terkekeh.
Amber tertawa, ia melirik Armand, “Astaga kamu ini !”
“Kamu ini masih malu-malu,” Armand ikut tertawa.
Amber tertawa, ia memang sedikit malu jika berbicara tentang seks, “Ya begitulah wanita.”
“I know, semua wanita seperti itu,” Armand terkekeh.
Armand dan Amber saling berpandangan satu sama lain beberapa detik. Ada rasa getaran diantara keduanya. Mereka sudah punya tempat jika ingin berhubungan seks.
“Jika seks itu fenomena alami, bagaimana mungkin begitu banyak buku yang beredar, mengupas bagaimana cara melakukannya?” gumam Amber pelan.
“Karena orang dapat menemukan satu hal yang menarik di dalamnya,” jawab Armand.
Armand menelan ludah memperhatikan Amber yang masih memandangnya, “I want …” bisik Armand.
“Seks?”
“You want?”.
“I'm thinking about it?” Ucap Amber pelan.
“Don't think about it, we do …”
“Armand.”
“Yes, Amber.”
Amber menelan ludah, harusnya mereka tidak mengatakan ini secara gamblang. Ia tidak tahu berkata apa, seketika bibirnya kelu. Ia memandang tubuh Armand mendekatinya. Kini ia merasakan hembusna nafas Armand di permukaan wajahnya.
“Want …?” Bisik Armand.
***