Bab 2. Siasat Mitha

1445 Kata
“Apa! Kamu sudah menghamili Shasi?” tanya Ema dengan suara tertahan. Wajah Ardi tertunduk lesu. Dia tidak mengira jika malam panas itu membuatnya hilang kendali. Shasi begitu menggoda. Jauh sekali dibandingkan Mitha yang buluk dan tidak membuatnya bernafsu. “Iya, Bu.” Ardi merasa cemas. “Sejak kapan, Ardi? Kenapa kamu buat malu keluarga. Bagaimana jika ada yang tahu,” balas Ema dengan gusar. “Yah, bagaimana lagi, aku lelaki normal. Ibu pikir enak punya istri dekil kayak Mitha? Aku butuh jajan di luarlah, Bu.” Ucapan Ardi mengalir dengan santainya. Tidak ada raut penyesalan sedikit pun. “Kalau begitu, mereka harus segera menikah, Bu. Sebelum kehamilan Shasi semakin besar, lagi pula dia itu anak orang kaya, 'kan?" tanya Ambar. "Kita bisa hidup enak kalau dapat jatah." Ema tampak berpikir. Tidak ada jalan lain. Daripada dia harus menanggung malu. Cepat atau lambat bobrok putranya pasti akan ketahuan. “Keluarga Shasi sudah tahu?” tanya sang ibu. “Aku tidak tahu, Bu. Tapi ayahnya Shasi memintaku agar segera menikahinya karena kami sering pergi bersama,” balas Ardi lagi. “Sudah berapa bulan kandungannya?” cecar Ema. “Katanya sih, baru empat Minggu,” jawab Ardi. “Tunggu apa lagi, Bu,” desak Ambar. “Aku yakin Ibu pasti akan cocok dengan Shasi dibanding Mitha. Dia itu wanita cerdas dan mandiri. Jauh dari kata bodoh dan kampungan,” tambah Ardi meyakinkan. “Lagi pula Mitha tak kunjung memberiku keturunan, Bu. Rasanya hambar hubungan kami akhir-akhir ini, menyentuhnya saja aku malas.” Pria itu semakin gencar meyakinkan sang ibu dengan gadis pilihannya. “Makanya, kemarin Shasi juga aku undang kemari agar Ibu mengenalnya. Ibu lihat sendiri, 'kan? dia benar-benar berkelas.” Ardi senyum-senyum sendiri membayangkan kekasihnya itu seperti tengah puber kedua. Sedangkan Ema hanya menghela napas panjang. “Baiklah, secepatnya kamu harus menikahinya sebelum kehamilannya diketahui orang, tapi ….” “Tapi apa, Bu? Masak mau punya menantu kaya malah maju mundur,” sela Ambar. “Bukan begitu, Am. Bagaimana dengan Mitha? Bukankah dia harus tetap di rumah ini?” Ema mengingatkan. “Ya pastilah, Bu. Siapa nanti yang ngerjain pekerjaan rumah kalau bukan dia.” “Kalau Ardi menikah, apa dia akan setuju? Bagaimana jika dia menolak dan memilih kabur?” tanya Ema mempertimbangkan. “Halah, dia enggak akan berani, Bu. Mau tinggal di mana dia? Di kolong jembatan?” ejek Ardi. “Sudah Ibu tenang saja, Mitha pasti setuju, apalagi dia cinta mati sama aku.” Ardi menepuk dadanya dengan penuh kebanggaan. Kurang beruntung apa dia? Sudah punya istri legowo dan mau saja disuruh ini itu, sekarang bertambah rezekinya dapat Shasi yang sebenarnya adalah mantan kekasihnya. “Ya sudah kalau begitu, nanti Ibu atur pernikahannya, semakin cepat semakin baik,” timpal Ema. “Bagaimana kalau lusa, Bu?” usul Ambar bersemangat. “Gampang, Ibu punya kenalan seorang penghulu, kalau begitu cepat kamu kabari orang tuanya!” perintah Ema. Ardi tersenyum penuh kemenangan. Bayangan Shasi menari-nari di pelupuk matanya. Tanpa mereka sadari, Mitha mengintip dari celah pintu kamar, dia hanya berpura-pura tidur saat Ardi berganti pakaian. Dia bisa mendengar dengan jelas yang mereka bicarakan. Air matanya mengalir deras tanpa bisa dibendung. “Tega kamu, Mas. Kurang apa aku selama ini,” lirihnya. Tubuhnya luruh terduduk di lantai. Memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Selama ini, dia mengabdi dengan tulus tanpa meminta imbalan. Dia lakukan dengan keyakinan suaminya itu akan berubah perlahan. Namun, semua pengorbanannya terasa sia-sia. Kini, suaminya malah bermain api dan menghancurkan seluruh kepercayaannya. Pengkhianat tidak layak hidup di atas penderitaan orang lain. Mitha bertekad akan mengakhiri kesengsaraan hidupnya. “Sudah waktunya aku bangkit. Aku berjanji ini adalah air mata terakhir yang aku tumpahkan untukmu, Mas.” *** “Mitha, cepat sedikit masaknya, tamu kita sebentar lagi datang,” ujar Ema dengan kesal. “Iya, Bu. Sabar, sedikit lagi juga matang,” jawabnya santai. Mitha masih berbaik hati memasak untuk terakhir kalinya pada keluarga toxic sang suami. Hitung-hitung sebagai hadiah sebelum kepergiannya. Dia sudah tahu rencana mereka walaupun dirahasiakan. “Sejak kapan kamu berani balas kalau Ibu ngomong, hah?” teriak Ema. Mitha hanya menggendikkan bahu tak peduli. Toh acara hari ini tergantung kepiawaiannya dalam mengolah makanan. Keluarga yang datang pun tidak ada yang membantunya. Semua urusan dapur dia handle sendiri. “Sudah jelek, nggak tahu diri!” sewot Ambar ikut geram. Mitha memandang kakak iparnya dengan senyum sinis. Ambar hanya suka menggertak. Kenyataannya dia tak pandai dalam hal apa pun. “Apa kamu lihat-lihat?” sentaknya. “Sudah, sudah. Kok malah ribut sih, tuh tamunya sudah datang, ayo ke depan!” ajak Ardi yang tiba-tiba saja muncul. Berpakaian rapi, memakai jas, rambutnya disugar ke belakang, klimis, dan wangi. Sayangnya, dia berpenampilan seperti itu bukan untuk Mitha. “Tamu siapa, Mas? Kok kamu sampai rapi begitu. Biasanya ke kantor aja nggak serapi ini.” Mitha tak tahan untuk tidak berkomentar. Masih pura-pura tidak tahu soal apa yang akan terjadi hari ini. “Diam kamu! Jangan ikut campur! Lebih baik kamu urus aja masalah di dapur. Percuma aku jelasin juga kamu nggak bakal ngerti,” balasnya sengit. “Emang ada acara apa kok kamu nggak beritahu aku?” tanya Mitha basa basi. “Bukan urusan kamu, tugas kamu nurut aja sebagai istri, jangan sekali-kali keluar kalau tamuku datang,” balas Ardi tak suka. “Oh, gitu.” Mitha menyahut dengan enteng. Dia sudah tak lagi bersedih atau kaget. Meyakinkan hatinya untuk mengabaikan, rupanya membuatnya semakin tegar. Akhirnya, semua makanan sudah dihidangkan di ruang tengah. Juga suguhan untuk para tamu. Mitha mengintip di sela-sela tirai. Semua anggota keluarga berkumpul dan bercakap-cakap. Mereka tengah berbahagia. Lihatlah, tak ada satu pun yang mengingat Mitha. Tak lama kemudian, datang seorang pria setengah tua dengan memakai sorban dan peci hitam. “Pak penghulu datang,” ujar salah satu anggota keluarga. Mitha terkejut. Mereka senekat itu rupanya hendak melangsungkan pernikahan. Pantas dia tidak diperbolehkan keluar. Aneh, bukannya akad nikah biasanya digelar di kediaman mempelai putri. Ini kenapa di rumah mempelai pria? Ah, tetapi Mitha tidak peduli, dia segera mengganti dasternya dengan dress panjang yang paling bagus. Bersiap untuk memberi kejutan. Sedangkan di ruang tamu, Shasi sudah terlihat cantik dengan balutan kebaya lengan pendek, juga Ardi yang tampak gagah dalam balutan jas. Keduanya tersenyum sumringah menyambut pernikahan mereka. Entah kenapa persiapan yang begitu mendadak itu justru berjalan lancar. Penghulu mulai berbicara sebelum akad nikah berlangsung. Para hadirin saling berbisik. Ada salah satu dari mereka yang berucap lantang. “Maaf, Pak penghulu, Nak Ardi ini sudah punya istri. Apakah pernikahan ini sah tanpa ijin istri pertama?” tanya seorang tetangga. Namanya Wati. Dia adalah tetangga terdekat. Wati sengaja bertanya seperti itu karena sebelumnya sudah dimintai tolong oleh Mitha. “Apa?!” pekik sepasang paruh baya bersamaan. Mereka adalah orang tua Shasi. Sedangkan Ema dan Ambar melotot tak suka, sementara Ardi tak kalah geramnya. “Benar, saya adalah istri Mas Ardi.” Mitha muncul dalam balutan dres mahal dan tampak cantik, dia bahkan memoles wajahnya dengan make up tipis. Senyum tampak tersungging di bibirnya yang mungil. Melangkah anggun dan duduk di dekat suaminya. “Bukan begitu, Mas?” Ardi tampak kikuk dan salah tingkah. Dia tidak ingin pernikahannya gagal, tetapi melihat Mitha berubah cantik, darahnya berdesir. “Apa benar dia istri kamu, Mas?” tanya Shasi dengan wajah masam. “I-iya, Shasi.” Ardi mengusap keringatnya yang sebesar biji jagung. “Aku nggak mau tahu, pokoknya kamu harus tetap nikahin aku!” balasnya sengit. “Betul, kamu harus tanggung jawab, Ardi,” sahut ayah Shasi yang sudah tahu kehamilan putrinya. “Tenang, Bapak, Ibu, supaya acara berjalan lancar dan tidak ada yang dirugikan, mari kita selesaikan dengan kepala dingin!” Penghulu pun coba menengahi ketegangan yang terjadi. “Ini semua gara-gara kamu!” ujar Ambar menyenggol lengan Mitha. “Kan sudah Ibu bilang, kamu diam saja di dapur, nggak usah ikut-ikut, dasar nggak guna!” hardik Ema marah. Mitha hanya tersenyum menerima makian ibu mertua dan saudara iparnya. “Bagaimana? Apakah Anda mengizinkan suami Anda menikah lagi?” tanya penghulu pada Mitha. Wanita itu menarik napas panjang. Tidak ada gurat kesedihan di wajahnya. Dia hampir membuka mulut untuk menjawab. “Tentu saja Mitha bersedia. Ya, kan, Sayang,” ujar Ema mendahului. Sorot mata Ardi begitu tajam menunggu jawaban istrinya. Bahkan kedua orang tua Shasi seakan ikut menatapnya penuh harapan. Mitha menatap satu persatu wajah di hadapannya dengan tenang, walau bisa dia rasakan hawa panas mulai menjalar di tubuhnya. Tentu saja Mitha sejak tadi menahan amarah dan juga luka yang begitu dalam. Wanita mana yang tidak merasakan sakit jika berada dalam posisi Mitha. “Silakan dilanjutkan acaranya, tapi …. saya ada satu syarat sebelum akad berlangsung.” Semua orang yang ada di ruangan itu menatap heran. Penasaran dengan syarat apa yang akan diucapkan oleh Mitha. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN