Nana meneguk jus stroberinya dengan perlahan. Berusaha menelannya meski dengan kaku. Tubuhnya terasa bagai patung. Tidak bisa bergerak. Bayangkan saja, saat ini dia sedang duduk berdua di kantin dengan Clarissa untuk menikmati makan siangnya.
Namun dengan diikuti tatapan tajam dari seluruh pasang mata yang ada di kantin. Mengikuti semua gerak-geriknya. Bahkan beberapa ada yang sengaja menyindir Nana keras-keras. Menuduhnya ada main dengan El. Sehingga begitu mudahnya dia diterima menjadi asistennya. Dan itu cukup membuat Nana merasa gerah.
Begitu pula Clarissa yang juga dipandang seperti seorang tersangka kasus korupsi. Dirinya menjadi pusat perhatian semua orang. Clarissa mendesah pelan. Menatap Nana dengan wajah memelasnya.
"Na, kita cabut sekarang yuk! Gue udah merinding banget. Nggak kuat lama-lama disini. Takut dimakan sama para jin disini!" ajaknya dengan berbisik.
Nana mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kantin. Benar saja yang dibilang Clarissa. Semua orang disana tampak seperti iblis yang berwajah seram. Menatap Nana begitu tajam.
Nana bergidik. Mengusap tengkuknya yang merinding. Aih, kenapa dia jadi ikutan Clarissa sih. Nana meringis. Lalu tersenyum miris pada Clarissa. "Ayuk, Clar. Kayaknya kita salah tempat deh kesini tadi!" ujarnya.
Buru-buru mereka bangkit berdiri. Kemudian kabur dari kantin dengan berlari kecil menuju taman. Nana dan Clarissa duduk di bangku taman sekitar kampus dengan nafas terengah-engah.
"Gila ya! Kayaknya mulai sekarang lo mesti hati-hati deh, Na. Hatters lo banyak banget tuh! Belom juga sehari lo jadi asistennya Mr Evans. Udah banyak yang nggak suka sama lo! Gimana ntar pas lo kawin sama Aliando Syarief? Bisa kelar idup lo!" cerocos Clarissa.
Nana tersenyum kecut. "Aliando Syarief yang mirip sama Daddy gue itu kan?" tanyanya.
Nana terkikik geli melihat ekspresi sahabatnya itu. Keluarga Clarissa memang tidak sesempurna keluarganya. Sejak kecil, orang tua Clarissa sudah berpisah. Clarissa hidup dengan mamanya. Sedangkan papanya pindah ke luar negeri. Gadis itu jarang-jarang bertemu papanya. Apalagi sekarang papanya sudah menikah lagi.
Jadi Nana sungguh merasa bersyukur bisa memiliki orang tua yang lengkap. Keluarga yang bahagia. Meski ada-ada saja tingkah aneh anggota keluarganya. Tapi Nana menyayangi mereka.
Daddynya yang garang seperti serigala. Mommynya yang galak kadang manis kadang cerewet. Noah yang bandelnya minta ampun. Leyla yang banyak tingkah. Ada lagi satu orang yang hingga kini Nana anggap sebagai bagian dari keluarganya.
Rosa, mantan calon mommynya dimasa lalu. Yang kini sudah bahagia dengan keluarganya sendiri. Wanita itu akhirnya sudah menemukan tambatan hatinya. Kembali ke New York, Rosa langsung dipinang oleh seorang Produser asal Amerika. Seorang duda dua anak.
Rosa kini sudah memiliki dua anak dari pernikahannya. Yang pertama laki-laki seusia Leyla. Dan satu lagi juga laki-laki yang baru berusia empat tahun. Kini wanita itu sudah bahagia dengan keluarganya. Seringkali Nana berhubungan lewat video call dengannya.
"Na, gue pulang duluan ya!" ucap Clarissa pada Nana.
Nana mengangguk. "Oke deh. Gue habis ini juga mau jemput Noah!" balasnya.
"Ya udah gue cabut dulu. Bye Nana." Clarissa melambai pada Nana setelah mereka bercipika-cipiki.
Nana meraih tasnya. Beranjak dari duduknya. Baru akan berjalan menuju tempat parkir, Nana dikejutkan oleh suara ponselnya yang berdering. Gadis itu mengernyit saat melihat nomor pemanggil tidak dikenal.
"Ya, ha-" Belum sempat gadis itu berbicara, keburu disela oleh si penelpon.
"Ke ruangan saya sekarang!" ucapnya tegas. Kemudian sambungan telepon terputus saat Nana akan membalasnya.
Nana mengernyit. Memangnya siapa dia? Kenapa tiba-tiba berbicara seperti itu? Ke ruangan mana lagi? Nana menggeleng pelan.
"Dasar orang gila!" makinya.
Ponselnya berdering lagi. Nana mendesah pelan. Nomor yang sama dengan yang barusan menghubunginya. Dengan malas, Nana mengangkat panggilan itu.
"Hal-"
"Saya bilang ke ruangan saya! Mulai kerjakan tugas kamu sebagai asisten saya sekarang! Nggak pake lama!"
Klik. Panggilan terputus lagi. Nana terbengong menatap bodoh pada ponselnya. Gadis itu menepuk dahinya pelan. Apa itu tadi El, batinnya.
Nana buru-buru beranjak ke ruangan El yang berada tidak jauh dari tempatnya berada. Namun saat perjalanan kesana Nana bertemu dengan Janu, temannya yang dia kenal saat masa ospek dulu.
Janu menyapa Nana dengan ramah. Pria tinggi dan tampan itu tersenyum manis pada Nana. Dulu mereka sempat dekat selama beberapa bulan. Hanya dekat. Karena Nana tidak mau memiliki hubungan lebih dari teman dengan Janu. Meski pemuda itu pernah menyatakan cinta padanya beberapa kali.
"Mau kemana?" tanya Janu lembut pada Nana.
"Ke ruang dosen," jawab Nana membalas senyuman Janu.
"Oh... katanya kamu sekarang jadi asistennya Mr Evans ya?"
Nana mengangguk. "Iya. Baru hari ini."
"Terus ini mau ke ruangan Mr Evans, bukan?" tebak Janu.
"Iya. Ini aku baru mau kesana."
"Mau aku anter?" tawar Janu.
Nana menggeleng pelan. "Nggak usah. Orang deket ini. Kayak kemana aja!" balas Nana sambil terkikik.
Janu tertawa. Merasa gemas, pria itu mencubit pipi Nana. Wajah Nana memang begitu menggemaskan. Apalagi saat gadis itu tertawa. Dia tampak begitu manis. Tak heran Nana menjadi incaran banyak pria di kampusnya.
Apalagi wajah cantik yang diturunkan almarhum Nadya yang masih keturunan Jerman. Membuat gadis itu menjadi salah satu gadis yang paling diinginkan di kampusnya.
Saat Nana sedang seru berbincang dengan Janu, ponselnya tiba-tiba berdering.
"Iya si-"
"Saya suruh kamu ke ruangan saya sekarang! Bukan nyuruh kamu pacaran!" serang El sebelum Nana berbicara.
"Saya nggak paca-"
"Ke ruangan saya sekarang atau kamu mengulang tahun depan!" ancam El kemudian memutus kontak secepatnya.
Nana yang panik langsung buru-buru berlari ke ruangan El tanpa mengindahkan panggilan dari Janu. Daripada mengulang tahun depan, batin Nana. Bisa ngamuk daddy monsternya kalau sampai itu benar-benar terjadi. Dengan nafas terengah, Nana membuka pintu ruangan El. Kemudian masuk tanpa permisi ke dalam.
"Siapa yang suruh kamu masuk? Nggak ada sopannya sama sekali! Nggak bisa ketuk pintu dulu!" cecar El saat Nana baru masuk.
"Sorry, Sir..." jawab Nana dengan nafas terengah. Gadis itu pun berbalik kembali keluar pintu. Menutupnya kemudian menunggu di depan pintu ruangan El. Mengetuknya pelan.
El terkikik geli. Pria itu merasa gemas melihat tingkah Nana, gadis kesayangannya.
"Masuk!" ucap El begitu Nana mengetuk pintu ruangannya.
Gadis itu mengangguk menyapa El. "Siang, Sir." ucapnya.
"Tolong kamu bantu saya merapikan ruangan saya!" ujar El.
"Rapikan dulu rak buku sama file-file di tumpukan yang di bawah itu!" perintah El.
Nana dengan cepat beranjak menuju ke arah rak buku. Merapikan buku-buku milik El dan menyusunnya kembali. Begitu serius gadis itu mengerjakan tugasnya hingga tanpa sadar El terus saja memperhatikannya.
Nana menggapai buku di tumpukan teratas yang cukup berantakan. Gadis itu berjinjit melompat-lompat menggapai buku itu. Tapi dia tidak sadar jika dia malah membuat buku-buku tebal yang tertumpuk di sampingnya terjatuh ke arahnya.
Nana menjerit. Menutup matanya takut. Dia sudah siap merasakan rasa sakit akibat kejatuhan buku yang lumayan tebal itu. Tapi saat dia membuka matanya, Nana seketika membelalak saat matanya bertemu pandang dengan bola mata abu-abu milik El.
Pandangannya teralih pada buku tebal yang tadi hampir meniban dirinya, kini ada di tangan El. Nana menghela nafas lega. Tak lama kemudian buku yang tadi hampir jatuh menimpanya mendarat di atas kepalanya. Nana langsung cemberut pada El.
"Kalau kerja hati-hati! Untung saya sigap. Coba kalo buku ini tadi beneran jatuh kena kamu. Terus hidung kamu jadi bengkok! Bisa-bisa saya digantung sama Daddy serigala kamu itu!" omel El pada Nana.
Nana menunduk sambil merajuk. "Maaf... Uncle!" ucap Nana lirih.
"Ya udah sana rapiin yang itu aja! Yang ini biar saya yang rapiin!" seru El.
Nana mendesah pelan. Dia membatin, kenapa sekarang dia jatuhya seperti pembantu ya.
Gadis itu pun beringsut menjauhi El. Menuju sudut ruangan yang sedikit berantakan dengan kertas-kertas yang menumpuk tak beraturan.
Merapikan kertas-kertas itu. Lalu menumpuknya dengan teratur.
Lama Nana merapikan ruangan El. Hingga akhirnya selesai juga. Gadis itu menjatuhkan dirinya di sofa empuk di ruangan itu.
El terkekeh geli melihat wajah kelelahan Nana. Namun dia merasa kasihan juga padanya. Princess kesayangannya sedang kelelahan. El bangkit dari duduknya. Kemudian keluar ruangan. Meninggalkan Nana yang sudah lemas tak berdaya meringkuk di sofa.
Tak lama kemudian El kembali kesana. Pria itu mendekati Nana. Menyodorkan sebuah es krim ke wajah Nana. Nana yang tadi lemas kini langsung bangun dengan antusias. Gadis itu memekik kegirangan.
"Es krim stroberi? Uncle masih ingat kesukaan Nana?" ujarnya tak percaya.
El terdiam. Baru menyadari jika dia mengambil es krim rasa stroberi secara tak sengaja tadi. Pria itu tertegun, kenapa tadi dia harus mengambil es krim stroberi? Kenapa bukan yang lainnya? Kenapa es krim stroberilah yang pertama dia pikirkan saat melihat wajah kelelahan Nana tadi?
Mata Nana berkaca-kaca. Gadis itu langsung memeluk El erat. Mengabaikan es krim di tangan El. Yang dia inginkan hanya satu, Unclenya. Uncle El nya kembali padanya.