Daniel menghela nafasnya diam-diam ketika mobil yang dia tumpangi diketuk dari luar oleh seseorang. Pria itu lantas membuka pintu mobil dengan malas. “Kenapa sih?”
“Turun!” sentak seorang pria paruh baya dengan wajah sangar dari luar mobilnya yang membuat Daniel menghela napas panjangnya.
“Kenapa harus kesini sih? Percuma, Pa. Si Abby kan nggak tinggal di sini,” keluh Daniel malas.
“Papa kesini bukan untuk ketemu sama Abigail! Tapi bertemu orang tuanya! Dimana-mana kalau mau melamar itu ya ketemu orang tuanya, Dan!”
Daniel berdecak mendengar perkataan papanya. Pria itu terpaksa ikut karena papanya mengancam akan menendangnya keluar dari kantor jika sampai menolak. Daniel tidak mau seperti itu. Dia tidak suka diremehkan oleh keluarga ibu tirinya jika sampai dia keluar dari perusahaan. Dan lagi, mau kemana pula dia jika tidak bekerja di kantor papanya?
Daniel takut kehilangan segala fasilitas, uang dan pekerjaannya saat ini. Lebih takut dibanding bertemu Diana. Karena itu dengan langkah lemas, pria itu mengikuti langkah papanya, Andrew masuk ke dalam rumah dengan ibu tirinya yang sudah lebih dulu masuk. Langkah Daniel sontak terhenti ketika melihat di jalan menuju ke ruang keluarga, mamanya sedang mengobrol dengan Diana.
Pria itu mendesah panjang ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Diana. Wanita itu memandangnya penuh kekecewaan sebelum kemudian buang muka dan mengantarkan kedua orang tua Daniel untuk menemui orang tuanya, Alan dan Desy.
“Diana!” Daniel memanggil Diana yang saat ini sedang duduk sendirian di pinggir kolam renang.
Wanita itu yang tadinya sedang melamun langsung menoleh ke arah Daniel lalu berdecak kecil. “Ngapain kamu di sini? Bukannya seharusnya kamu ada di dalam buat membicarakan rencana pernikahan kamu sama Abby?”
“Di …,” desah Daniel lirih. “Aku sama sekali nggak menginginkan pernikahan ini. Kamu tau kan, siapa orang yang paling ingin aku nikahi di dunia ini.”
“Nggak tau,” balas Diana cepat. “Mana bisa aku meraba hati orang lain? Buktinya aku ketipu kan sama ucapan kamu. Di bibir kamu bilang kalau kamu cinta sama aku. Tapi di belakang aku kamu making love sama cewek lain!” katanya marah.
“Saudara aku sendiri pula! Gila emang kamu ini, Dan!” Diana bangkit. Gadis itu bergegas pergi dari sana, tapi Daniel segera menahan langkahnya.
“Di! Aku sepakat sama orang tuaku. Kalau pernikahan kami akan berjalan sampai anak itu lahir! Setelah itu, kami bercerai.”
Diana sontak kaget mendengar kata-kata mantan pacarnya itu. “Apa?”
Daniel mengangguk kecil sambil menatap gadis itu, meyakinkan Diana jika dia tidak salah dengar. “Karena kami nggak yakin bayi yang dikandung sama Abby adalah anakku. Kamu tau sendiri kan kalau saudara kamu itu cewek nakal. Dia terjerat pergaulan bebas, keluar masuk klub malam dan--- “ Ucapan Daniel sontak terhenti ketika pipinya ditampar dengan keras oleh Diana.
Pria itu terkejut. Dia mendelik kaget. “Di …”
“Kamu itu udah salah, minimal instropeksi diri, Dan! Jangan malah menghina orang lain! Jangan sok suci kamu!” ujar Diana tajam. “Terus gimana kalau seandainya anak itu benar darah daging kamu? Kamu masih mau menceraikan Abby?”
Daniel mengangguk dengan yakin. “Pasti. Aku tetap akan menceraikan Abby dan menikahi kamu,” jawabnya. “Aku harap kamu sabar menunggu, Di. Papa sama Mama juga udah setuju sama rencana ini. Karena yang mereka inginkan juga kamulah orang yang menjadi menantu mereka, bukan Abby. Sementara ini, mereka cuma ingin menutup rasa malu karena ada wanita yang mengaku hamil anakku.”
Diana sungguh geram. Dia tidak menyangka jika bukan hanya Daniel yang gila di sini, melainkan kedua orang tuanya juga. Bagaimana mungkin mereka menyetujui rencana gila Daniel. “Kamu …” Diana menatap Daniel dengan mata melebar, dia kehilangan kata-kata untuk dia ucapkan kepada mantan pacarnya itu.
“Aku sangat mencintai kamu, Di. Aku harap kamu sabar menunggu kami bercerai nanti,” kata Daniel sungguh-sungguh.
Diana tidak bisa memungkiri jika dia sempat tergoda dengan janji Daniel. Dia sangat mencintai pria itu. Setelah berpacaran selama lima tahun dengan Daniel, mustahil dia bisa melupakan pria itu begitu saja. Bahkan sampai saat ini, Diana masih sering menangis. Dia sampai stres saat memikirkan Daniel yang akan menikahi saudari tirinya, Abigail.
“Di … kamu nggak percaya sama aku?”
Diana menggeleng pelan. “Nggak tau, Dan. Aku bingung.”
“Kamu harus percaya kalau pernikahan ini nggak akan lama, Di. Ini bukan pernikahan seperti yang dilakukan orang lain. Kami hanya menikah untuk menghindari gosip. Itu aja, kok. Bayi yang dikandung Abby itu bukan anakku,” ujar Daniel dengan sangat yakin.
Dia bisa mengatakan seperti itu, karena dia sungguh-sungguh yakin dia tidak mungkin sampai menghamili Abigail, bahkan ketika dia sedang mabuk. Dia yakin itu.
“Lalu jika bayi itu benar anak kamu?”
“Kan aku udah bilang, aku tetap akan menceraikan Abigail. Dan aku akan minta hak asuhnya, jika memang dia anakku. Kita bisa merawatnya bersama nanti setelah menikah. Jadi biarkan aku terus bersama kamu sampai aku dan Abigail bercerai nanti.”
Diana diam untuk beberapa lama. Gadis itu lantas menghela napas beratnya. Ucapan Daniel yang terdengar begitu yakin, membuatnya ragu. Mungkinkah Abigail berbohong dan Daniel justru jujur? Diana tidak tau apa yang harus dia lakukan. Menolak atau mungkin mengikuti rencana Daniel. Namun, bisakah dia menikung saudaranya sendiri?
***
Abby menggeram kesal. Wanita itu bangun dengan bersusah payah. Dia menyingkirkan selimut untuk turun dari ranjangnya yang nyaman. Dia ingin segera turun dan membuka pintu lalu membentak orang yang berani membunyikan bel apartemennya sepagi ini. Demi Tuhan, Abigail masih mengantuk. Semalam dia begadang untuk mengerjakan proyek terbarunya dengan salah satu penerbit. Deadline yang harus dia penuhi sebentar lagi dan dia diharuskan lembur jika tidak ingin kehilangan pekerjaan.
Abby mengenakan sandalnya dengan tidak sabar dan hampir berlari ke arah pintu jika saja dia tidak ingat jika dia sedang hamil. Abby sontak mengelus perutnya. Dia tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada bayinya. Dia akan menjaga bayi itu. Karena bayi itu adalah senjatanya, senjata ampuh untuk menyiksa hidup Daniel.
“Sia-“
Astaga! Abby menyesal tidak mengecek layar interkomnya terlebih dahulu tadi. Wanita itu hampir saja membentak calon ibu mertuanya. Abby sontak menutup mulutnya rapat-rapat lalu menebar senyum sopan. “Tante …”
Wanita itu, Siera Wijaya, ibu tiri Daniel, berdiri dengan angkuh di depan pintu bersama dengan seorang gadis seumuran Abby. “Baru bangun?”
Abby sekali lagi tersenyum sopan. Dia mengangguk pelan, hal yang tidak pernah dia lakukan di depan orang lain selama ini. “Iya, Tante. Semalam Abby lembur,” jawabnya.
Siera mendesah lirih. “Masih kerja, kamu? Kan tiga hari lagi kamu sama Daniel menikah,” katanya.
Abby lantas mempersilahkan wanita itu untuk masuk. “Mau minum apa, Tante?”
“Nggak usah repot-repot!” balas Siera. “Duduk kamu! Saya mau bicara sama kamu.”
Abby tidak memiliki pilihan lain selain mematuhi perintah wanita itu. Dia duduk lalu menatap dua wanita itu dengan bergantian. “Abby dikejar deadline, Tante. Soalnya kan Abby mau cuti lusa dan nggak kerja sampai minggu depannya. Jadi harus---"
“Ini Sinta,” sela Siera memperkenalkan gadis di sebelahnya. “Dia akan jadi asisten kamu. Dia akan bantu pekerjaan kamu supaya kamu nggak terlalu sibuk dan bisa mempersiapkan diri untuk hari pernikahan kamu sama Daniel nanti.”
“Asisten?” seru Abby heran.
“Kamu bisa suruh Sinta ini untuk bantu-bantu kamu, selain mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Karena kamu udah punya pembantu yang datang tiap hari kan? Sinta akan tinggal sama kamu sementara sampai kamu sama Daniel menikah.”
Abigail mendesah lirih. Dia yang tidak suka ada orang lain di apartemennya. Bahkan pembantunya saja harus pulang pergi setiap hari. “Tapi, Tante … Abby nggak butuh---“
“Jangan bantah!” sela Siera dengan wajah masamnya. Wanita itu menggeleng pelan, dia sangat menyayangkan kenapa bisa anak tirinya itu menghamili wanita seperti Abigail. Dia sangat berantakan, tidak seperti Diana. Namun mau tak mau, suka tak suka, Siera harus menerima wanita itu menjadi menantunya demi menghalau rasa malu dari pandangan orang.
Siera lantas melihat ke arah sekelilingnya. “Dan satu lagi!”
Wanita itu bangkit, melihat ke arah sekelilingnya, seperti tengah memantau sesuatu. “Sinta juga akan bantu kamu berkemas-kemas.”
Abby mengerutkan keningnya. Belum sempat wanita itu bertanya kepada Siera, tapi Siera sudah lebih dulu membuka mulutnya untuk melanjutkan bicara. “Karena setelah menikah sama Daniel, kamu akan tinggal di rumah saya.”
Abigail mematung. Mati lo By, batinnya dalam hati. Abby tidak pernah memperkirakan hal ini sebelumnya. Jika dia harus tinggal dengan mertua setelah menikah, maka dia benar-benar akan mati.