Sebuah mobil Alphard berwarna putih terlihat memasuki sebuah kawasan perumahan elit nan hijau dan rindang. Mobil itu terus melaju mengikuti jalan meliuk di antara hamparan rumput yang terlihat lembut. Hamparan rumput bukanlah milik fasilitas umum, melainkan adalah halaman dari rumah yang terlihat megah itu. Di dalam mobil itu terlihat seorang lelaki dengan setelan yang necis dan rapi. Rambutnya terlihat mengkilat. Alis matanya tebal, tatapan matanya tajam, berhidung mancung dan bibir yang terlihat sexy. Semua itu semakin sempurna saat dibingkai oleh garis wajah dan rahang yang tegas.
Mobil itu pun berhenti tepat di depan teras rumah yang beratap tinggi dengan ditopang oleh pilar-pilar raksasa. Para pelayan yang sudah berdiri di sana pun langsung membukakan pintu mobil itu dengan segenap rasa hormat.
“Selamat datang Tuan Muda.” Ucap salah satu pelayan lelaki yang sudah terlihat cukup berumur.
“Papa ada di mana?” tanya lelaki itu.”
“Beliau ada di dalam dan sudah menungguk Tuan sejak tadi,” jawab sang pelayan.
Lelaki dengan postur tubuh atletis dan tinggi itu pun segera melangkah gusar memasuki rumah.
Lelaki berusia 25 tahun itu bernama Danu Wijaya Hadiningrat. Dia merupakan putra dari seorang konglomerat Indonesia— Baskoro Hadiningrat yang terkenal mempunyai bisnis yang mengular seantaro Indonesia. Danu adalah sosok keturunan darah biru yang tidak pernah mengecap kesulitan sepanjang hidupnya. Dia sudah terlahir dengan sendok emas dimulutnya sejak kecil. Kepribadiannya sedikit angkuh dan pongah. Danu bahkan terkesan tidak memiliki sisi kemanusiaan sama sekali. Wajahnya sealu terlihat tegang dengan tatapannya yang tajam. Sejauh ini tidak ada satu orang pun yang mengaku pernah melihat sosok lelaki itu tersenyum.
Pagi ini Danu seharusnya sudah terbang ke Singapore untuk perjalanan bisnisnya. Namun sebuah kabar mengejutkan membuat Danu mengurungkan niatnya dan kembali balik ke rumahnya. Kabar itu ebnar-benar membuat Danu murka dan mengamuk. Dia bahkan memaki-maki sang sekretaris yang tidak memebritahhunya tentang rencana sang papa.
Danu berbelok memasuki ruangan kerja sang papa. Di sana terlihat sosok Baskoro Hadiningrat yang sedang membaca koran dengan menggunakan kacamata bacanya. Sosok tuan besar itu bahkan masih mengenakan baju tidurnya. Di atas meja terlihat ada secangkir coffe latte yang masih mengepulkan asap.
“Kamu sudah datang?” sang papa akhirnya menyadari kedatangan Danu.
Danu menatap tajam. “Apa yang sedang Papa coba lakukan?”
Sang papa berdehem, lalu melipat korannya. “Papa ingin membawa Riana dan juga Devan tinggal di rumah ini bersama kita,” jawab sang papa.
“Apa? jadi Papa ingin membawa perempuan dan anaknya itu ke rumah ini?” Danu menatap tak percaya.
“Apa salahnya? Toh dia itu ibu sambung dan juga adik kamu sendiri,” jawab sang papa.
Danu menggertakkan pangkal gerahamnya kuat-kuat. “Mama belum setahun meninggal dunia dan sekarang Papa ingin membawa simpanan Papa itu ke rumah ini?”
“Jaga ucapan kamu! Papa sudah menikah dengan dia secara legal dan mama kamu sendiri pun juga sudah merestuinya. Jangan lagi mengungkit masalah itu!” hardik sang papa.
“Tapi, Pa ... tetap saja. Membawa perempuan itu ke rumah ini bukankah terlalu kejam?” tanya Danu.
Sang papa menelan ludah. “Ini adalah keputusan Papa. Lagipula ini adalah rumah milik Papa dan kamu tidak bisa melarang Papa untuk melakukan apa yang Papa inginkan.”
Danu menatap getir. “Oh, jadi begitu. Baiklah! Kalau begitu lakukan saja semua yang Papa mau!”
Danu berkata ketus dan segera keluar dari ruangan itu.
_
“Ada apa lagi?” seorang pria dengan wakah seperti orang timur tengah menepuk pundak Danu dengan pelan.
“Ah, kamu sudah datang,” ucap Danu seraya meneguk gelas birnya.
Lelaki bermata belo dan hidung yang tinggi itu bernama Riyan Mubaraq. Sekilas dia memang benar-benar terlihat seperti keturunan Arab, apalagi jika brewok dan kmuisnya sudah menjalar dengan subur. Riyan memiliki kulit sawo matang dan juga mempunyai senyuman yang manis dengan lesung di pipi kanannya. Riyan merupakan sahabat Danu sejak masa mereka kuliah. Saat ini pun Riyan sendiri juga bekerja sebagai manajer operasional di perusahaan yang dipimpin oleh Danu.
“Ada apa? bukannya harusnya sekarang kamu sedang melakukan perjalanan bisnis keluar negeri?”
Danu mendesah pelan dan menatap sosok sahabatnya dengan mata sayu. “Papa mau ngebawa wanita dan anaknya itu ke rumah.”
Deg.
Danu terdiam dan tidak bisa berkata-kata. Dia duduk dia duduk di sebelah Danu dan mengambil sebuah cangkir bir yang sudah disediakan oleh bartender di depannya.
“Aku benar-benar tidak bisa menerima yang satu itu,” ucap Danu lagi.
Riyan mengangguk tanda engerti. Dia tahu betul perasaan Danu. Kehidupan Danu sejatinya hancur saat fakta tentang hubungan gelap sang papa terkuak. Kejadian itu terjadi ketika Danu baru saja memasuki bangku universitas. Saat itu sosok Danu tidak sedingin sekarang ini. Sebelumnya dia adalah sosok yang cukup ramah dan juga aktif bersosialisasi dengan orang lain. Danu bahkan termasuk mahasiswa yang aktif diberbagai kegiatan kampus. Sampai akhirnya malapetaka itu datang. Kehebohan terjadi saat sang papa diketahui mempunyai seorang wanita simpanan yang sudah mengandung anaknya.
Kejadian itu benar-benar membuat Danu frustasi. Dia benar-benar tidak bisa menerima kenayatan itu. Danu tidak tahan melihat sang mama yang selalu menangis setiap hari karena itu. Mental Danu benar-benar terganggu dengan konflik yang melanda keluarganya. Dia bahkan sempat mendapatkan perawatan khusus oleh psikiater dan juga mengambil cuti selama satu semester untuk memulihkan kesehatan mentalnya.
Sejak itu pula Danu berubah membenci sang papa. Sebelumnya Danu sangat bangga terhadap papanya itu. Dia selalu menjadikan sang papa sebagai sahabat terbaik dalam hidupnya. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama seperti mendaki gunung bermain golf, dan berbagai kegiatan menyenangkan lainnya. Apalagi sejak rahasia itu terbongkar, sang mama menjadi sakit-sakitan di sisa hidupnya. Kebencian Danu bahkan semakin menjadi-jadi saat dia harus kehilangan sang mama kurang lebih setahun yang lalu.
“Tapi, Dan... kamu masih ingat, kan wasiat Alhamrhumah Mama kamu sebelum beliau wafat?” tanya Riyan kemudian.
Gerakan tangan Danu yang sedang meneguk gelas birnya seketika melambat. Dia ingat betul bahwa sang mama berpesan kalau dia tidak boleh pergi dari rumah itu. Karena sebelumnya Danu memang mengatakan kepada sang mama bahwa satu-satunya alasan dia bertahan di rumah itu adalah karena keberadaan sang mama. Siapa sangka, sang mama malah memintanya untuk terus tinggal di sana walaupun dia sudah tiada nantinya.
“Ini adalah rumah kita. Ini adalah rumah kamu. Jadi kamu tidak boleh pergi dari rumah ini, Mengerti....”
Ucapan sang mama kini kembali terngiang-ngiang oleh Danu.
“Ya. aku masih mengingatnya,” ucap Danu kemudian.
“Aku juga tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Kamu tahu sendiri kalau tak ada satu otang pun yang bisa menghalangi kekuasaan Papa kamu itu,” ujar Riyan.
Danu tersenyum pelan. “Ya, kamu benar. Dia adalah lelaki penuh dosa yang masih saja mendapatkan nikmat di sepanjang hidupnya.”
_
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam saat Danu kembali tiba di rumahnya. Seharian ini dia hanya bermain-main bersama Riyan dan tidak melakukan aktivitas yang berarti. Danu berjalan sempoyongan keluar dari mobilnya karena terlalu banyak mengkonsumsi minuman beralkohol. Tidak sampai di situ saja, dia tadi juga mencari hiburan dengan mendatangi sebuah tempat karaoke dan melakukan aksi gila bersama Riyan yang juga sama ‘gila’ dengannya.
Danu mendensah pelan. Biasanya sang papa sudah terlelap di waktu seperti ini. Baguslah. Dia memang tidak ingin melihat wajah sang papa untuk sementara waktu. Danu emlangkah pelan memasuki rumahnya yang lengang. Dia berniat hendak langsung menaiki tangga menuju ke kamarnya. Namun langkah kaki Danu melambat saat dia mendengar suara gelak tawa sang papa yang terdengar samar.
Danu mengernyit bingung. “Papa mengobrol dengan siapa malam-malam seperti ini?”
Karena merasa penasaran, Danu pun berbelok menuju ruangan keluarga tempat sumber suara itu berasal. Dia melangkah pelan seraya menahan napasnya. Tak lama berselang dia mendengar suara seorang anak lelaki yang juga terdengar tertawa.
Deg.
Danu mempercepat langkahnya dan langsung terkejut melihat pemandangan di depannya itu.
“Ah ... kamu sudah pulang!” sapa sang papa.
Danu tidak menjawab. Dia masih terpana melihat sosok perempuan dan seorang anak lelaki yang berusia delapan tahun itu.
“Ehmm ... seperti yang sudah Papa katakan kepada kamu, Riana dan Devan mulai sekarang akan tinggal bersama-sama dengan kita di rumah ini,” ucap sang papa.
Danu menelan ludah. Dia beralih menatap dua orang asing itu dengan sorot tajam. Perempuan dengan rambur bergelombang itu hanya menundukkan kepala. Sedangkan bocah bernama Devan itu juga terlihat ketakutan dan meringkuk di balik punggung ibunya.
“Jangan menatapnya seperti itu! kamu membuat dia ketakutan,” sergah sang papa.
Danu tersenyum getir. Bagaimana bisa sang papa membawa wanita yang sudah menghancurkan keharmonisan keluarga mereka ke rumah ini?
“Ayo sapa mereka!” suruh sang papa lagi.
Hening.
Danu tidak menuruti perintah papanya itu. Dia masih menatap tajam pada sosok Riana yang kini menjadi ibu sambungnya itu. Danu tidak akan pernah lupa tentang bagaimana dia mengetahui hubungan gelap sang papa dengan wanita itu. Dulunya Riana adalah sosok sekretaris sang papa. Wanita itu sendiri juga cukup akrab dengan mama dan Danu sendiri. Riana dulu juga sering diundang untuk makan bersama di rumah itu. Tidak ada kecurigaan sama sekali. Riana adalah orang yang baik dan santun. Dia bahkan juga sering membantu Danu dalam menyelesaikan PR-nya di masa lalu. Almarhumah sang mama sendiri juga sangat menyayangi Riana. Beliau semasa hidupnya sering membagikan masakan buatannya dan juga membelikan Riana pakaian dan lain-lain ketika dia juga berbelanja. Riana bahkan sudah dianggap seperti keluarga sendiri oleh Danu dan mamanya. Namun siapa sangka, wanita itu diam-diam malah memadu kasih dengan sang ayah. Peristiwa itu pun juga dipergoki oleh Danu dan mamanya sendiri sendiri yang hari itu kebetulan ingin memberikan surprise ulang tahun kepada sang papa yang lembur bekerja di kantornya. Mereka berdua menyaksikan dengan mata kepala sendiri sang papa yang sedang b******u dengan wanita itu. Hingga detik ini pun Danu masih belum bisa melupakan kejadian itu dan mungkin dia tidak akan bisa melupakannnya sepanjang sisa umurnya.
“H-halo Danu,” sapa Riana dengan suara bergetar.
Danu mengepalkan tinjunya kuat-kuat, lalu segera pergi dari sana dengan langkah gusar. Dia berlari menaiki tangga dan menghempaskan pintu kamarnya sekuat tenaga. Suara helaan napas Danu pun kini terasa sesak. Hatinya benar-benar berontak. Batinnya tidak bisa menerima kehadiran mereka di rumah itu. Danu terhuyung dengan kepala yang terasa pening. Tatapannya pun lalu beralih pada potret sang mama yang digantung rapi di dinding kamarnya.
Danu melangkah gontai mendekati figura itu, lalu menyentuh potret sang mama dengan sebening air mata yang mengalir di pipinya.
“Maafkan aku, Ma ... sepertinya aku tidak bisa menepati janji pada Mama untuk tetap berada di rumah ini,” bisiknya lirih.
_