Housemates With The Boss - 06

1099 Kata
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tapi si Arabic man alias Riyan Mubaraq masih belum bisa memejamkan mata. Selama dua hari belakangan ini tidurnya tak lagi nyenyak. Hari-hari tenangnya sudah terusik sejak kedatangan bangsa kolonial yang menjajah apartemennya. Suasana kamar apartemen itu bahkan sangat gelap gulita sekarang. Tak ada secercah pun cahaya yang boleh menyala termasuk lampu kecil dari sambungan terminal listrik yang juga ditutup dengan kain oleh Danu. Lelaki itu baru bisa tidur dengan keadaan yang sangat gelap. Sementara Riyan terbiasa tidur dalam keadaan terang benderang. “Haaaaah ….” Riyan mendesah pelan sambil melirik ke atas kasurnya yang nyaman. Saat ini kasur itu ditempati oleh Danu seorang diri. Sedangkan Riyan yang notabene adalah pemilik atau tuan rumah malah tidur di lantai yang hanya dialasi dengan selimut tipis. “G-gantian dong … malam ini gue yang tidur di atas,” ucap Riyan dengan suara yang terdengar takut-takut. Danu sontak membuka matanya, dia menatap langit-langit kamar yang kini gelap. Namun begitu matanya mulai terbiasa dengan gelap dan bisa melihat beberapa fitur yang ada dalam ruangan itu. “Nu … lo denger gue kan? Punggung gue dua hari ini udah kesakitan tau, gegara tidur di sini.” Danu menghela napas panjang. “Kalo begitu lo beli kasur lagi aja.” Deg. Riyan melotot dalam gelap. Sungguh getir sekali rasanya mendengar kalimat yang terlontar dari bibir manja teman lak-natnya itu. “Hahah … jadi yang kudu beli kasur itu gue?” tanya Riyan. “Ya, siapa lagi,” jawab Danu santai. Riyan meniup wajahnya yang terasa panas. Dia langsung duduk dan bersiap untuk menyemprot Danu menumpahkan kekesalannya. Tapi baru saja Riyan hendak bersuara, Danu kembali bersabda sambil berbalik memunggungi Riyan yang kini duduk memandangnya. “Gue capek! Jadi gue harap lo diem dan tidur aja.” Hening. Riyan hanya bisa meringis dan akhirnya patuh. Dia merebahkan tubuhnya kembali. Menarik selimut, kemudian memejamkan mata dengan bibir berkedut menahan kepahitan hidup yang kini mendera. . . . Sudah tiga hari Danu tidak masuk ke kantornya. Saat ini dia menjabat sebagai CEO di salah satu perusahaan induk milik sang papa. Hari ini akhirnya Danu memutuskan untuk kembali masuk seperti biasa. Hati dan perasaannya sudah sedikit tenang dan ia merasa sudah bisa kembali menekuni pekerjaannya itu. Setelah memarkir mobilnya. Danu langsung memasuki kawasan gedung perkantoran itu dengan langkah gagah seperti biasa. Dia berjalan menembus lobi yang super luas dengan desain mewah dan elegant. Danu terus melangkah, namun dia merasa ada yang janggal. Kedatangannya menjadi pusat perhatian. Para pekerja terlihat menatapnya dengan sorot sangsi. Sebagian juga langsung berbisik pada sesama mereka. Danu mengerutkan keningnya, tapi kemudian dia bersikap acuh dan melangkah menuju lift di ujung sana. Saat akan menaiki lift pun, tatapan mata yang sedikit aneh itu masih mengikutinya. Apalagi ada rombongan yang juga akan masuk ke dalam lift. Tapi ketika melihat Danu, mereka kompak memasang wajah kaget dan mematung di depan pintu lift yang masih terbuka. “Kalian mau masuk atau tidak …!?” sergah Danu. Glek. Mereka semua terkejut, saling tatap, lalu kemudian saling dorong untuk masuk ke dalam lift. Pintu lift menutup pelan. Danu berdiri tenang dengan kedua tangan masuk ke dlam kantong celana. Sementara itu orang-orang di belakangnya mulai berbisik. Mereka taj henti mencuri-curi pandang melirik Danu, lalu kemudian kembali berbisik. Danu tidak tahu apa yangs edang mereka ributkan, tapi yang jelas lelaki itu mulai merasa terganggu. Danu perlahan memutar tubuhnya dan menatap mereka satu persatu dengan tatapan dingin yang mengintimidasi. Suara-suara bisikan itu pun lenyap berganti sunyi. Wajah-wajah itu kini terpekur. Sebagian menyurukkan wajah mereka dipunggung rekan yang ada di depannya. Danu menatap kesal. “Kenapa? Apa ada yang salah dengan penampilan saya?” tanya Danu. Mereka semua kompak menggeleng. “Cih, kalian benar-benar menggelikan.” Danu kembali berbalik dan tidak sabar untuk keluar dari sana. Pintu lift itu pun terbuka di lantai empat. Danu segera keluar karena ruangannya berada di lantai itu. Sesaat setelah pintu lift itu kembali menutup, bisik-bisik itu pun kembali terdengar ricuh. “Kenapa dia masih datang ke sini?” “Apa dia belum mengetahuinya?” “Duh, aku takut akan terjadi pertumpahan darah!” Komentar-komentar yang dipenuhi nada cemas itu pun terus menggema. Sementara Danu terus melangkah menuju ruangannya. . . . “Mari kita kembali bekerja,” bisik Danu sambil mendorong pintu itu. Tapi alangkah terkejutnya Danu saat melihat seorang lelaki berperawakan kecil yang tampak sedang duduk fokus di meja kerjanya menatap sebuah dokumen. Danu menautkan alis dan lanjut melangkah. “Mas Denif kenapa di sini?” Sosok bernama Denif itu mendongakkan wajahnya. “D-Danu ….” Danu masih menatap bingung. Dia semakin terkejut saat melihat sebuah papan nama yang bertuliskan nama Denif di sana. Danu pun menatap nanar, dia tercekat dan tidak bisa berucap untuk sekian detik. Hingga kemudian ia menatap Denif yang juga terlihat salah tingkah. “A-ada apa ini, Mas?” tanya Danu lagi. Denif langsung bangun berdiri. Lelaki yang sebelumnya menjabat sebagai sekretaris pribadi Danu itu pun terlihat canggung dan bingung untuk menjelaskan situasinya. “B-begini, Nu … saya sebenarnya juga masih bingung da tidak mengerti. Tapi tiba-tiba saja kemarin Papa kamu datang ke sini dan meminta saya untuk ….” Denif tidak meneruskan kalimatnya saat melihat Danu tersenyum sumbang. Danu mengangguk pelan. “Aku mengerti.” Denif menelan ludah. “Maafkan saya, Nu … saya sungguh juga tidak menginginkannya, tapi Tuan besar memaksa saya.” Danu tersenyum. Dia sangat mengenal sosok Denif yang selama ini memang sangat setia dan loyal kepadanya. Denif yang ditugaskan oleh sang papa untuk memantau pergerakannya bahkan selalu melindungi Danu selama ini. Denif selalu melaporkan yang baik-baik saja dan sebisa mungkin menjaga privasi Danu. Karena itulah Danu mengerti dan memahami situasinya. Terlebih Denif adalah sosok anak yatim piatu yang dulunya dibiayai oleh sang papa karena prestasinya yang gemilang. Danu sendiri sudah menganggap Denif seperti saudara kandungnya sendiri. Mereka berdua sering menghabiskan waktu bersama. Denif adalah satu-satunya orang yang bisa membuat Danu terbuka untuk bercerita tentang apa saja. “Aku mengerti, Mas … kalau begitu aku pergi dulu,” ucap Danu kemudian. Denig langsung mencegat Danu. “Kamu mau ke mana? Saya dengar kamu kabur dari rumah? Kamu tinggal di mana sekarang?” Danu hanya tersenyum. “Kamu bisa tinggal di apartemen saya yang kosong!” pekik Denif lagi. Dani berbalik dan menggeleng. “Tidak perlu … nanti kalau Papa tahu kalau Mas bantuin aku … maka itu akan membuat Mas Denif berada dalam kesulitan.” Danu melambaikan tangannya dan kemudian menghilang di balik pintu. Sementara Danu kini mengembuskan napas kasar dan masih merasa khawatir pada sosok lelaki yang terlihat tegar, namun rapuh di hatinya itu. . . . Bersambung …
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN