Seorang pria tampan yang tampak familiar keluar dari halaman utara menuju mobil kuning itu. Ketika sang pengemudi turun ia menyapa pria itu dan mengambil sebuah kotak lalu hendak berbalik ketika matanya menyapu taksi yang berhenti di pinggir pintu gerbang.
Itu Bastil!
Menyadari seseorang mengikutinya. Pria dimobil kuning segera masuk ke mobil dan mengemudi keluar vila dengan kaca tertutup. Setelah mobil kuning itu melarikan diri, Bastian masih mengamati taksi mencurigakan di halaman rumah mereka itu.
Bastian berjalan mendekat kearah taksi.
"Apa sudah waktunya melarikan diri?" Tanya si gadis pengemudi. Risya menggeleng.
"Jangan, kamu sudah terlambat." Jawabnya gugup.
Tampaknya Risya tidak punya pilihan selain turun dan menghadapi Bastian. Sebuah fikiran buruk melintas, apakah Bastian adalah dalang dibalik kecelakaannya? Tapi mengapa dia melakukan itu? Apa motifnya? Jika itu adalah Bastian, mengapa lelaki itu menolongnya di pesta itu?
Risya menghela napas ketika ribuan pertanyaan tanpa jawaban menyiksanya. Baik! Mari kita lihat.
"Kamu tidak keberatan menungguku sebentar?" Risya bertanya pada gadis itu.
"Tidak masalah asal argo tetap jalan." Jawabnya blak blakan. Risya mengangguk setuju.
Ia segera turun dari taksi. Bastian hari ini tampak lebih tampan dibanding dalam balutan pakaian formal seperti jas atau tuxedo. Ia mengenakan kemeja putih yang lengannya digulung dengan kerah terbuka hingga menapakkan lebih banyak kesan maskulin.
"Kamu merindukanku begitu cepat?" Tanya Bastian dari jarak sepuluh meter. Mendengar kata-kata itu, Risya yang tertatih-tatih dengan susah payah segera berhenti di tengah jalan dengan wajah kaget.
Tampaknya pria ini terlalu percaya diri.
"Aku tidak jadi mampir, aku permisi dulu." Risya sudah berputar untuk berbalik arah kembali menuju taksi, sisi narsis ini adalah sisi lain Bastian yang tidak dia kenal.
Bastian segera mengejarnya dengan langkah besar. Ia segera meraih pinggang Risya dan menggendongnya ke dalam pelukan dengan satu gerakan.
"Kakak, apa yang kamu lakukan?"
Risya terpekik kaget.
"Berhenti memanggilku kakak." Ujarnya kesal.
"Turunkan aku." Kata Risya dengan mata melotot.
Ini di halaman Rumah keluarga pamannya, bagaimana bisa bersikap tidak sopan seperti ini di rumah orang lain.
"Kamu bahkan belum melihatku tapi sudah ingin pulang. Ayo masuk." Bisik Bastian sambil tersenyum. Kemana wajah dingin lelaki ini menghilang?
"Turunkan aku." Pekik Risya marah
"Aku bisa jalan sendiri."
"Tidak, kamu pincang." Jawab Bastian santai. Ia terus memegang Risya dalam pelukannya.
Aroma bunga yang manis menyeruak ke indra penciuman Bastian, seketika seperti menenangkan saraf.
"Bastil...aku...ada hal yang aku lupa kerjakan." Risya beralasan sambil cemberut.
"Hmmm, benarkah? Apa itu?" Ketika itu Bastian sudah membawa Risya ke lantai atas.
"Kamu tau, aku masih harus mencuci baju, mengepel lantai, memasak dan...mencuci piring."
"Apa villa utara sekarang kekurangan pelayan?"
"Tidak, tapi..."
"Baiklah." Bastian menurunkan Risya di ruang kerjanya.
Sudut utara adalah area pribadi Bastian. Ruang kerjanya adalah sebuah ruangan besar dengan perpustakaan yang mengagumkan.
Ketika Risya ia dibuat terpana dengan pemandangan itu. Bastil yang misterius dan dingin ternyata punya sisi hangat yang seperti ini.
Ada juga sudut baca dengan sofa besar menghadap ke taman sakura yang sedang mekar di kejauhan.
Itu adalah pemandangan yang sangat indah. Risya mendekat ke jendela dan terpaku lama disana.
"Apa yang kamu fikirkan?" Bastian bertanya sambil menuangkan anggur ke gelas.
"Aku tidak pernah tau bahwa villa timur memiliki pemandangan yang begitu indah seperti ini." Jawab Risya dengan tatapan terkagum-kagum.
Menyadari bahwa gadis itu mengabaikannya, Bastian merasa hatinya sedikit kesal.
"Jika kamu ingin menginap, aku akan meminta bibi jane untuk merapikan kamar tidur." Kata-kata Bastian memecah lamunan Risya.
"Tidak," Risya berbalik dan melihat Bastian menatapnya dengan tatapan berbeda. Kali ini sisi dingin yang dingin yang biasa ia lihat tidak tampak sama sekali. Ia jauh lebih santai.
"Aku, aku harus pulang. Terima kasih." Sejenak Risya lupa tujuan awalnya kesini. Menyadari bahwa Bastian menatapnya tanpa berkedip, wajah Risya segera memerah.
Dia tidak punya pengalaman apapun dengan seorang pria. Jadi meski itu hanya tatapan biasa. Terasa aneh baginya.
"Hanya itu?" Tanya Bastian sedikit tidak senang.
Ah, baiklah. Dia lupa hal paling penting. Risya akhirnya duduk dengan tenang di kursi sofa.
Melihat itu, sudut mulut Bastian sedikit melengkung namun dengan cepat menghilang.
"Mobil kuning itu, apa kamu kenal pengemudinya?" Tanya Risya penasaran.
Mendengar pertanyaan yang tak terduga itu, kening Bastian berkerut sejenak.
"Maksudmu Roy?"
Risya melambai tidak sabar.
"Aku tidak tahu namanya? Siapa dia? Apa kamu kenal dia?" Tanya Risya menyelidik. Tubuhnya sedikit condong ke depan.
Bastian menatapnya sambil mengernyitkan dahi sejenak.
"Apa hubunganmu dengan dia?" Bastian memilih tidak menjawab. Ada perasaan sedikit tidak senang melintas.
Ah, baiklah. Belum sepuluh menit gadis itu disini suasana hatinya beberapa kali berganti.
"Aku yang seharusnya bertanya, kamu punya hubungan apa dengan pria itu?" Risya tidak sadar bahwa pertanyaan itu dapat membuat orang salah faham.
"Tentu saja aku masih menyukai perempuan. Apa maksudmu?" Bastian menggaruk ujung hidungnya dengan canggung.
Mendengar itu Risya hampir tersedak.
"Maksudku, apakah kamu kenal dia? Mengapa kelihatannya kamu sangat akrab dengan pria bernama Roy itu?" Jelas Risya sabar.
Namun semakin dia menjelaskan semakin aneh kedengarannya.
"Apa kamu berlagak seperti istriku sekarang?"
Risya hampir melompat dari kursinya ketika Bastian mengatakan itu.
"Bu..bukan! Bukan itu maksudku." Bantahnya cepat.
Bastian memandangnya penuh minat.
"Lalu, apakah kamu menyukai pria itu?" Bastian bertanya lagi dengan sedikit penekanan.
Risya segera menggeleng.
"Dia menabrakku empat bulan lalu." Kali ini kilatan kaget melintas dimata gelap Bastian. Bagaimana Roy bisa terlibat dalam kecelakaan itu?
"Roy bekerja pada Ayah. Dan selama ini ia hanya mendengar perintah Ayah." Gumam Bastian sedikit bingung.
Jika Roy sengaja menabrak Risya, siapa yang menyuruhnya? Mungkinkah itu ayahnya? Tapi apa motifnya?
Bastian larut dalam segala macam kemungkinan difikirannya. Berbanding terbalik dengan Risya yang saat ini sedang mencurigai motif Pamannya atau bahkan Bastian sekalipun.
Mereka terdiam cukup lama dalam analisa masing-masing sampai Bastian akhirnya membuka suara.
"Aku akan membantumu menyelidikinya." Putusnya kemudian. Risya hanya menghela napas bingung.
"Aku hanya ingin tau apa motif mereka menabrakku." Gumam Risya lelah.
"Mungkin kah ada sesuatu yang mereka inginkan dariku?" Risya masih bergumam sendiri tanpa jawaban.
Mendengar nada putus asa dalam suara gadis ini, Bastian merasakan sedikit perasaan berkonflik di hatinya.
"Baiklah. Aku pamit dulu." Risya bangkit dan berjalan ke arah pintu.
"Risya..." panggil Bastian ketika gadis itu hampir mencapai pintu. Risya berbalik.
"Apa kamu mencurigaiku?" Tanya Bastian menyelidik. Bukan karena dia takut ketahuan, namun lebih pada dia takut karena alasan yang bahkan dia sendiri tidak tahu.