Maaf

1204 Kata
“Baiklah, sampai jumpa. Dan terima kasih untuk waktumu hari ini, Zi. Selain itu tolong sampaikan maafku ada Ken.” Aurora mengatupkan tangan seakan menunjukkan kata permohonan saat mengatakan kata terakhir mengenai Ken. Saat ini ia telah bersiap pulang setelah hampir seharian berkutat di dapur bersama Zio. Zio mengangguk dan mengukir senyuman. Ia berdiri di ambang pintu dan menyandarkan bahu di kusen. “Dan terima kasih kau sudah membuat kejutan sampai Ken tak mau makan,” ucapnya.  “Zi …. jangan bicara seperti itu kenapa? Kau membuatku merasa bersalah. Sebenarnya kau mendukungku atau ingin memberi beban mental?” sungut Aurora. Zio menahan tawanya dan mengatakan, “Ya, ya, maaf.” “Baiklah sampai jumpa lagi.” Aurora berbalik dan segera menuju mobilnya yang terparkir di halaman dimana sesekali ia melambaikan tangan pada Zio. Sementara Zio masih berdiri di tempat sampai mobil Aurora akhirnya meninggalkan kediamannya. Melihat mobil Aurora telah menghilang di balik pandangan, Zio segera kembali masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Setelah itu melangkahkan kakinya menuju kamar Ken. Sesampainya di sana, masih sama, pintu kamar Ken masih tertutup rapat dan terkunci seperti saat i memintanya bergabung untuk makan siang.  “Ken, buka pintunya, dia sudah pergi,” panggil Zio berharap Ken segera membuka pintu. Sudah pukul tiga sore dan sepertinya Ken sama sekali belum makan apapun dari tadi pagi. Melihat jejak di dapur tadi pagi sepertinya Ken belum sempat menyelesaikan cara memasaknya dan pasti belum sarapan. Namun sama sekali tak ada jawaban dari dalam kamar Ken.  Tok! Tok! Tok! Zio mengetuk pintu lebih keras dari sebelumnya. “Ken, kau belum makan bukan? Cepat keluar dan ayo kita makan siang. Aku tak mau disalahkan jika nanti kau mati kelaparan,” ujar Zio.  Cklek …. Akhirnya, selang beberapa saat Ken membuka pintu kamarnya. Nafas kelegaan pun lolos dari mulut Zio. “Syukurlah kau masih hidup, kukira kau sekarat,” ujar Zio berusaha mencairkan suasana dengan candaan. Sayangnya Ken sama sekali tak membalas sekedar mengucap sepatah kata. Ken hanya meliriknya sekilas dengan tatapan suram kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur tanpa mengatakan apapun.  Ken masih kesal dengan Zio, namun seperti yang Zio katakan, jika sampai ia sakit, ayah dan ibu juga orang tua Zio sendiri akan menyalahkan Zio. Sebenci dan sekesal apapun ia pada Zio, ia tak ingin Zio disalahkan atas segala sesuatu yang terjadi padanya. Pernah saat itu saat asam lambungnya naik dan harus dibawa ke rumah sakit, orang tua Zio memerahi Zio dan menyalahkannya, menganggapnya tak becus menjaganya. Zio seolah diberi tanggung jawab yang besar untuk menjaganya layaknya seorang kakak.  “Hei, Ken, bagaimana jika kita makan di luar? Kau tenang saja, aku yang traktir.” Zio merangkul bahu Ken dan mengajaknya makan di luar. Bukan tanpa alasan, melainkan karena kondisi dapur saat ini yang masih berantakan. Aurora bersikeras membersihkan dapur hasil karyanya dan karya Zio yang membuat dapur seperti kapal pecah, namun Zio yang melarangnya dan menyuruhnya segera pulang saja bisa membujuk Ken segera keluar dari kamar. Selain itu berharap agar Ken bisa melupakan kejadian sebelumnya. Ken tetap hanya diam dan tetap melangkahkan kakinya menuju dapur. Perutnya sudah mulai terasa nyeri dan ia harus segera mendapat asupan makanan.  “Hei, Ken, ayolah. Ah, begini saja, kau di sini biar aku yang menyiapkan makanan untukmu.” Zio berusaha mencegah Ken memasuki dapur. Masih ada makanan yang ia sisakan untuk Ken dan ia bisa meminta Ken makan di di luar dapur. Posisi meja makan bergabung dengan dapur dan kondisinya sama memprihatinkannya, setidaknya Ken tak melihat kondisi dapur sekarang. Karena Ken sangat membenci ketidakrapian.  Dan benar saja, saat Ken mulai memasuki dapur, seketika ia menghentikan langkah melihat kondisi di sana yang seperti kapal pecah. Jejak adonan kue terciprat ke dinding, di meja makan, juga di lantai. Dan sudah sangat jelas itu adalah kelakuan Aurora saat belajar membuat kue sebelumnya. Piring kotor dan wadah kotor pun terlihat memenuhi sink. Ia menoleh kaku menatap Zio yang hanya tersenyum kikuk. “Hehe, kan aku sudah bilang, kau di luar saja biar aku menyiapkan makanan untukmu. Atau kita bisa makan di luar,” kilah Zio sebagai alasan.  “Bersihkan, sekarang,” kata Ken dengan baritonya yang begitu dingin hingga mampu membuat Zio bergidik.  “Ya, ya, aku bersihkan, tapi kau makan. Sekarang cepat duduk di sana, dan aku akan menyiapkan makanan untukmu.” Zio menunjuk sofa depan tv dan segera menyiapkan makanan yang ia sisakan untuk Ken sebelumnya. Ia sudah seperti seorang kakak yang begitu peduli pada adiknya. Walau Ken hanya saudara sepupu namun mereka sudah seperti saudara sekandung. Di tempat lain saat ini Aurora masih berada dalam perjalanan, sampai tiba-tiba ia terpikirkan sesuatu. Ia pun membelokkan setir menuju sebuah gerai kartu. Entah apa yang a pikirkan atau rencanakan, tapi sepertinya tak akan jauh hubungannya dengan Ken. Singkat cerita waktu sudah malam dan menunjukkan pukul 21.00 WIB. Saat ini Aurora tengah duduk bersila di depan 7 ponsel yang telah ia setting sebelumnya. Ia sampai meminjam 2 ponsel ibunya juga 2 ponsel sang ayah. Di dalamnya ia isi sekitar masing-masing 5 clone aplikasi WA. Terlalu terniat memang, tapi tak ada salahnya mencoba bukan? Dan bagaimana ia bisa memiliki nomor-nomor baru dan mengaktifkannya bersamaan? Ia meminta nomor id saudara-saudara jauhnya, hingga teman-temannya digunakannya untuk mendaftarkan kartu-kartu itu. Aurora mengambil ponsel pertama dan membuka aplikasi clone pertama. Rupanya ia membeli banyak kartu dan mendaftarkan masing-masing kartu untuk aplikasi WA. Diusapnya layar dan ibu jarinya terlihat mengetikkan huruf demi huruf menjadi sebuah kata. Ken yang baru saja meletakkan bukunya di atas meja dan bersiap beristirahat, mengambil ponsel dari atas nakas saat ponselnya itu berdering. Diusapnya layar dan melihat siapa yang mengiriminya pesan.  {Maaf.} Alis Ken tampak mengernyit, dan sepertinya ia tahu siapa pelaku yang mengiriminya pesan itu. Tiba-tiba saja giginya terdengar bergerut dengan ia yang menggenggam ponselnya kuat.  Kling! Kling! {Maaf.} {Maaf.} {Maaf.} {Maaf.} Lagi, sebuah pesan yang berisi satu kata maaf kembali masuk dari nomor yang sama. Bukan hanya satu atau dua, tapi Aurora terus mengirim spam hingga tak terhitung jumlahnya hanya dalam hitungan detik. Merasa geram, Ken kembali menggunakan cara yang sama seperti kemarin tentu dengan memblokir nomor Aurora. Namun saat ia hendak meletakkan ponselnya kembali, sebuah pesan yang sama kembali masuk dan dari nomor yang berbeda. Terus seperti itu hingga beberapa kali dan membuat Ken benar-benar muak. Sampai saat ia hendak kembali memblokir nomor yang entah keberapa, chat Aurora tiba-tiba berbeda dari sebelumnya yang hanya berisi kata maaf.  {Jika kau mematikan ponselmu jangan salahkan aku jika besok ponselmu mati karena tak sanggup menerima seluruh pesan yang kukirim.} tulis Aurora. Namun Ken mengabaikan hal itu dan kembali memblokir nomor itu. Namun sekali lagi, pesan masuk dari nomor yang berbeda lagi.  {Balas jika kau ingin aku berhenti.}  ‘Dasar wanita sinting!’ maki Ken dalam hati dengan umpatan-umpatan yang tertuju untuk Aurora. Karena entah sudah berapa nomor yang ia blokir tapi  Aurora masih mengirimkan pesan dengan nomor yang baru. Akhirnya Ken tak punya pilihan lain selain mematikan ponselnya. Jika tidak, opsi lain yang akan ia gunakan adalah, membanting ponselnya. Kembali ke tempat Aurora, seulas senyum seringai menghiasi bibirnya. Semakin ia ditolak, maka semakin ia mendekat. Ia tak peduli, misinya kali ini bukan hanya mendekati Ken, tapi juga untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi padanya dan menyembuhkannya. Karena ia tahu, bagaimana rasanya terluka dan bangkit dari rasa terluka itu memang bukanlah suatu hal yang mudah. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN